Cerita bersambung: Karena aku peduli enggang gading (bagian 4)

KETIK DI KOLOM BAWAH INI 👇🏿 SOLUSI MASALAH BURUNG YANG PINGIN ANDA CARI…

Jogja sudah jauh berubah dari masa-masa ketika Kinanti kuliah. Daerah marginal seperti Ring Road Utara, Maguwoharjo, dan Jalan Adisucipto mengalami pertumbuhan pesat, mulai dari pembangunan kampus, gedung olahraga, jalan layang, hingga revitalisasi bangunan lama seperti Hotel Ambarukmo yang menjadi Ambarukmo Palace.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Meski lahir dan dibesarkan di Maguwo, yang hanya berjarak delapan kilometer dari Tugu sebagai pusat kota, Kinanti merasa seperti pendatang ketika menyisir Ring Road Utara hingga Jalan Adisucipto. Bentuk fisik kawasan ini benar-benar membuatnya pangling.

Kemacetan lalu lintas yang dulu menjadi barang langka, kini menjadi pemandangan rutin di Jogja. Gempa tektonik 2006 tidak menyurutkan kaum pendatang, terutama pelajar dan mahasiswa, untuk menimba ilmu di kota ini. Alhasil, jumlah penduduk dan kendaraan pun selalu meningkat dari tahun ke tahun.

Perjalanan dari rumah Ibu di Maguwo ke Amplas yang dulu hanya butuh waktu 10 menit, sekarang harus dilalui lebih dari setengah jam. Bahkan untuk berbelok ke kanan menuju pelataran parkir Amplas pun memerlukan waktu tersendiri. Pameran yang digelar Rinto membuat lalu lalang manusia dan kendaraan di tempat itu bertambah padat.

Dengan mengenakan v-neck t-shirt dan jaket, jins belel, topi baret, dan kacamata, Kinanti memulai petualangannya. Tujuannya cuma satu: stand Dayak.

Luar biasa! Hanya berselang sehari, separo lebih produk yang digelar sudah diborong pembeli. Itu yang didengarnya dari penjaga stand, juga terlihat dari aktivitas beberapa panitia yang sedang menata produk baru dari kardus besar di arena itu.

Penjaga stand, cewek putih cantik, secantik lovebird, melayaninya seolah-olah ia adalah calon pembeli. Kinanti memang sengaja melakukan penyamaran. Bukan lantaran takut panitia melarang wartawan, toh pembukaan pameran pun panitia mengundang wartawan. Ia hanya tidak ingin bertemu Rinto, yang pasti sudah mengetahui maksud kedatangannya di pameran ini.

“Oh, Ibu punya toko souvenir di Semarang ya? Beli banyak bisa, tetapi transaksinya tidak di sini. Pimpinan Promoz bilang, transaksi maksimal 10 unit per item,” kata penjaga stand, yang pada ID-Card tercantum nama Shinta.

“Jadi di mana transaksinya. Dengan siapa?”

“Dengan Bapak Rinto Sanyoto!!!”

Alamak!!! Mati aku!

Kinanti mendesis. Mengapa harus dengan dia? Pikiran buruk itu buru-buru didandaninya. Ia mesti memaklumi, karena Rinto adalah pimpinan Promoz. Tetapi, ia jelas tidak bisa melakukannya, karena akan membongkar semua investigasinya. Ia mesti minta bantuan beberapa teman untuk menggantikan penyamarannya.

Namun, sebagaimana pengalamannya selama bertahun-tahun menjadi jurnalis, selalu saja ada kemudahan, sesekali keberuntungan, di samping perjuangan keras yang diakrabi para pekerja pers.

“Sayangnya Pak Rinto saat ini sedang keluar,” kata Shinta, yang membangunkan kembali harapan Kinanti.

“Jadi gimana nih! Saya mesti buru-buru pulang ke Semarang, ada janji dengan relasi di Crown Plaza,” ujar Kinanti, yang lumayan hafal Semarang karena dia memiliki link dan kerap bertemu rekan aktivis lingkungan hidup di kota itu.

“Coba sebentar ya,” balas Shinta, sambil buru-buru mendekati rekan penjaga stand yang lainnya, cewek cantik juga. Ia terlihat membisikkan sesuatu. Yang dibisiki pun bergegas pergi.

Ketika Shinta sibuk melayani pengunjung yang lain, Kinanti melakukan pemotretan stand dan produk-produknya dengan kamera digital. Ia tak bisa berlama-lama memotret, karena cewek yang tadi dibisiki Shinta sudah kembali bersama lelaki perlente.

“Anggito!!!”

Kinanti kelabakan menerima jabat tangan erat lelaki itu. Genggaman tangan lelaki itu amat kuat, membuat jemarinya sulit bergerak.

