Pernahkah Anda merasa sumpek di tengah rutinitas kerja Anda sebagai seorang profesional di bidang tertentu saja? Kalau Anda seorang guru misalnya, tidakkah merasa kesal melulu dengan murid yang keminter? Anda pengin protes terhadap kepala sekolah yang Anda anggap otoriter tetapi tidak berani? Ataukah barangkali Anda benci setengah mati terhadap para elite politik di Jakarta sana yang sama sekali tidak peduli terhadap kesulitan sehari-hari seorang guru? Kalau ya, lantas apa yang Anda lakukan?

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Cobalah sekali waktu Anda tuangkan kesumpekan hati, kekesalan, kebencian atau protes Anda dalam sebuah puisi, Cerpen, atau artikel dan kirim ke media massa. Dengan melakukan hal itu, ada beberapa hal yang bisa Anda raih. Paling tidak, kekesalan hati berkurang. Jika “beruntung” dan tulisan Anda dimuat, Anda akan mendapat imbalan uang. Kalau hal itu kebablasan…, maka ketenaran pun Anda dapatkan.

Atau… barangkali Anda pernah berpikir untuk kerja “rangkap” sebagai guru juga sebagai penulis di media massa, baik itu sebagai penulis lepas maupun sebagai wartawan? Terlepas dari pro-kontra tentang kerja “rangkap” (yang jelas-jelas tidak profesional!), untuk melakukan hal itu, pertama-tama Anda perlu tahu tentang kerja jurnalistik dan juga tentang “menulis di media massa”.

Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...

Kerja jurnalistik

Perlu diketahui, sampai saat ini lapangan jurnalistik merupakan profesi terbuka. Karena sedemikian terbuka, tak salah pula jika ada yang menganggap belum layak disebut sebagai suatu profesi, seperti halnya dokter, pendeta/pastor, notaris dan sebagainya yang memang menempuh pendidikan khusus.

Sebagai profesi yang terbuka, institusi pers (baik cetak maupun elektronik) menerima tenaga dari berbagai sumber. Persoalannya adalah bahwa masing-masing institusi pers menerapkan standar yang berbeda-beda ketika menerima seseorang sebagai tenaga jurnalis. Meskipun demikian, sesungguhnya ada kapasitas pribadi yang merupakan syarat minimal bagi seorang jurnalis. Hal pertama yang harus disadari adalah bahwa profesi jurnalistik merupakan kerja intelektual (Ashadi Siregar, Peranan Pendidikan Bidang Pers Bagi Generasi Muda, 1987).

Disebut intelektual sebab berkaitan dengan informasi dan alam pikiran. Informasi berasal dari masyarakat dan disampaikan ke dalam alam pikiran anggota masyarakat. Untuk bisa memperoleh informasi, seseorang harus memiliki kepekaan dan kritisisme sosial. Selanjutnya baru ia mengolah informasi itu dalam kaidah-kaidah teknis dan etis untuk nantinya disampaikan melalui medianya. Dan informasi itu akan menyusup ke dalam alam pikiran khalayaknya.

Dari sini dapat dibayangkan bagaimana beratnya pelaku profesi ini. Bandingkan saja dengan dosen perguruan tinggi. Seorang dosen hanya menyampaikan informasi yang berasal dari referensi yang sudah baku kepada sekelompok orang yang jumlahnya terbatas, yang memang berniat untuk mendengar dalam kelas-kelas yang dirancang dengan berbagai fasilitas. Sedangkan pelaku profesi pers harus mencari sendiri informasi itu dari masyarakat, kemudian mengolahnya sedemikian rupa agar menarik (kecuali ingin medianya) sehingga informasinya dapat disampaikan pada orang yang tidak terbatas.

Terlebih lagi, khalayak media massa bersifat heterogen. Tingkat intelegensinya juga bermacam-macam. Dalam menghadapi heterogenitas inilah pelaku profesi media massa bekerja. Karena yang disampaikannya berupa informasi, ia harus berada selangkah di depan dibanding dengan khalayak medianya. Inteligensia dari pelaku profesi akan tercermin dalam informasi yang disampaikan oleh institusi media yang sampai pada masyarakat. Seorang pelaku profesi jurnalistik tidak mungkin dan tidak perlu menyamai orang yang punya inteligensia tinggi yang ada dalam masyarakat. Itu tidak mungkin. Yang penting adalah ia tahu informasi macam apa yang diperlukan oleh orang dengan inteligensi yang tinggi itu, dan tahu pula dari mana ia bisa memperoleh informasi tersebut.

Dengan kata lain, berada selangkah di depan berarti dapat menjadi mediator yang tepat. Seorang wartawan tidak perlu menjadi doktor, karena tugasnya adalah menjadi mediator dari para doktor atau orang yang inteligensinya tinggi dalam masyarakat. Seorang wartawan tidak menuliskan apa yang ada dalam kepalanya, tetapi menyampaikan apa yang terjadi dalam kehidupan dan alam pikiran orang lain.

