Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Kawan saya, bos perusahaan tikar plastik, secara bergurau pernah berkata, dalam kondisi apa pun bangsa Indonesia ini, bisnis yang dia tekuni tidak bakal gulung tikar. Paling tidak, asal tidak salah urus atau kena musibah, pabrik tikar akan selalu berjaya. Pasalnya, bisnis yang dia tekuni sangat mendukung hobi lesehan orang Indonesia yang juga punya “budaya” kenduri.
Budaya kenduri, jelas memberikan dukungan nyata bagi perkembangan industri tikar. Ada kematian, kenduri. Ada kelahiran, kenduri. Dan sepertinya belum pernah ada cerita kenduri dilakukan ala standing party. Pastilah dengan cara lesehan dan semua itu butuh tikar. Juga, tikar digunakan oleh semua “jenis” manusia. Orang yang punya hobi gaple, melaksanakan hajatnya beralaskan tikar. Orang yang punya hobi beribadah, juga berlama-lama sujud menyembah Sang Pencipta beralaskan tikar.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Akibat “jati diri” tikar yang demikian itu, dalam kondisi normal, seorang bos pabrik tikar tidak bisa menentukan pasti apakah bangsa Indonesia ini sedang bersedih atau gembira, sedang krisis atau sedang kaya, berdasarkan omset penjualan tikar yang diproduksinya. Namun ketika zaman sedang “tidak normal”, dia bisa segera mendeteksi ketidaknormalan itu.
“Bagaimanapun, tikar bukanlah kebutuhan primer. Ketika masyarakat dihebohkan masalah harga BBM, mereka akan mengejar pemenuhan kebutuhan primer dulu. Jadi, untuk saat ini, produksi tikar ya sepi-sepi saja,” kata kawan saya itu lewat telepon, dan terdengar tanpa emosi.
Ekspresi wajah kawan saya itu, saya bayangkan sama persis dengan ekspresi kebanyakan orang yang saya temui di mana-mana. Datar, pasrah, dan hampir-hampir tidak peduli. Mereka tahu dan merasakan sesak di dada ketika harga berbagai kebutuhan hidup bergerak naik, bahkan sebelum harga bahan bakar minyak (BBM) resmi dinaikkan. Tapi semua tampak tidak peduli dengan berkata, “Kuat dilakoni, ora kuat disingkiri”. Cuek bebek, begitu orang berkata.
***
Pro-kontra tentang rencana kenaikan harga BBM sedemikian merebak saat ini. Semua berkata atas nama rakyat. Presiden dan jajarannya mengatakan pencabutan subsidi harga BBM adalah demi rakyat. Ketika para anggota DPR berteriak menolak rencana itu, mereka juga berteriak atas nama rakyat. Dalam konteks ekonomi seperti ini, siapakah rakyat?
Bagaimanapun, seperti disinggung ekonom Fredrik Benu, “rakyat” adalah suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat ditangkap untuk diamati perubahan visual ekonominya. Mengutip Asy’arie, dia mengatakan kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat. Ibarat kata “binatang”, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang.
Sama halnya dengan hal itu, maka ketika semua berbicara atas nama rakyat, pertanyaannya adalah rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Semua orang Indonesia punya hak untuk menyandang predikat “rakyat”. Bahkan, koruptor pun berhak menyandang predikat “rakyat”. Ilustrasi tentang hal itu dikemukakan Fredrik Benu, yakni seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Itu memang benar, walaupun dalam perjalanannya, seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.
Oleh karena itu, ketika semua berbicara tentang rakyat, sosok rakyat macam apakah yang ada di benak mereka masing-masing? Ketika tiada kejelasan tentang hal itu, tidak mengherankanlah kalau banyak orang malah merasa tidak perlu mau ambil pusing. Siapa peduli?
***
Diakui atau tidak, asas representasi seringkali berbeda dalam teori dan praktik. Pengalaman menunjukkan, representatives alias para wakil rakyat, setelah terpilih, tidak lagi menyuarakan konstituen mereka. Para wakil rakyat justru membentuk kelompok elite yang teralienasi dari aspirasi rakyat yang mereka wakili. Mereka tidak lagi membina kaitan kuat dengan konstituen. Oleh karenanya, mereka kehilangan sentuhan dengan keinginan rakyat yang diwakili.
Banyak pula wakil rakyat yang justru terkooptasi oleh kepentingan eksekutif dan karenanya sekadar menjadi rubber stamp alias tukang cap untuk menyokong politik eksekutif. Bangsa ini telah mencatat pengalaman seperti itu berkali-kali.
Ketika saat ini para wakil rakyat berteriak kencang atas keputusan pemerintah tentang harga BBM, kita hanya bertanya-tanya benarkah semua itu demi para konstituen mereka, ataukah sekadar alat negosiasi dalam politik dagang sapi? Terlalu banyak sudah kita berharap, toh terlalu banyak kecewa pada akhirnya.
Demikianlah adanya. Kalaupun pemerintah jadi menaikkan harga BBM sebesar rata-rata 29 persen per 1 Maret besok, maka tidak ada kalimat lain dari kita kecuali kuat dilakoni, ora kuat disingkiri. Ya, mau apa lagi….
(Duto Sri Cahyono, SOLOPOS, 28 Februari 2005)