“Oh, saya Dinda!,” jawabnya sekenanya. Ia mesti melakukan trik untuk memuluskan investigasinya.

“Dinda.., nama yang cantik, secantik orangnya”.

Wah, rayuan zaman 1980-an muncul lagi. Kinanti tergelak, meski hanya disimpan dalam hati. Wajahnya yang cantik, serupa Nadia Vega, nampaknya telah memikat lelaki hanya pada pandangan pertama. Kinanti terus memainkan perasaan Anggito.

“Rumahnya jauh Mas?”

“Rumah siapa?”

“Ya rumah Mas Anggito! Masak rumah saya!”

Lelaki itu tertawa, entah apa yang ada dalam pikirannya.

“Ibu mau main ke rumah saya?”

“Panggil saja Dinda!”

“Oh, Dinda mau main ke rumah saya?”

“Bukankah kita mau bertransaksi dalam jumlah besar?”

“Oh,” Anggito seperti memikirkan sesuatu. “Bagaimana kalau kita transaksi di hotel!”.

Sial! Lelaki macam apa ini, baru berkenalan sudah berlaku tidak sopan. Apakah ini sudah menjadi kebiasaannya dalam berbisnis selama ini? Entahlah!

“Lho, kita kan bukan muhrim?”

“Memangnya, kita mau ngapain di hotel? Kan sekadar transaksi?”

“Maaf, saya tidak terbiasa transaksi di hotel. Lebih baik ke showroom atau ke rumah Mas Anggito saja. Eh, pertanyaan saya belum dijawab,” ujar Kinanti, kembali memainkan teknik investigasinya.

“Pertanyaan apa?”

“Rumah Mas Anggito jauh?”

“Astaga!!! Berdiri di depan perempuan secantik Dinda membuatku lupa segalanya,” kembali rayuan kuno meluncur dari mulut lelaki itu. Kinanti sengaja membiarkannya, demi mengembuskan harapannya. Diresponnya ucapan itu dengan tawa renyah.

Anggito tanpa sadar memberikan kartu nama. Kinanti menerimanya dengan gembira, dan kembali harus berbohong ketika lelaki itu balik meminta kartu namanya.

“Waduh!!!” Kinanti berpura-pura kebingungan saat mengacak-acak isi tas kecilnya. “Pas habis. Nanti saya kasih saat mampir ke rumah Mas Anggito,” ujarnya.

“Dinda mau ke rumah saya? Mau ke Jakarta?”

“Untuk bisnis, apapun mesti bisa! Tidak keberatan kan?”

“Boleh-boleh. Kapan?”

“Besok, bisa?”

“He-eh,” Anggito menjawab seperti kerbau dicolok lubang hidungnya.

*****

Kinanti menyudahi kunjungannya ke Jogja, tanah kelahirannya sendiri. Demi tugas, ia mesti pamit kepada Ibu, sehari lebih cepat dari rencana semula. Seperti biasa, ia enggan diantar Ibu ke Bandara Adisucipto. Ia tak tega bertangisan dengan Ibu di public area.

Merpati sudah mengudara begitu tinggi, membawanya ke angkasa, mengantarkannya kepada impian idealis mengenai penyelamatan enggang gading. Entah kenapa, sejak ada berita maraknya pembantaian dan penangkapan enggang gading di alam bebas di media, batinnya begitu terusik.

Kecantikan, keindahan, kegagahan, sekaligus nasib buruk enggang gading membuatnya kepincut. Sebenarnya enggang gading hanya salah satu dari 57 spesies burung enggang atau rangkong yang ada di seluruh dunia. Mereka berada dalam genus yang sama, yaitu Buceros, sebuah istilah Yunani yang berarti tanduk sapi. Di dunia internasional, burung ini disebut sebagai hornbill.

Sembilan dari 57 spesies merupakan burung endemik di wilayah selatan Afrika, dan 14 spesies termasuk burung endemik di Kalimantan, termasuk burung enggang gading yang bertubuh paling besar dan memiliki paruh tercantik dibandingkan dengan jenis enggang lainnya.

Ah, Merpati baru mengudara seperempat jam. Masih setengah jam lagi mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Kinanti menghela nafas panjang. Ia kurang berselera menikmati snack di pesawat. Perempuan itu cuma menyeruput kopi, sekadar menyegarkan pikiran dan semangatnya.

Pikirannya melayang ke peristiwa enam bulan silam, saat muncul pemberitaan mengenai upaya penyelundupan paruh enggang gading yang digagalkan oleh petugas di Bandara Supadio Pontianak.

Pak Ridwan, pemimpin redaksi Ecomagz, memintanya melakukan perjalanan jurnalistik ke Taman Nasional Betung Karihun, Kapuas Hulu. Tempat ini merupakan salah satu kawasan konservasi bagi enggang gading, selain Sintang, Melawi, dan Kayong Utara.