Sebagai mediator, pekerja pers memiliki fungsi yang strategis. Informasi yang disampaikannya bukan sekadar komoditi, tetapi juga memiliki makna sosial. Setiap informasi berasal dari masyarakat, baik sosio maupun psiko. Informasi yang bersifar sosio berasal dari perilaku obyektif yang terjadi dalam interaksi sosial, sedang yang bersifat psiko berasal dari dunia subyektif dalam alam pikiran manusia. Kedua sifat informasi ini harus dicari dan diolah oleh seorang wartawan. Masing-masing informasi ini memiliki karakteristik yang berbeda, yang menyebabkan wartawan harus mengembangkan kapasitas yang sesuai.

Dalam mencari realitas sosio dan psiko yang berasal dari masyarakat, dengan sendirinya seorang wartawan memerlukan kapasitas seorang wartawan. Yaitu memiliki kepekaan dan visi sosial. Kepekaan sosial adalah kapasitas diri untuk menerima tanda yang berasal dari kehidupan sosial, sehingga dapat menyerap fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Sedang visi sosial adalah adanya referensi yang dapat digunakan sebagai perbandingan dalam menghadapi fenomena. Di sini realitas sudah diangkat ke tingkat fenomena, yaitu hal yang memiliki makna (meaning) atau nilai (value). Hanya realitas yang memiliki makna atau nilai sajalah yang perlu diolah sebagai informasi yang akan disampaikan melalui media.

Kriteria makna atau nilai dapat ditinjau secara intrinsik dan ekstrinsik. Disebut makna atau nilai intrinsik jika terdapat di dalam realitas itu sendiri, sedang yang bersifat ekstrinsik merupakan makna atau nilai diletakkan atas fungsi yang berasal dari luar realitas itu. Pilihan atas realitas yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kriteria makna atau nilai yang diterapkan oleh seorang wartawan.

Dengan menyadari kapasitas yang mendasari kerja di bidang pers, kiranya dapat dibayangkan pendidikan yang relevan bagi orang yang tertarik ke dunia jurnalistik. Pertama, tentunya adalah pengembangan, penalaran, yang merupakan bagian dari pengembangan metode berpikir analitis. Dengan kemampuan ini, seorang wartawan dapat mengenali realitas yang dihadapinya, dengan jalan melakukan kategorisasi dan perbandingan untuk mendapatkan makna atau nilai dari realitas tersebut. Dengan kata lain, penalaran diharapkan dapat menumbuhkan kepekaan sosial dari si wartawan.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Langkah kedua, tentunya pengembangan visi. Untuk itu sejumlah konsep ilmu-ilmu sosial perlu diperkenalkan. Terutama dengan memahami sejumlah grand theory dalam ilmu sosial, seseorang dibekali referensi untuk mengetahui sifat dari fenomena. Grand theory yang menjadi paradigma dalam melihat fenomena, perlu dilengkapi dengan konsep teoritis. Sebagaimana diketahui, konsep teoritis merupakan rangkuman yang diperoleh melalui metodologis dari realitas empiris. Sedang pekerjaan wartawan selamanya menghadapi realitas empiris, karenanya dengan adanya referensi ia akan memiliki visi. Visi seseorang adalah berupa kemampuannya untuk melakukan perbandingan dari sejumlah atau bagian fenomena, dan referensi teoritis dapat membantu dalam perbandingan itu.

Jika kapasitas sebelumnya baru merupakan landasan dalam mencari realitas, langkah berikutnya adalah mengolah realitas tersebut. Untuk itu diperlukan penguasaan bahasa. Bahasa adalah cara untuk mewujudkan suatu realitas dalam komunikasi. Untuk wartawan Indonesia, dengan sendirinya bahasa yang mutlak harus dikuasai adalah bahasa Indonesia. Sering orang menanggap sudah menguasai bahasa Indonesia karena sudah digunakan sehari-hari. Penguasaan bahasa Indonesia seseorang tercermin dari kemampuannya untuk menggunakannya secara tertulis, bukan dalam penggunaan lisan sehari-hari. Sudah barang tentu penggunaan bahasa secara tertulis ini berdasarkan standar sosial. Artinya, bahasa yang dituliskan itu memang dapat digunakan sebagai alat komunikasi dengan khalayak luas, bukan untuk pribadi yang sudah saling kenal.

Langkah terakhir barulah perlu belajar teknik jurnalisme/jurnalistik. Teknik jurnalisme ini sesungguhnya seperti halnya teknik pertukangan atau teknik menjahit dan sejenisnya. Siapapun bisa menguasainya, meski dengan kemahiran yang tidak sama, apabila telah relatif lama mengenal dan mempraktekkannya. Penguasaan teknik jurnalistik sama sekali tidak ada artinya jika tidak ditopang oleh penalaran dan referensi ilmu sosial. Penalaran dan referensi merupakan landasan untuk mencari apa yang dapat disebut sebagai fenomena. Sedang penggunaan bahasa secara tertulis dan teknik jurnalisme menjadi landasan untuk mengolah apa yang dapat menjadi informasi.

