Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Pastilah bukan karena ada Inpres No. 10 Tahun 2005 kalau remote control AC di ruang kerja saya selalu menunjuk angka 26 derajat celsius. Juga bukan karena tidak perlu memakai jas sesuai dengan semangat penghematan kalau saya sekadar memakai kemeja ketika menerima tamu. Itu semua memang kebiasaan. Semua itu karena kesenangan. Kebiasaan dan kesenangan yang sering membuat orang sewot.
Jangan heran karenanya kalau banyak kolega yang berkomentar senada ketika masuk ke ruangan saya. “AC-nya apa nggak dihidupkan?” Berkata begitu, mereka biasanya sembari melihat ke AC yang menempel di dinding atau melirik ke remote control AC di meja saya. Komentar paling keras biasanya datang dari bos saya. Meski terlihat mimik gurau, tetapi biasanya Pak Bos bernada serius: “Lepas saja itu AC-nya, percuma saja dipasang…”
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Menanggapi komentar-komentar seperti itu biasanya saya hanya berhe-ha-he-he. Maka, begitu keluar Inpres tentang penghematan energi, saya juga berhe-ha-he-he. Setidak-tidaknya, kalau Inpres itu juga berlaku untuk instansi swasta seperti tempat saya bekerja, maka saya tidak akan tersiksa berada di kantor. Sebab, Inpres itu kan juga mengatur tentang pembatasan penggunaan AC hingga suhu 25 derajat celsius di kantor dan mal, selain membatasi jam siaran televisi dan pembatasan-pembatasan demi “penghematan” lainnya.
Jadi, jelaslah, kalau selama ini saya nyetel suhu AC ruang kerja di angka 26, sangatlah sejalan dengan instruksi Pak Presiden. Hanya saja, sejalan bukan berarti seirama. Sejalan belum tentu sejiwa. Kalau saya cenderung suka ruangan yang tidak begitu dingin, itu pastilah karena saya memang suka. Kalau saya harus berada di ruangan bersuhu 20 derajat selama dua jam saja misalnya, maka terampaslah kesenangan saya.
Demikianlah jadinya. Inpres No 10/2005 adalah pangkal sengsara. Itu pasti menjadi kenyataan bagi orang yang biasa ke kantor naik mobil lantas diwajibkan naik sepeda onthel. Belum lagi kalau dia punya sakit encok menahun, atau alergi pada debu jalanan. Juga hal itu lebih menyengsarakan lagi bagi ibu-ibu pejabat yang sangat peduli keindahan dan kecemerlangan kulit. Sudah kemringet, kulit halus terancam melepuh. Yang putih bisa jadi coklat, yang coklat jadi legam. Malah bersisik lagi, hiii… Maka, mereka pun akan bernyanyi sambil menahan tangis: “Cukup sudah derita ini…”
***
Pepatah mengatakan hemat pangkal kaya. Hanya saja kita sudah lama bergaya hidup kaya, dan kini terpaksa berhemat karena tak ingin benar-benar hidup sengsara. Kita selama ini memang bergaya hidup kaya, atau lebih tepat bergaya hidup boros, karena manusia kaya tidak identik dengan manusia boros. Negeri kita, selama ini dikenal sebagai negara yang paling boros dalam menggunakan energi, terutama untuk kepentingan transportasi. Sebanyak 49 sampai 51 persen BBM misalnya, digunakan untuk transportasi.
Pemborosan seperti itu memang kita lihat sehari-hari. Berapa persen mobil pribadi dan juga mobil dinas yang berseliweran di jalanan yang terisi penuh sesuai kapasitas penumpang? Pada saat bersamaan, kita lihat pula mobil-mobil angkutan penumpang umum hanya terisi satu-dua orang. Juga, lihatlah kehidupan malam di sekeliling kita. Lampu terang benderang di jalan-jalan sepanjang ribuan kilometer. Semua jorjoran melebihi kebutuhan. Belum lagi lampu sorot ribuan watt, kita temukan di hampir semua kota. Keindahan seperti apakah yang hendak kita ciptakan? Yang ada hanya pemborosan. Yang ada kebanggaan semu. Keindahannya pun keindahan palsu…
Tetapi itulah Indonesia. Imbauan agar masyarakat hidup hemat bukan barang aneh. Zaman dulu pun sudah ada imbauan semacam itu. Hanya saja imbauan tersebut tidak akan berarti apa-apa. Bahkan imbauan itu percuma belaka karena awal persoalannya adalah hilangnya pertimbangan kemanfaatan dalam gerak kehidupan kita sehari-hari. Semua yang kita lakukan, semuanya demi kesenangan seketika semata.
Hedonisme, barangkali kita semua memang penganut paham itu. Pengejar kesenangan. Karena itu, bagi para hedonis seperti kita, yang sungguh baik bagi kita adalah segala sesuatu yang memberi kesenangan. Demi kesenangan, kita tidak peduli apakah itu boros atau tidak. Kehidupan masa kini, bagi kita, sama sekali terpisah dengan masa lalu dan masa yang akan datang. Kalau saat ini kita harus berhemat, pasti itu bukan karena kita pengin kaya. Kita berhemat semata-mata karena terpaksa.
Bagi para hedonis seperti kita, kalau keadaan bisa pulih seperti sedia kala, kita akan kembali hidup berfoya-foya. Pemerintah pun, saya yakin, tidak akan pusing-pusing lagi merancang penghematan karena itu berarti kesengsaraan. Kita yakin, sebab pemerintah adalah bagian dari kita. Kegemarannya pun sama dengan kita: Senang suka-suka…
(Duto Sri Cahyono, 18 Juli 2005)