Selama tiga hari, dia ditemani Solichin dan beberapa stafnya. Lelaki asal Klaten ini dipercaya sebagai koordinator lapangan. Ia rela meninggalkan istri dan ketiga anaknya di Klaten, karena tuntutan pekerjaan.

“Jumlahnya tinggal 105 ekor. Entah apa jadinya kalau tidak ada konservasi,” ujar lelaki ramah tersebut.

Astaga!!! Tinggal 105 ekor?

Kinanti mendesis, seperti cacing kepanasan yang terinjak di padang pasir. Ia tidak tahu persis populasi enggang gading di kawasan konservasi lainnya. Mestinya Kementerian Kehutanan, melalui berbagai perangkatnya, bisa menghimpun data akurat, agar angka populasi tak sekadar prediksi semata.

Burung Enggang Gading Hidup di Atas Pohon
ENGGANG GADING HIDUP DI ATAS POHON

Hari pertama, Kinanti berkesempatan melakukan bird watching enggang gading. Lama ia menunggu untuk bisa menjumpai burung eksotik tersebut. Padahal, ia dan tim pemandu sudah melakukan perjalanan kaki selama satu jam lebih untuk bisa memasuki areal inti.

Penantiannya berbuah manis ketika sepasang enggang gading menclok di pohon beringin. Burung jantan dan betina saling merapatkan paruhnya, membuat Kinanti tersipu malu. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka gemar memakan buah ara, palem, dan beringin.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis... Dapatkan Aplikasi Omkicau untuk Android di Google Play Dapatkan Aplikasi Omkicau untuk iPhone di App Store

Tetapi enggang burung bukanlah herbivora. Ia juga memakan makan serangga, tikus, kadal, bahkan burung kecil. Meski omnivora, enggang gading punya kebiasaan unik yaitu tidak pernah makan di tanah. Semua mangsa diperolehnya di batang atau cabang pohon.

Ada perbedaan performa antara enggang gading jantan dan betina. Postur tubuh jantan, seperti pada sebagian besar burung lainnya, sedikit lebih besar daripada betina. Panjang tubuh jantan bisa mencapai 122 cm, termasuk bulu ekornya yang menjadi bagian tubuh terpanjang.

Cincin yang mengelilingi bola mata pada burung jantan berwarna merah atau oranye, sedangkan pada betina putih. Tetapi bola mata mereka sama-sama hitam. Warna tubuh juga sama, dominan warna hitam dengan warna putih di bagian leher bawah.

“Di masa muda, warna paruh dan mahkotanya putih,” ujar Solichin.

“Oh ya? Mengapa ketika dewasa paruhnya berubah jadi oranye, sedangkan mahkotanya berwarna merah?”

“Perubahan warna terjadi akibat kebiasaan enggang gading yang sering menggesekkan paruhnya ke kelenjar penghasil warna oranye-merah yang ada di bawah ekor”.

Kinanti mengangguk-anggukkan kepala, seperti perkutut yang sedang manggung. Dalam literatur yang dibacanya, masa hidup burung enggang gading terbilang lama untuk ukuran hewan, yaitu tigapuluh lima tahun.

Dalam hati Kinanti berkata, sebagian enggang gading yang ada di sini mungkin lebih tua darinya yang hampir tigapuluh tiga tahun. Mungkin mereka sudah memiliki cucu, atau bahkan buyut, di hutan ini. Sedangkan Kinanti menikah pun belum. Membayangkan hal itu, Kinanti jadi tersenyum sendirian.

“Kok tersenyum sendiri, Mbak?” Goda Solichin.

“Ah, enggak kok,” Kinanti tersipu malu.

Sayangnya, saat berkunjung, belum ada enggang gading betina yang bertelur. Tetapi dari penuturan Solichin, burung betina cuma bertelur sebanyak dua butir, terutama pada bulan April hingga Juli. Cangkang atau kerabang telur berwarna putih.

“Biasanya yang menetas hanya satu. Itu sebabnya, perkembangbiakan enggang gading di berbagai kawasan konservasi sangat lambat. Apalagi burung ini memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap pasangannya, yang jarang dijumpai pada burung-burung lainnya”.

“Oh ya?” Kinanti makin penasaran. Kesetiaan macam apakah yang dimiliki burung ini?

“Enggang gading, kalau sudah berjodoh, tidak mau berpasangan dengan burung lain. Jika salah satunya mati, maka pasangan yang masih hidup tidak akan pernah mendekati atau tidak mau didekati burung lain”.

Salah seorang staf Solichin pernah memergoki warga di sekitar kawasan konservasi yang ketahuan memelihara enggang burung betina dalam kandang. Padahal, itu tindakan yang melanggar hukum, karena enggang gading sudah ditetapkan sebagai spesies burung yang dilindungi.

