Orang tua dari siswa sebuah sekolah menengah di Simo, Boyolali, dikabarkan pingsan begitu mendengar anaknya tidak lulus ujian nasional. Para tetangga pun sibuk menyadarkannya. Tidak juga kembali segar bugar, maka rumah sakitlah yang harus menanganinya. Begitu siuman, orang tua murid tersebut tersandar lemas. Air matanya berderai. Dia meratap. Dia terperangah. Bagaimana bisa anaknya yang sejak kelas satu hingga kelas tiga selalu mendapat ranking I dalam penerimaan rapor semesteran maupun kenaikan kelas, bisa gagal total dalam ujian negara.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Vonis tidak lulus ujian nasional bagi ribuan siswa sekolah menengah, baik pertama maupun atas, baik umum maupun kejuruan, memang membuat syok para siswa dan juga para orangtua. Tidak hanya ribuan, tetapi ratusan ribu siswa dan orangtua yang meratap berkepanjangan. Bukan hanya meratap, mereka akhirnya juga harus sakit hati.
Bagaimana tidak sakit hati? Sudah gagal ujian, mereka masih juga dihujat. Mereka dibilang sebagai para pemalas. Juga dikatakan sebagai siswa yang tidak mau belajar dengan keras. Celakanya, orang yang mengatakan demikian adalah manusia yang seharusnya paling bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan formal di Indonesia: Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Dengan mengatakan hal itu, maka Bambang Sudibyo sesungguhnya bagaikan menepuk air di dulang-yang seharusnya ia rasakan dan pada akhirnya-memercik ke muka sendiri. Persentase ketidaklulusan yang demikian besar, sesungguhnya bukan hanya aib para siswa atau orang tua mereka. Itu juga seharusnya aib Bambang Sudibyo, aib kita semua, aib bangsa Indonesia. Lebih dari itu, benarkah para siswa yang tidak lulus itu adalah para pemalas? Benarkah bahwa mereka semua juga anak-anak yang tidak mau belajar keras? Sungguh sebuah kesimpulan yang menyederhanakan masalah. Ataukah memang sedemikian sederhana persoalan pendidikan kita di mata Bambang Sudibyo, Sang Mendiknas?
***
Selama hampir tiga tahun sejak kelas satu hingga kelas tiga SMP di kota kecamatan di wilayah Kabupaten Temanggung, saya jalan kaki dari rumah ke sekolah menempuh jarak 10 km untuk mencapai sekolah. Jadi total jarak yang saya tempuh jalan kaki pergi-pulang sejauh 20 km. Berangkat pukul 04.00 pagi menguntit orang jualan kayu karena pada jam itu keadaan masih gelap. Pulang sampai rumah sekitar pukul 17.00 sore. Kala malam mulai merangkak, saya hanya sempat belajar sebentar karena harus segera tidur kalau tidak ingin bangun kesiangan esok harinya.
Cara mencari ilmu seperti itu saya tempuh selama tiga tahun. Dan jangan dibayangkan bahwa jalan yang saya selusuri adalah jalan halus beraspal. Itu adalah jalan pelosok desa, yang berubah menjadi kubangan kala musim penghujan datang dan berdebu setinggi mata kaki kala kemarau mencapai puncak. Seandainya ketika kelas tiga saya tidak lulus, dan ada orang yang mengatakan saya adalah pemalas dan tidak mau belajar keras, maka bapak saya pasti pingsan karena sedemikian marah dan sedih yang berlebihan….
Saat ini, setelah sekian tahun berlalu, masih banyak anak Indonesia yang harus menuntut ilmu dengan cara itu. Tidak perlu hal itu dibayangkan terjadi di daerah pelosok di luar Jawa. Itu masih terjadi di banyak daerah di wilayah Jawa sendiri. Mungkin hal semacam itu tidak pernah terbayangkan oleh seorang Bambang Sudibyo yang memakai “kacamata” Jakarta dalam melihat persoalan. Maka tak mengherankan kalau dengan entengnya dia mengatakan para siswa yang gagal adalah siswa yang malas dan tak mau belajar keras.
Banyak memang siswa yang malas. Juga banyak pelajar yang tidak suka belajar. Tetapi juga harus diingat, tidak sedikit guru swasta yang mengajar dengan semangat pas-pasan. Mereka lebih mementingkan kerja sampingan karena gajinya bukan hanya pas-pasan tetapi sangat-sangat kurang. Mereka tidak seberuntung kawan-kawannya yang pegawai negeri yang bisa terima gaji tepat waktu, berstandar nasional lagi.
Banyak memang bangunan sekolah yang megah, tetapi juga lebih banyak lagi bangunan yang tidak layak huni. Jangankan punya laboratorium praktek, kapur tulis pun sering tak ada lagi di kotak persediaan. Jangankan ada pelajaran-pelajaran tambahan bagi siswa, bahkan banyak jam kosong ditinggal guru yang kelelahan karena harus merangkap jadi tukang ojek di jalanan.
Itu semua adalah kenyataan, seperti halnya kenyataan bahwa pemerintah belum mampu menyediakan anggaran pendidikan sebanyak yang digariskan oleh konstitusi. Itulah faktanya, sebagaimana fakta bahwa pemerintah belum bisa memberikan pendidikan yang adil dan merata kepada seluruh warganya. Dan yang lebih nyata lagi adalah betapa Mendiknas telah cuci tangan atas kegagalan puluhan ribu siswa untuk melewati ujian nasional.
Sesungguhnyalah, kegagalan mereka adalah kegagalan kita semua. Kegagalan mereka adalah kegagalan bangsa Indonesia. Juga kegagalan saya, kegagalan Anda, dan tidak terkecuali kegagalan Bambang Sudibyo, Sang Menteri kita. Sesungguhnya pula, itu bukan sekadar aib, tapi sebuah tragedi….
(Duto Sri Cahyono, SOLOPOS, 4 Juli 2005)