Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Biar bengkong asal berseri. Begitulah jadinya kalau kita mencoba merangkaikan slogan Kota Solo dengan keberadaan rel bengkong di Purwosari. Biarlah Pak Ponco, bos DLLAJ Solo, pernah minta masyarakat untuk tidak lagi membuka kontroversi soal rel bengkong, saya tetap tertarik meliriknya. Bagaimana mungkin tidak tertarik dan bagaimana mungkin tidak terusik kalau ternyata tetap banyak pengguna jalan yang nggledhak di sana.
Lagi pula, hampir berbarengan dengan hari ulang tahunnya yang ke-261, Kota Solo mendapatkan Wahana Tata Nugraha. Artinya, Kota Solo dianggap jawara dalam menata sistem lalu lintas. Dan tanpa mengecilkan arti penghargaan itu, fakta menunjukkan masih banyak orang menjadi korban kecelakaan lalu lintas di tempat yang sudah bertahun-tahun dikenal sebagai pemangsa korban itu: rel bengkong.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Konon Departemen Perhubungan memutuskan tidak akan menutup atau membongkar rel kereta api di tengah Kota Solo itu karena dinilai sebagai potensi yang tidak dimiliki kota lain. Tetapi ya begitulah, dari dulu sekadar menjadi potensi, tanpa menghasilkan keuntungan nyata. Juga tak pernah memberi manfaat apa-apa.
Masalahnya memang sudah jelas dan gamblang. Semuanya menyangkut masalah dana. Tanpa dana, tanpa penggarapan lebih lanjut, potensi ekonomi apapun tidak akan pernah berubah menjadi sumber pendapatan. Alih-alih memberi nilai tambah bagi kota ini, rel bengkong malah menggerogoti kantong warga yang berjumpalitan terpeleset di sana. Ada yang cuma lecet, tetapi banyak yang berdarah-darah. Ada yang sekadar memar, tetapi lebih banyak yang patah tulang. Ada yang cuma pingsan, tetapi… masya Allah… ada juga yang harus meninggalkan keluarga dan handai taulan selama-lamanya.
Korban rel bengkong, tidaklah terbatas pada “dia” atau “mereka” sebagai orang-orang yang tidak kita kenal. Mereka bisa kawan kita, tetangga kita, kakak kita, anak kita, isteri atau suami kita, bahkan bisa diri kita sendiri. Tidak peduli siapapun orangnya, meraka adalah manusia. Kalau kita percaya, seharusnya nilai nyawa mereka lebih dari sekadar benda ekonomi. Penghargaan terhadap mereka, seharusnya, melebihi penghargaan kita terhadap kebanggaan masa lalu. Sebuah kebanggaan yang seringkali semu….
***
Namun celakanya memang, nyawa manusia Indonesia sering dihargai murah. Sangat murah bahkan. Nyawa manusia dihargai lebih rendah ketimbang keperluan membuat jalur transportasi. Nyawa manusia lebih rendah ketimbang keperluan pembangunan sebuah waduk. Nyawa manusia juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelancaran pasok listrik.
Tidak di zaman kolonial, tidak di zaman sekarang, semuanya sama. Sedemikian banyak nyawa manusia telah menjadi tumbal “kepentingan ekonomi”. Di bawah ambisi Daendels, jalan Anyer-Panarukan menguras tenaga, harta dan nyawa rakyat jelata. Dimulai dari keangkuhan rezim Orde Baru, Waduk Kedung Ombo masih menyisakan air mata. Di bawah kepura-pura-tidaktahuan rezim penguasa sekarang ini, banyak nyawa manusia dipertaruhkan di bawah elusan radiasi aliran listrik tegangan tinggi.
Jangankan hanya tapa mbisu dengan menjahit mulut, bahkan kalau pun sampai para pemrotes saluran listrik itu meregang nyawa, barangkali para penguasa tidak akan peduli.
Sejarah memang telah mencatat berbagai kemajuan peradaban manusia Indonesia berkat adanya jalan yang dibuat dengan cara kerja paksa pada awal mulanya. Juga banyak manfaat bisa dipetik dari melimpah ruahnya air yang tertampung di genangan Kedung Ombo. Begitu juga dengan keberadaan saluran listrik tegangan tinggi, telah memberikan “kehidupan” di banyak tempat di banyak komunitas masyarakat. Meskipun demikian, kemajuan sebagian peradaban manusia dengan mengorbankan peradaban sebagian manusia lainnya, menjadi tidak beda dengan kelangsungan hidup sekelompok hewan karena menang bertarung dengan kelompok hewan lainnya.
***
Dengan semangat kepura-pura-tidaktahuan yang berkembang di lingkar pemerintahan pusat itukah rel bengkong bakal dipertahankan? Benarkah Solo bakal diwujudkan menjadi kota yang berseri meski dalam kebengkongan?
(Duto Sri Cahyono, SOLOPOS, 20 Februari 2006)