Totalitas H Syamsul Saputro sebagai maniak murai batu tak perlu diragukan lagi Untuk merealisasikan konsep breeding murai batu yang dikemas secara eksklusif dengan memproduksi 31 indukan, berkualitas dari program 100 kandang yang sedang dirintis di penangkarannya, ia juga terus memburu bibit-bibit pilihan ke berbagai daerah.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Di samping itu, untuk menambah wawasannya tentang dunia breeding murai batu, majikan SKL BF Jatibarang Indramayu ini sengaja meluangkan waktu untuk terjun langsung ke Tanah Rencong, Nangro Aceh Darussalam, untuk meninjau aktivitas murai batu di habitatnya.
Ya, selama empat hari tiga malam, mulai 24 hingga 27 Maret lalu, pemilik SKL Bird Farm Jatibarang, Indramayu ini, melakukan turnya ke Aceh. Hali ini dianggapnya sangat perlu, sebagai wujud kepeduliannya terhadap kelestarian murai batu. Di antaranya ia mengunjungi wilayah elite murai pesisir, yakni Keudebieng, Ujung Pancu dan Tangse, serta perbukitan Lhoknga.
Wilayah-wilayah tersebut merupakan tempat favorit karena produktif menghasilkan murai-murai jawara.
Bagi Syamsul, kedatangannya ke Aceh merupakan yang kesekian kalinya. Selama di Aceh, ia didampingi oleh kerabatnya, Herry Aceh, yang namananya tidak asing di kalangan kicaumania Nusantara, khusunya penggemar murai batu.
Dengan melihat langsung di habitatnya, ia bisa banyak belajar dan mengamati aktivitas murai di alamnya. “Kita bisa tahu kebiasaan murai di alamnya bagaimana. Minimal ada yang bisa diterapkan di kandang ternak, sehingga bisa meminimalisir berbagai macam kendala yang menghambat produksi,” urainya.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Dan hasil pantauannya ke wilayah-wilayah tersebut, ia merasa prihatin dengan kondisi saat ini. Sangat ironis, di tengah terus meningkatnya popularitas murai batu di arena lomba belakangan ini, ternyata tidak sebanding dengan kondisi di habitatnya.
“Maraknya kelas murai batu ternyata tidak diikuti dengan kepedulian terhadap pelestarian di habitatnya,” ujar Syamsul.
Meroketnya murai batu secara perlahan mulai mengancam kelangsungan habitatnya. Salah satu efeknya ialah semakin maraknya penangkapan liar yang dilakukan para oknum, yang lebih peduli pada keuntungan sesaat tanpa peduli terhadap pelestarian di alamnya.
Makin termotivasi
Melihat kondisi demikian, Syamsul semakin termotivasi untuk melestarikan murai batu agar terhindar dari kepunahan. la juga bérharap, tantangan ini tidak hanya berlaku bagi dirinya.
“Saya harapkan kepedulian terhadap pelestarian murai batu juga dilakukan semua insan kicaumania. Mari kita pelan-pelan belajar menangkarkan murai batu agar populasinya tetap terjaga. Bahkan, untuk jenis-jenis burung lokal lainnya pelestarian juga perlu digalakkan, karena kondisinya tidak jauh beda,” himbaunya.
Menurut Syamsul, berkurangnya murai di habitatnya akibat eksploitasi yang tidak terkontrol. Sebagai perbandingan, 2-3- tahun yang lalu, jika berburu murai ke Aceh, bisa mendapatkan 6-8 ekor dalam waktu perburuan selama 1-2 hari. Namun setahun belakangan ini kondisinya jauh berbeda. Untuk bisa mendapatkan 2-3 ekor saja, membutuhkan waktu 3-4 hari.
“Itu pun harus menginap di hutan langsung. Maka tak mengherankan jika harga anakan murai hutan bisa mahal, dikarenakan biaya perjalanan yang membengkak,” katanya.
Beli indukan
Untuk pengembangan kandang ternaknya, SKL BFmengambil dua ekor anakan jantan dari pemikat (pengepul) di wilayah Keudebieng. lnduknya yang sangat istimewa itu berasal dari salah satu wilayah favorit.
Kedua burung bahan tersebut dibelinya dengan penuh perjuangan. la harus melobi selama 4,5 jam di malam terakhirnya di Aceh. Karena tadinya kedua burung tersebut tidak akan dijual.
“Kedua anakan ini bukan burung sembarangan, anak dari indukan istimewa keturunan penguasa wilayah di Keudebieng. Usianya baru 1,5 tahun, dari satu indukan namun beda tetesan,” jelasnya.
Syamsul merasa bersyukur bisa memiliki burung istimewa yang didapatkan langsung dari habitatnya, meski dengan harga istimewa pula. Oleh karenannya, sudah bisa dipastikan keduanya akan diandalkan untuk mengisi formasi kandang ternaknya.
”Dengan mengambil kedua anakan ini berarti saya menyimpan stok murai istimewa untuk dilestarikan dikandang ternak,” tuturnya.
Selain mengambil beberapa murai anakan dari pemikat, ia juga memboyong beberapa murai mantan jawara dari murai mania Aceh. Di antaranya, Rawing, mantan jawara nasional milik Herry Aceh, yang usianya sudah matang, 6-7 tahun. Rawing salah seekor burung istimewa besutan Herry Aceh.
Sebagai konsekuensi atas kualitasnya, Syamsul pun tidak keberatan mengambilnya dengan harga tinggi. (Sumber foto: kicaumania.org – Agrobis Burung, Sumber artikel: Tabloid Agrobis Burung)