“Bagaimana kelanjutannya? Bapak menangkap warga tersebut?” Tanya Kinanti, makin penasaran.

“Tidak!”

“Kenapa tidak ditangkap?”

“Karena orang tersebut mau melepaskan enggang gading betina”.

“Jadi, dengan kesadaran sendiri ia mengembalikan burung ke alam bebas?”

“Tidak juga! Rupanya dia juga tak tahan mendengar suara enggang jantan yang menjadi pasangannya. Burung jantan yang bertengger di pepohonan dekat kandang betina itu terus berteriak-teriak, gaaakk… gaaakkk, dengan suara keras dan berulang-ulang”.

Kesetiaan enggang gading juga terlihat saat musim bertelur. Sebelum bertelur, burung jantan akan melubangi batang pohon yang cukup tinggi, kemudian mengisi bagian dasar sarang dengan sampah hutan dan kulit buah.

Induk betina akan bertelur setelah sarangnya selesai dibangun. Sejak peneluran pertama, ia sudah tidak mau meninggalkan sarang lagi.

Induk jantan akan menutupi lubang sarang dengan sampah hutan dan kulit buah. Hanya ada bukaan kecil yang cukup baginya untuk memberi makanan kepada pasangannya, juga kepada anaknya saat menetas. Begitu setia, melebihi kesetiaan lelaki yang tak setia.

Dengan cara demikian, tugas induk betina menjadi lebih fokus: mengeram dan mengasuh anaknya hingga lepas sapih.

“Bagaimana cara induk betina dan anaknya keluar dari sarang?”

“Jika sarang sudah tidak dapat muat lagi, induk betina akan keluar dengan cara memecah sebagian dinding sarang. Bersama induk jantan, ia akan menutup kembali dinding yang barusan dibongkar, dengan menyisakan sedikit lubang untuk memberi makanan kepada anaknya. Jadi, si anak berada di sarang sendirian, sampai lepas sapih dan bisa memecah dinding sarang untuk hidup mandiri,” kata Solichin.

Subhanallah!!! Siapakah yang mengatur semua ini, sehingga ritme kehidupan enggang gading bisa harmoni seperti ini. Tentu Tuhan Sang Pencipta! Celakalah manusia yang merusak begitu saja harmoni ciptaan Tuhan.

Minimnya jumlah anak yang menetas, serta kesetiaan tingkat tinggi, inilah yang membuat perkembangbiakan enggang gading sangat lambat. Jika tingkat pembantaian lebih tinggi daripada perkembangbiakan, dipastikan populasi enggang gading akan menyusut terus dan lama-lama hilang dari muka bumi.

Ketika membaca berita pembantaian dan penangkapan enggang gading, tubuh Kinanti terasa lemas. Ia membayangkan betapa sia-sia perjuangan para petugas seperti Solichin, yang rela meninggalkan anak-istri di Klaten demi tugas mulia itu. Demi uang, sindikat itu rela menghabisi nyawa ratusan enggang gading dan mengambil paruhnya.

Gaya Terbang Burung Enggang Gading
KEPAKAN SAYAP ENGGANG SAAT TERBANG TERDENGAR DRAMATIK

Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.

Di Taman Nasional Betung Karihun, Kapuas Hulu, Kinanti berkesempatan pula melihat keanggunan enggang gading saat terbang. Sebelum terbang, burung memberikan tanda khusus dengan mengeluarkan suara “gaaak…gaaak…” yang keras. Nyanyian alam ini mampu memanggil kawan-kawannya yang masih bersembunyi di rimbun pepohonan.

Saat terbang, kepakan kedua sayapnya mengeluarkan suara yang dramatik. Meski hidup berpasangan, mereka kerap terbang bersama dalam jumlah cukup besar, sekitar 20-30 ekor. Bisa dibayangkan, betapa riuh suasana saat sekelompok enggang terbang bersama.

Lamunan Kinanti mengenai perjalanan jurnalistiknya di Kalimantan pudar, tergerus deru mesin pesawat yang memekakkan telinga saat hendak mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Cukup lama ia terjebak dalam kenangan itu.

Kini tugas berat menantinya. Kinanti harus bisa mengungkap jatidiri Anggito. Benarkah dia terlibat dalam sindikat pembantaian enggang gading? Kalau benar, apakah Anggito juga melibatkan Rinto: lelaki yang pernah jadi tunangannya? (Dudung Abdul MuslimBagian IV dari VII Episode)

Link Terkait

Salam dari Om Kicau.

Penting: Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.

BURUNG SEHAT BERANAK PINAK… CARANYA? PASTIKAN BIRD MINERAL DAN BIRD MATURE JADI PENDAMPING MEREKA.

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.