Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Kalau Anda atau saya prihatin soal pornografi, barangkali tidak ada orang yang peduli saat ini. Tetapi kalau Susilo Bambang Yudhoyono, Sang Presiden, mengaku risih dan prihatin terhadap pornografi di media massa, pasti ada yang peduli. Buktinya, berita tentang keprihatinan Sang Presiden muncul sebagai berita di sejumlah media massa beberapa waktu lalu. Tetapi keprihatinan Sang Presiden ini menjadi terasa aneh karena benar-benar sebatas keprihatinan. Tidak ada tindak lanjut. Tidak ada tindakan nyata. Keprihatinan tinggal keprihatinan. Kepornoan melenggang aman, tenteram dan damai.
Memang, presiden baru kita sedang sibuk luar biasa pada hari-hari ini. Semua orang mendengar bahwa dia tidak mau main-main dengan program kerja 100 hari pertama kabinetnya. Barangkali karena itulah keprihatinannya terhadap pornografi sekadar menjadi nada gumam yang tidak jelas. Tidak jelas sasarannya, tidak jelas kepada siapa dia bersuara. Pada saat yang sama, para menteri di bawahnya tidak tahu apakah itu nada yang harus diterjemahkan dalam bentuk kebijakan tertentu; apakah itu perintah, atau sekadar keluhan.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Ketika keprihatinan Sang Presiden terhadap pornografi tinggal keprihatinan, sepertinya presiden menjadi tidak ada bedanya dengan rakyat kebanyakan. Sejak dulu, keluhan terhadap tayangan atau pemuatan pornografi di media massa tidak pernah mendapat tanggapan semestinya. Kalau kini keluhan presiden saja berlalu tanpa tanggapan, masih adakah gunanya pornografi kita keluh-kesahkan?
***
Penikmat pornografi terbesar kedua di dunia setelah Rusia. Itulah berita yang pernah dirilis kantor berita AP tentang rakyat Indonesia. Tetapi berita itu toh tidak ada pengaruhnya apa-apa, kecuali sekadar banjir komentar keprihatinan di media massa yang kemudian disusul kemudian oleh munculnya sejumlah diskusi publik membahas pornografi.
Tetapi sedari dulu kala, diskusi tentang pornografi terhenti pada masalah batasan dan definisi. Kontroversi soal batasan dan definisi itu pula yang selalu mengganjal, bahkan sampai saat RUU Antipornografi dan Pornoaksi tinggal menunggu pengesahan dari DPR.
Hanya saja sesungguhnya, tidak seharusnya kontroversi itu mengganggu upaya menghadang merebaknya pornografi. Tidak seharusnya pula seorang presiden hanya sanggup berkeluh-kesah, mengaku risih dan prihatin, tanpa berbuah kebijakan, tanpa diikuti tindakan.
Boleh jadi sang presiden kita ingin memberikan kesan betapa dirinya adalah seorang yang menjunjung tinggi hukum, sehingga harus ada hukum yang pasti tentang pornografi sampai detil definisi dan batasannya yang bisa diterima semua pihak. Boleh jadi karena dia adalah seorang demokrat, maka tiada alasan bagi dirinya untuk mengekang “kebebasan berekspresi”, sebuah kalimat azimat yang sering disalahgunakan para penebar maksiat.
Aturan-aturan hukum, bagaimana pun, tidak bisa selalu berjalan seiring perkembangan zaman. Dia lebih sering tercecer di belakang. Hanya saja, terpenuhinya rasa keadilan di masyarakat, pastilah menjadi tuntutan yang selalu aktual. Saat pornografi telah mencederai rasa keadilan masyarakat; saat pornografi telah demikian membawa maksiat; hukum mana lagi yang perlu ditunggu seorang demokrat?
***
Adalah Tony Suprapto, Pemimpin Redaksi Bikini Yogyakarta, yang pada tahun 1956 dijatuhi denda Rp 500 subsider 5 hari kurungan atas pemuatan Cerpen yang berjudul Dan Achirnya Djatuhlah Aminah karya Jussac Mr. Cerpen ini, seperti ditulis Wenny dalam Mengadili Pornografi, dianggap cabul karena menggambarkan secara terperinci hubungan percintaan bernafsu antara sepasang pria-wanita. Kutipannya antara lain: “Kenikmatan serupa itu belum pernah dirasakannya. Dan sekarang dengan keluhan-keluhan tertahan ia menggeliat-geliat dalam pelukan Harto. Dan ketika sekali lagi bibir Harto mentjari-tjari bibirnya,…”.
Kalau Cerpen Jussac tersebut diteropong dengan nilai-nilai moral saat ini, boleh jadi akan dinilai “tidak porno sama sekali”. Tetapi untuk ukuran saat itu, barangkali memang sudah pantas disebut mencederai nilai-nilai kepantasan dan kepatutan masyarakat. Dan karena itu, pantas pula sebuah sanksi dijatuhkan atas cederanya nilai-nilai kepantasan dan kepatutan.
Nilai-nilai kepantasan dan kepatutan, itulah sesungguhnya yang menyebabkan sebuah komunitas sepakat mengikatkan diri di bawah aturan hukum. Ketika aturan hukum tertentu tidak mampu lagi melindungi nilai-nilai kepantasan dan kepatutan, pada saat itulah aturan hukum baru dirumuskan. Namun ada kalanya proses ini macet karena terjadi tarik-ulur kepentingan di dalam masyarakat. Di sinilah gerak langkah seorang pemimpin dibutuhkan. Di sinilah peran pemimpin sangat menentukan.
Demikianlah. Ketika pornografi merebak, tidak pada tempatnya kalau yang muncul sekadar keluhan. Ketika kemaksiatan menjadi-jadi, sangat disayangkan kalau yang muncul sekadar keprihatinan.
(Duto Sri Cahyono, dimuat di SOLOPOS, 27 Desember 2004)