Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Temanggung… Temanggung… Temanggung sayang.
Itulah baris penutup sebuah lagu, yang entah diciptakan oleh siapa atau pada tahun berapa, tetapi sangat populer di kalangan anggota Pramuka Kota Temanggung awal 1980-an. Saat itu, lagu tersebut sering dinyanyikan di sela-sela acara kepanduan.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Kalau tidak salah, saya mendengar lagu tersebut saat duduk di kelas I SMA Negeri Temanggung, yang kemudian berubah nama menjadi SMA 1 Temanggung. Penyanyinya seorang polisi yang kerap datang ke Sanggar Pramuka yang ketika itu berada di seberang Kantor Pemda (sekarang Pemkab). Dia kemudian sering mengajari saya main gitar. Lagu pertama yang diajarkannya adalah Lembayung Sutra-nya Jamal Mirdad.
Saat itu saya hanya mengenal polisi “guru” gitar saya itu sebagai Mas Ari. Belum lama ini, kawan saya bilang Mas Ari sudah jadi jenderal dan belakangan mengonfirmasikan Mas Ari jadi Kapolda di Sulawesi Tengah. Apakah betul itu Brigjen (Pol) Aryanto Sutadi, saya tidak perlu memastikannya. Bagi saya tidak penting. Itu adalah masa lalu, meski harus saya akui sebagai masa lalu yang indah.
Hanya saja, ketika saya mendengar ada ribuan manusia berunjuk rasa di Temanggung, kenangan indah saya terhadap kota itu buyar. Saya lalu mencoba mengingat-ingat lagu yang pernah dinyanyikan Mas Ari dulu. Syairnya, antara lain berbunyi demikian:
Membeku hati dalam perjalanan/ tinggalkan kampung halaman// Alam yang sejuk/ penuh kedamaian/ kini harus kutinggalkan// Temanggung… Temanggung… Temanggung sayang//
Temanggung dulu memang sejuk. Tetapi entah mengapa, sekarang banyak orang di sana merasa kegerahan. Malah banyak yang terpaksa berjumpalitan di alun-alun, sekadar untuk meneriakkan aspirasi. Temanggung dulu juga penuh kedamaian. Tidak ada pertikaian antarpenduduk yang merisaukan. Tidak pernah ada huru-hara yang serius kecuali saat ada rembetan kerusuhan anti-Cina di Solo awal 80-an maupun keributan menjelang runtuhnya rezim Soeharto.
Ke mana perginya kesejukan itu? Ke mana hilangnya kedamaian itu?
***
Orang Temanggung sesungguhnya terkenal santun. Tidak galak, apalagi galak terhadap pimpinannya. Mereka orang-orang yang manut. Mereka orang-orang yang guyup dan patuh. Keguyupan dan kepatuhan itu pernah terbukti dengan disabetnya predikat Temanggung sebagai kota terbersih di Indonesia ketika wilayah itu dipimpin Bupati Masjchun Sofwan dan H Jacob.
Nama Masjchun Sofwan, yang kemudian menjadi Gubernur Jambi, sangat melekat di hati rakyat Temanggung. Sebab dia memang merakyat. Di kalangan rakyat, dia terkenal suka blusukan dari kampung ke kampung dengan menyamar sebagai orang biasa. Konon, suatu ketika dia “tertangkap basah” sedang membersihkan sampah di suatu kampung yang dia datangi sendirian. Sejak saat itulah orang Temanggung jadi malu kalau lingkungannya kotor. Malu dan segan kalau sampai sampah harus ditangani langsung oleh bupati.
Masjchun Sofwan adalah salah satu contoh bagaimana seharusnya seorang bupati memimpin rakyat. Dia memerintah bukan dengan kalimat perintah. Dia memerintah dengan teladan. Dan berhasil.
Begitu pula bupati berikutnya, H Jacob. Dia memang tidak begitu populer di mata rakyat, tetapi bukan karena tidak bisa memimpin. Dia hanya tenggelam di bawah kebesaran nama Masjchun Sofwan. Rakyat tetap manut kepada pimpinannya. Mereka tetap guyup dan patuh.
Guyup dan patuh itu pula yang ditunjukkan rakyat Temanggung ketika dipimpin Bupati Sri Soebagjo. Keberhasilan Pak Sri, demikian rakyat Temanggung menyapanya, tidak terlepas dari keguyupan dan kepatuhan rakyatnya. Sampai dua kali menjabat sebagai bupati, rakyat tetap me-nyengkuyung-nya.
Demikian pula dengan bupati berikutnya, HM Sardjono. Meski tidak sepopuler Sri Soebagjo, dia diterima rakyat dengan tangan terbuka. Sardjono juga jago mengambil hati para bawahannya. Tentu hal ini tidak terlepas dari latar belakang dirinya. Sardjono tahu betul bagaimana menangani anak buah karena dia manusia karir di pemerintahan. Sebelum menjadi bupati, Sardjono adalah Sekretaris Kota Madia Semarang. Dia dihargai rakyat, dia selalu dilindungi para bawahannya, bahkan sampai ketika dia sudah pensiun dan diperkarakan oleh bupati penggantinya, Totok Ary Prabowo, dalam kasus dugaan korupsi.
***
Totok Ary Prabowo, dialah Bupati Temanggung saat ini. Dengan gelar Drs di depan dan MS serta MA di belakangnya, rakyat percaya dia orang pandai. Tetapi di bawah kepemimpinan orang pandai inilah, saat ini Temanggung tak lagi sejuk. Tak lagi damai. Kenangan saya akan penggalan syair lagu alam yang sejuk, penuh kedamaian pun jadi buyar.
Memang, hingga saat ini tidak ada bukti hukum yang bisa membuat bupati dipersalahkan. Tidak ada fakta yang bisa serta merta membuat bupati pantas dilengserkan. Hak angket dan hak interpelasi Dewan, juga bukan barang hebat yang bisa membuat bupati kehilangan jalan. Hanya saja, pengunduran massal para pejabat disusul dengan gelombang unjuk rasa rakyat, membuat kita yakin ada sesuatu yang salah.
Apakah rakyat Temanggung kini telah berubah? Apakah mereka yang dulu adalah orang-orang santun dan patuh telah menjadi manusia pemarah dan suka berontak? Saya tidak tahu pasti jawabannya. Hanya saja, ketika ada orang menyebut nama Totok, orang lainnya segera menyahut, “Turun!”
Apakah hanya dengan cara itu Temanggung sejuk kembali? Hanya dengan cara itukah Temanggung penuh kedamaian lagi? Apa memang demikian, Pak Totok? (Ah, di kejauhan sana, ternyata tetap terdengar sahutan nyaring, “Turun!”)
(Duto Sri Cahyono, SOLOPOS, 17 Januari 2005)