Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Kita punya banyak catatan sejarah atas manusia. Ada catatan hitam, ada yang putih. Catatan hitam mudah diingat dan dibedakan. Tidak ada hitam kemerah-merahan. Tidak ada hitam kekuning-kuningan. Demikian juga halnya dengan catatan putih. Tidak ada putih kebiru-biruan, ataupun putih kemerah-merahan.
Hitam dan putih tidak pernah membingungkan orang. Hitam putih mudah dilihat, gampang dipilah. Masalahnya, di samping catatan yang hitam dan putih, kita lebih banyak punya catatan abu-abu.
Dari sekian catatan abu-abu tersebut, hanya sedikit abu-abu yang asli, yakni abu-abu karena tidak ada satu orang pun yang berkuasa terhadapnya. Kebanyakan dari abu-abu yang kita miliki sesungguhnya abu-abu buatan karena kebenaran di baliknya sengaja ditutup-tutupi. Ada fakta yang disembunyikan. Ada data yang dimanipulasi.
***
Aceh, sebuah wilayah di ujung barat laut Indonesia, telah memiliki catatan abu-abu itu. Ada abu-abu asli, ada abu-abu palsu. Bencana alam di wilayah itu 26 Desember lalu, adalah satu catatan sejarah abu-abu asli. Tidak ada rekayasa. Tidak ada manipulasi data. Itu adalah urusan alam dan manusia hanya bisa pasrah menerimanya. Hidup terus atau kehilangan nyawa. Sehat wal afiat atau menderita.
Namun selain abu-abu asli, bumi Aceh penuh dengan catatan abu-abu yang membingungkan. Sejarah Aceh pasca kemerdekaan Indonesia adalah sejarah abu-abu yang telah direkayasa. Penguasa merekayasa data dan fakta sebagai jalan pembenar untuk melakukan kekerasan, sedang kelompok pemberontak merekayasa data dan fakta sebagai pembenar untuk memisahkan diri dari pangkuan republik ini.
Sejarah hitam Aceh bermula dari kekecewaan rakyat di sana terhadap pemerintahan pusat. Status daerah istimewa yang mereka miliki tidak memberikan keistimewaan yang berarti. Rakyat Aceh mengeluhkan kontrol orang-orang asing dan Jawa atas sumber-sumber kekayaan alam setempat, serta kehadiran militer yang represif.
Keluhan yang diabaikan, yang bersenyawa dengan kepentingan sekelompok elite lokal untuk memperkuat otoritasnya, menghadirkan kelompok yang menyebut diri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 1976. Karena pada dasarnya mereka adalah pemberontak, maka pemerintah pusat pun menghadapinya secara militer. Celakanya, sejak saat itulah masalah Aceh lebih dipandang sebagai persoalan militer ketimbang persoalan pembangunan yang harus diatasi. Maka hiduplah rakyat Aceh di tengah-tengah kekayaan alam yang berlimpah, tetapi tetap dibelenggu kemiskinan sekaligus ancaman kekerasan bersenjata.
Ketika bencana alam itu datang, posisi para pemberontak bisa dikatakan sedang berada di atas angin. Popularitas mereka meningkat, seperti ditulis Yudi Latif dalam milis PPI, sebagai akibat wind fall dari ketidakmampuan pemerintahan pasca-Soeharto untuk merespon meningkatnya aspirasi kebebasan rakyat Aceh menyusul terbukanya koridor demokrasi.
Memang, pemerintah pusat bukannya tidak pernah berusaha mengatasi persoalan. Hanya saja, iming-iming pemberian status keistimewaan Aceh yang tidak diikuti oleh komitmen untuk mengadili para pelanggar HAM justru mendapat penolakan luas warga setempat. Sejak saat itu, melambunglah moral dan kepercayaan diri para pemberontak.
Akankah bencana alam yang melanda Aceh yang disusul dengan mengalirnya simpati dan bantuan ke daerah itu membawa perubahan yang signifikan bagi perjalanan Aceh di masa depan?
***
Diakui atau tidak, seusai Tsunami melanda Aceh, banyak personel TNI di sana menjadi pahlawan. Merekalah buldoser utama rehabilitasi wilayah bencana. Pada saat yang sama, teriakan para pemberontak surut gaungnya. Tidak membantu meringankan derita korban bencana, mereka justru menjarah dan merampok. Maka bagi kita, inilah keberuntungan yang tidak pernah disangka-sangka karena mendapati pamor GAM bangkrut dengan sendirinya.
Kebangkrutan GAM bisa sementara, bisa juga permanen. Hanya saja, kalaupun GAM bangkrut selamanya, tidaklah berarti bahwa masalah Aceh telah tuntas. Sebab, seperti kata Yudi Latif, rakyat Aceh harus disembuhkan dari memoria passionis atau ingatan penderitaan masa lalu. Untuk itu, kepercayaan sosial harus ditumbuhkan lewat komitmen berbagai pihak untuk menegakkan HAM dan hukum.
Perbaikan infrastruktur dan kucuran dana pembangunan memang mutlak. Tetapi hal itu tidak akan banyak berarti bagi rakyat Aceh kalau tidak ada perbaikan manajemen pemerintahan dan pembangunan di tingkat lokal. Tanpa penyempurnaan hal ini, berapa pun dana yang dikucurkan tidak akan pernah sampai kepada sasaran. Selain itu, perlu perbaikan sumber daya insani masyarakat setempat sehingga manajemen pemerintahan Aceh bisa bertempu pada kekuatan lokal dan dominasi “orang luar” bisa dikurangi.
Persoalan Aceh memang bukan semata-mata persoalan militer. Cara pandang yang salah ini, membuat sejarah Aceh menjadi cerita bersambung tentang darah. Oleh karena itu, untuk membangun Aceh diperlukan perubahan paradigmatik.
Setelah bencana alam itu berlalu, sudah seharusnya sejarah Aceh tidak lagi abu-abu. Siapa yang hitam atau siapa yang putih sesungguhnya bukan lagi hal penting ketika kebenaran memang harus diungkapkan. Hitam bisa kita simpan sebagai pemandu langkah menuju masa depan. Putih akan menjadi penerang agar kita tidak lagi terantuk batu karena meraba-raba di dalam kegelapan.
(Duto Sri Cahyono, dimuat SOLOPOS 10 Januari 2005)