Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Saya terbahak-bahak ketika mendengar anak saya bertanya, “Pak, Ambalat itu mananya Ambarawa?” Tetapi, masya Allah, ketika masih terbahak-bahak itu saya sadar sepenuhnya bahwa saya sendiri sesungguhnya tidak tahu di mana letak Ambalat atau Blok Ambalat. Saya juga tidak yakin, apakah itu nama kota, pegunungan, pulau, laut, selat atau apa. Padahal, dalam beberapa hari terakhir ini, Blok Ambalat seringkali diucapkan oleh penyiar televisi. Juga ditulis besar-besar sebagai judul berita koran. Bahkan radio tempat saya bekerja, juga berkali-kali menyiarkan berita tentang blok ini.

Sekadar untuk menutupi malu karena tidak tahu di mana Blok Ambalat itu, saya menjawab sekenanya, “Ya, di Kalimantan Timur sana.” Setelah itu, dengan sembunyi-sembunyi, saya pergi ke kamar untuk mencari peta. Karena ingin menjadi seorang bapak yang sok tahu, saya memelototi peta lama sekali. Rencananya, saya akan menunjukkan peta itu kepada anak dan bergaya seorang cerdik pandai menunjuk suatu titik di peta sambil berkata, “Ini loh Ambalat!”

Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...

Tetapi ya ampun, hampir setengah jam saya memelototi peta, tidak juga bertemu dengan apa yang namanya Ambalat. Konon, itu adalah suatu blok di sebelah timur Tarakan. Tidak juga saya lihat nama tempat tersebut. Di sana hanya ada Nunukan, Sipadan, Ligitan, Bunyu dan Pulau Tarakan sendiri. Semula saya menyimpulkan peta milik saya peta kuno. Tetapi setelah saya melihat peta-peta yang lain, ternyata sama saja. Belum juga saya temukan nama benda yang konon milik negara kita, Indonesia tercinta.

***

Blok Ambalat, apakah itu nama suatu tempat atau benda tertentu? Apa bedanya dengan Blok M dan blokong? Memang ketiganya berbeda. Untuk Blok M misalnya, banyak orang sudah tahu. Itu nama suatu kawasan di bagian selatan ibukota negara sana. Blok ini terkenal sebagai salah satu kawasan yang sangat populer di Jakarta. Baik populer karena kemacetan di terminalnya, pusat perdagangannya, maupun para premannya. Semua orang akan menjawab “tahu” kalau ditanya soal Blok M. Entah benar-benar tahu atau pura-pura tahu agar dikira tidak ndesa.

Lain Blok M lain pula blokong. Untuk blokong ini, semua orang benar-benar tahu. Itu adalah bagian tubuh yang relatif paling gempal. Ya memang, blokong adalah bahasa Srimulat yang suka plesetan untuk bokong alias pantat. Blokong ini adalah organ tubuh yang “jauh di mata dekat di hati”. Tidak ada orang yang bisa melihat secara utuh blokong sendiri kecuali melalui cermin. Dia relatif tidak begitu dipedulikan yang empunya, berbeda dengan wajah, tangan atau kaki yang selalu diolesi lotion biar kelihatan mulus dan terawat. Sedangkan blokong hanya kita elus-elus kalau di sana sedang bersemayam bisul. Dan meskipun tidak pernah dirawat secara khusus, kita akan sangat marah kalau ada tangan kurang ajar yang mengelusnya.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Nasib blokong ini hampir sama dengan nasib Blok Ambalat. Kalau itu memang milik kita, toh banyak di antara kita yang tidak pernah melihatnya ataupun tahu di mana tempatnya. Kita tidak pernah khusus merawatnya, tetapi sangat kebakaran jenggot ketika ada pihak lain yang sedang mengelus-elusnya. Orang boleh saja bilang, ini demi harga diri dan kedaulatan bangsa, tetapi apa ya betul begitu, sedang kita sendiri tidak tahu persis bagaimana duduk perkara sebenarnya.

Sesungguhnyalah, seperti dikatakan mantan dosen Geodesi ITB yang juga mantan Deputi Pemetaan Dasar Bakorsurtanal yang di-forward Dudy Darmawan dalam milist RSGIS-Forum, sengketa wilayah maritim di Ambalat timbul karena masing-masing pihak melakukan klaim wilayah maritim tertentu. “Jadi ini bukan sengketa wilayah kedaulatan dalam arti kata sovereignty, melainkan sengketa kedaulatan terbatas atau yurisdiksi untuk mengelola badan dan dasar laut, terutama hal sumber daya alam yang terkandung di dalamnya,” katanya.

Disebutkan juga, Ambalat ini bukan sebuah pulau, melainkan sebuah kontinen. Sebuah wilayah kelola potensi sumber daya alam. Dan wilayah itulah yang saling diklaim masih dalam wilayah yurisdiksi Malaysia dan Indonesia.

Jadi memang demikianlah adanya. Masalah itu tidak perlu dikaitkan dengan harga diri bangsa atau kedaulatan negara. Ini sekadar masalah sengketa biasa yang penyelesaiannya biar dilakukan oleh para petinggi negara. Kita telah menggaji mereka. Kalau bicara soal perang dan ganyang-mengganyang, Malaysia terlalu kecil buat kita. Kita juga sudah dipungut pajak yang antara lain untuk membayar tentara agar selalu siaga dan siap perang. Kalaupun perang, biarlah tentara maju dulu. Kalau memang tidak kuat, pastilah mereka akan njawil kita. Masih banyak kesempatan bagi kita untuk jadi pahlawan.

Memang akhirnya demikianlah nasib Blok Ambalat. Kalau itu ibarat bagian tubuh kita, maka dia tidak ubahnya dengan blokong alias pantat. Kalau sekarang diklaim sebagai milik Malaysia, anggap saja pantat kita sedang bisulan. Tidak perlu rasa sakit itu melebar ke soal kedaulatan negara dan harga diri.

Bicaralah soal kedaulatan, maka kedaulatan kita telah lama hilang bersamaan dengan membanjirnya utang luar negeri. Bicaralah soal harga diri, maka harga diri kita sudah lama hilang ketika kita terpaksa numpang makan di negeri jiran.

(Duto Sri Cahyono, SOLOPOS, 14 Maret 2005)

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.