Begitulah adanya, bahwa teknik jurnalistik adalah teknik pertukangan sedangkan profesi jurnalistik adalah kerja intelektual.

Berdasar paparan tentang profesi jurnalistik tersebut di atas, muncul pertanyaan, bisa dan mampukah Anda menjadi seorang jurnalis? Kalau tidak, apakah tidak mungkin seseorang dengan profesi tertentu memberikan kontribusi langsung kepada media massa, misalnya dengan menjadi penulis (lepas) tanpa meninggalkan profesinya. Ringkas kata, tidak mungkinkah seorang guru, seorang teknisi IT, “menembus” belantara jurnalistik dengan menjadi penulis, baik fiksi maupun nonfiksi di media massa? Kalau jawabannya adalah mungkin, peluang manakah yang bisa dimasukinya dan bagaimana?

Menulis di media massa

Media massa, dalam hal ini lebih saya tekankan kepada media tulis (surat kabar, majalah, buletin, media online dsb.), pada dasarnya berisi tulisan, foto atau gambar yang tidak melulu hasil kerja dari wartawan. Media tulis pada umumnya juga menerima tulisan, foto atau gambar dari pihak luar, baik lembaga media massa lainnya (kantor berita misalnya), lembaga nonpers, penulis profesional ataupun pelaku profesi lainnya.

Menulis di media massa bagi kebanyakan orang dianggap sebagai sebuah kemustahilan. Anggapan semacam itu bisalah dimaklumi karena dalam banyak kasus media menerapkan proses seleksi yang tidak transparan terhadap tulisan-tulisan yang bakal diturunkan (dimuat). Tetapi Anda jangan berkecil hati karena ternyata banyak jalan menuju Roma….

Berikut ini sejumlah tip untuk “menembus kemustahilan” itu.

  1. Kenali rubrik-rubrik yang terbuka untuk penulis luar (bukan wartawan) pada media massa yang Anda pilih sebagai “sasaran tembak”, misalnya rubrik opini atau seni/sastra (Cerpen, puisi, esai, dll.). Dengan mengenali jenis-jenis rubrik itu maka Anda akan mengenali opini atau tulisan feature macam apakah yang bisa/biasa dimuat di media tersebut; Cerpen atau puisi dengan tema apa yang biasa dimuat, berapa jumlah kata/karakter di dalamnya dsb.
  2. Kenali auidience/sasaran/pasar media massa tempat Anda akan mengirim tulisan. Dengan mengenali sasaran pembaca/pasar SOLOPOS yang terbit di Solo misalnya, Anda pasti tidak akan mengirim tulisan dengan tema cara mengatasi kemacetan lalu lintas di Yogyakarta ke SOLOPOS. Jika itu Anda lakukan, yakinlah bahwa tulisan itu akan melayang ke tong sampah di ruang redaktur, atau di-delete begitu terbaca di inbox email redaktur, bahkan sebelum redaktur bersangkutan membaca tuntas alinea pertama.
  3. Kenali kecenderungan berita-berita terakhir yang dimuat media massa tempat Anda akan mengirim tulisan. Ketika SOLOPOS sedang gencar-gencarnya menulis berita tentang “kenaikan tak masuk akal gaji Dewan” misalnya, maka tulisan Anda dengan tema “perbandingan gaji anggota Dewan dan gaji guru” akan lebih diperhatikan redaktur ketimbang tulisan Anda tentang “kondisi guru dengan gaji yang rendah” misalnya.
  4. Kenali situasi aktual lingkungan media massa tempat Anda akan mengirim tulisan. Dengan mengenali situasi demikian, maka pada saat musim kemarau misalnya, Anda tidak akan megirimkan tulisan dengan tema “cara mencegah luapan Bengawan Solo”, misalnya.
  5. Menulislah persoalan yang berkaitan dengan profesi Anda. Tulisan seorang guru tentang “Sinchan dan kekurangajaran pelajar” akan membangkitkan minat redaktur untuk membacanya sampai tuntas ketimbang tulisan seorang guru tentang “Jakarta dan kemacetan lalu lintas”.
  6. Jika nama Anda belum dikenal relatif luas oleh publik, usahakan kenal secara personal dengan para pengelola media massa. Dalam kasus tertentu, banyak redaktur akan membuang begitu saja tulisan dari seseorang yang namanya belum dikenal publik, meski sesungguhnya tulisan tersebut berbobot.

Demikianlah sedikit paparan tentang profesi jurnalistik dan kemungkinannya bagi pelaku profesi lainnya untuk menembus dunia jurnalistik sebagai kontributor isi media massa.**

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.