Prof Mubyarto, dalam sebuah diskusi di Kampus UGM Yogyakarta, pernah mengeluhkan tentang maraknya penjiplakan karya tulis yang disebutnya sebagai salah satu akibat atau juga indikator bobroknya sistem ekonomi di negeri ini. Dia kemudian menyontohkan sebuah tulisannya yang dijiplak mentah-mentah oleh seorang dosen. Tak tanggung-tanggung, dosen sebuah perguruan tinggi ternama di Jakarta itu bergelar doktor. Tak ayal lagi, keluhan itu saya sambar sebagai bahan berita ketika saya masih bekerja di sebuah koran di Yogyakarta pada tahun 80-an.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Selama hampir tujuh hari berturut-turut, kasus tentang penjiplakan karya Prof Muby muncul sebagai berita berseri di halaman pertama koran tersebut. Isunya kemudian menasional karena berita itu dikutip oleh kantor berita, dilansir sebuah koran besar Ibukota, dan dijadikan salah satu menu berita sebuah majalah ternama.
Kasus penjiplakan tersebut menjadi berita besar karena sejumlah hal. Antara lain, keterlibatan seorang doktor, yang dikenal orang awam sebagai gelar orang pinter. Dan juga, buku jiplakan itu beredar luas di pasaran karena masuk dalam jaringan penjualan buku sebuah penerbit yang sangat ternama. Terbukti kemudian, penerbit itu sekadar menjadi korban karena manajemennya tidak tahu sama sekali kalau ternyata mereka menjual karya tulis jiplakan.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Kasus penjiplakan, memanglah tidak berhenti hanya di situ. Serentetan kasus penjiplakan terus saja terjadi. Yang terseret di dalamnya, baik sebagai pelaku maupun korban, berasal dari berbagai kalangan. Celakanya, para penjiplak biasanya bukanlah orang yang dikenal bodoh. Umumnya mereka malah pandai-pandai kalau dilihat dari tingginya pendidikan mereka, meski kenyataannya mereka sekadar pandai menipu, pandai memanipulasi. Maling intelek, begitulah…
***
SOLOPOS, koran Anda ini, tidak hanya sekali menjadi korban kerja bobrok para penjiplak yang membuat tulisan dengan cara plagiat. Para plagiator yang menjadikan SOLOPOS sebagai korban itu berasal dari berbagai kalangan. Ada akademisi, pegiat LSM, orang yang mengaku berasal dari pesantren dan bahkan oleh wartawannya sendiri. Untuk semua kasus tersebut, SOLOPOS tidak ada ampun. Mereka semua kena sanksi, mulai dari di-black list sebagai penulis yang haram menulis di koran ini bagi penulis luar, sampai sanksi pecat bagi wartawan plagiator. Meski telah dibuat pagar demikian, masih saja koran ini menjadi korban. Korban pencurian para maling. Ya, maling. Mengapa?
Plagiat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memang berarti “pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri…; jiplakan”. Namun, saya cenderung sependapat dengan Arya B Gaduh, yang menulis tentang persoalan plagiat ini di weblog-nya, bahwa esensi penjiplakan bukanlah “pengambilan” tetapi “pencurian”. Sebab, seperti dikatakannya, akar kata “plagiat” berasal dari bahasa Latin, plagiarius, yang berarti “penculik”, dan plagiare yang berarti “mencuri”.
Memang sangat jelas, bahwa menjiplak karya orang lain bukanlah “mengambil” hasil kerja keras orang lain tetapi “mencuri”. Pelakunya, sama saja dengan perampok. Juga tidak beda dengan maling. Maling ide, maling tulisan, maling gagasan…
***
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, buku karya sastra Hamka, pastilah mengingatkan kita tentang isu plagiat yang pernah menerpa dunia kepenulisan Indonesia. Hanya saja orang tidak bisa serta merta menyatakan Hamka menyadur karya sastra Alphonse Carr yang kemudian diterjemah ke bahasa Arab oleh Al-Manfaluthi dengan judul Magdalena seperti pernah diributkan dulu. Sebab, seperti mengemuka dalam pembelaan atas Hamka, kisah manusia bisa saja menemui situasi yang sama. Lagi pula, pengarang pun mempunyai sifat keterpengaruhan karya atas karya.
Persoalan Hamka memang persoalan masa lalu. Masalahnya, persoalan plagiat saat ini sedemikian telanjang. Plagiat masa kini bukanlah persoalan kesamaan situasi, juga bukan keterpengaruhan karya atas karya. Plagiator masa kini benar-benar adalah pencuri; perampok. Tanpa malu, tanpa ragu, plagiator masa kini menyalin begitu saja tulisan orang lain dan melabelinya dengan nama diri.
Apa pun tujuannya, apakah untuk mendapatkan uang, popularitas, gelar ataupun mencapai target kerja, kerja seorang plagiator adalah kerja seorang pencuri. Dan seperti nyanyian anak-anak tentang si kancil yang suka mencuri timun, maka syair penutupnya adalah: “Ayo lekas dipukul, jangan diberi ampun…”
(Duto Sri Cahyono, SOLOPOS, 11 April 2005)