Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Wolak-waliking jaman adalah kata-kata yang sering disebut orang untuk menggambarkan betapa dunia ini penuh dengan perubahan yang tidak pernah terduga sebelumnya. Orang yang dulu demikian terhormat, bisa menjadi orang yang sedemikian dihinakan. Atau sebaliknya, orang yang dulu dianggap sebagai penjahat, tiba-tiba muncul sebagai sosok pahlawan. Secara subyektif orang-perorang, berlaku hukum cakra manggilingan. Perputaran hidup; putaran nasib. Dulu di bawah, sekarang di atas. Pun sebaliknya.
Cakra manggilingan ternyata berlaku pula untuk tutur kata sehari-hari kita. Dulu orang sangat dituntut untuk bisa bertutur bahasa lemah lembut; menghaluskan ungkapan sehingga dirasa halus, tidak merugikan atau membuat orang sakit hati. Maka muncullah berbagai ungkapan penghalus dalam percakapan sehari-hari masyakarat kita. Misalnya saja kita kemudian mengenal berbagai istilah yang dianggap halus seperti “meninggal dunia”, “hubungan suami isteri”, “orang tidak berpunya” dan sebagainya yang semuanya untuk memperhalus istilah sehingga tidak terdengar kasar.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Ya, pada waktu lalu, memang demikian subur eufemisme di masyarakat kita. Hal itu tercermin pula dari bahasa yang digunakan media massa kita. Bahkan, agar tidak dirasa menyakitkan, pemerintah membuat istilah-istilah “politis” seperti “keluarga prasejahtera” sebagai ganti “keluarga miskin” atau juga “rumah sangat sederhana” sebagai ganti “rumah sangat sempit”.
Tetapi kini eufemisme telah mati. Media massa sebagai cerminan tutur bahasa masyarakatnya, memperlihatkan kematian eufemisme itu. Ada media cetak yang lebih senang menyebut “hubungan suami isteri” dengan “ngeseks”, atau “luka berat” dengan “bonyok”, dan berbagai istilah yang segalanya serba blakblakan. Demikian pula dengan televisi. Untuk menampilkan gambar dada, pantat dan paha, tidak ada kendala. Menyajikan ceceran darah dan luka menganga pun menjadi hal yang biasa.
Ketika semuanya telanjur telanjang, ketika kebugilan menjadi hal yang biasa seperti itulah, pada Jumat malam lalu saya mendapat SMS yang isinya sebuah undangan dari seseorang kawan yang mendapat amanat dari pimpinan MTA Solo, Ustad Sukina: “Mengharap kehadiran Bapak & Ibu, Sabtu 7 Mei ’05 jam 07.30 di Lapangan Kota Barat Solo. Acara Apel Akbar Anti Pornografi & Pornoaksi…”
Antipornografi? Antipornoaksi? Cukup itukah?
***
Pornografi dan pornoaksi yang demikian marak di tengah-tengah kita, sesungguhnya adalah cerminan diri kita saat ini. Kita yang suka ketelanjangan tetapi bukan keterbukaan. Kita yang suka kebugilan tetapi bukan kejujuran. Ketelanjangan bukan hanya pada kata-kata yang saling menghujat dan menghardik. Ketelanjangan sudah jauh merasuk pada tindakan-tindakan tidak terpuji. Lihatlah di sekeliling kita, korupsi terjadi di mana-mana. Semuanya telanjang tidak ditutup-tutupi.
Dengan demikian, maraknya pornografi dan pornoaksi di tengah-tengah masyarakat kita, hanyalah sebagian dari akibat penerimaan kita terhadap budaya telanjang secara keseluruhan. Semuanya serba terbuka, tidak perlu tedheng aling-aling, bukan hanya pada kata-kata tetapi juga tindakan keseharian.
Kemunculan budaya bugil yang kemudian mendominasi kehidupan kita, sesungguhnya tidak terlepas dari ketidakberdayaan kita menahan keinginan mendapatkan kesenangan sebesar-besarnya. Hanya saja, kesenangan tersebut seakan-akan hanya bisa diraih dengan kepemilikan materi yang sebanyak-banyaknya. Dalam lomba mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya inilah, kita tidak lagi mengingat norma. Tak lagi ingat susila.
***
Budaya telanjang kita, budaya bugil kita, pada satu sisi, berjalan seiring dengan maraknya pornografi dan pornoaksi pada sisi yang lain. Yang pertama muncul sebagai akibat dari dorongan keinginan mengejar materi, yang kedua muncul sebagai akibat mengejar pemuas nafsu berahi. Keduanya sama-sama memamerkan ketelanjangan. Yang pertama pamer ketelanjangan tindakan, yang kedua memamerkan ketelanjangan raga.
Demikianlah pada akhirnya, kedua ketelanjangan itu harus dihapuskan. Ketelanjangan pertama harus dihapuskan karena menggerogoti perekonomian bangsa. Ketelanjangan kedua harus juga dienyahkan karena menggerogoti moral bangsa. Menghapus satu tanpa memedulikan lainnya, maka keruntuhan bangsa ini hanyalah menunggu waktu.
(Duto Sri Cahyono, SOLOPOS, 09 Mei 2005)