Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Ya itulah sebuah “tradisi” yang selama ini terjadi. Kalau pertanyaannya adalah mengapa tradisi seperti itu muncul dan dipertahankan? Baiklah kita simak dulu beberapa poin di bawah ini.
Seorang juri lomba burung berkicau menegaskan masih banyak juri yang tetap memegang komitmen dan etika penjurian, meski demikian diakuinya pula ada yang melalukan kongkalikong dalam bertugas.
Tidak hanya juri PBI
Juri tersebut, sebagaimana ditulis sebuah tabloid, menjelaskan ada perilaku juri curang dan sering memanfaatkan profesinya untuk mencari keuntungan yang lebih besar dengan cara yang tidak benar.
Dan hal itu bukan hanya terjadi di lingkungan juri PBI, tetapi juga banyak terjadi di komunitas juri lain, baik independen atau juri-juri yang beratribut lain.
Bila juri PBI selama ini sering mendapat kecaman dan mendapatkan abu hangat dan persoalan juri di kancah perburungan di Tanah Air, juri tersebut cukup memahami, karena juri PBI selalu bertugas di even yang besar-besar yang banyak mendapat perhatian kicaumania.
Sementara juri-juri independen, juri lokalan, mereka hanya melakukan tugas di even skala kecil, yang mana kalau mereka melakukan kecurangan atau KKN isunya hanya terendus dan menjadi pembicaraan dì daerah itu saja, tidak sampai terdengar hingga ke pelosok negeri.
Seorang juri lain dan cukup berpengalaman sebagai juri PBI mengakui memang ada oknum PBI yang nakal, tapi masih ada sosok juri yang memilik prinsip dan menjaga kredibilitas dalam bertugas.
“Tidak sedikit lho juri PBI yang mengaggap tugas sebagai juri hanya sebagal menyaluran hobi, kalaupun dapat honor itu bagian dari hasil kerja. Tapi sehari-hari mereka itu punya pekerjaan yang cukup baik,” jelas juri tadi.
Pembersihan
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Sang juri tadi juga mengaku risih atas tudingan pemain yang sering mengarah ke korp juri padahal itu dilakukan oleh oknum bukan juri secara keseluruhan. Memang setiap lomba ada saja oknum juri yang memanfaatkan jabatannya saat bertugas, entah yang namanya mendapatkan titipan dan teman pemain, atau mengangkat nilai burung yang dibeli darinya dan sebagainya.
Juri seperti itu berusaha mempengaruhi teman lain dalam menentukan burung yang layak juara.
Orangnya itu-itu saja
Sebenarnya juri-juri yang melakukan KKN menurut teman juri tadi bisa dilihat, di mana burung yang kurang kerja dipaksa untuk diangkat nilainya. Dan biasanya juri yang melakukan hal seperti itu, orangnya ya itu-itu juga.
Karenanya sang juri tadi, sebagaimana ditulis Agrobur, menitip pesan agar pejabat fungsional maupun pejabat strukturaI PBI yang berkaitan dengan pengaturan juri bisa melakukan terobosan segera. Misalnya melakukan regenerasi guna memberikan penyegaran terhadap juri yang ada saat ini.
Kalau menganalisa keinginan sang juri tersebut soal regenerasi, memang ada benarnya, karena juri-juri PBI yang notabene suka mengatur juara, umumnya yang menyandang predikat senior atau yang usianya sepuh yang bakal pensiun di usia 55 tahun. Kalaupun yang muda ikut-ikutan, jumlahnya bisa dihitung.
“Intinya, sekarang ini kelakuan tidak terpuji dari dua tiga juri menjadikan kita-kita yang kerja sungguhan ikut dianggap jelek, banyak teman-teman juri yang saya anggap memiliki kredibilitas tinggi telepon saya tentang masalah ini.”
Tidak mesti juara
Menyoal burung yang sering juara itu-itu saja di lomba besar, sang juri tadi menjelaskan ada banyak kemungkinan, tapi tidak semua tudingan menjuarakan burung titipan itu benar. Pasalnya juri bekerja untuk menjuarakan burung yang kerjanya terbaik, kalau kebetuIan yang juara adalah burung yang sering juara di lomba lain, itu memang benar kalau burung tersebut Iayak juara.
“Yang penting saat di lapangan kerjanya lebih baik dan burung lain, walaupun burung itu sebelum-sebelumnya sening juara di tempat lain kita nggak urusan, kan nggak apa-apa menjuarakan burung itu? Justru kalau kita tidak juarakan malah kita yang tidak fair,” jelas sang juri itu.
Memang ada benarnya argumen dia, apalagi kerja lapangan burung bersangkutan cukup bagus tentu sulit bagi juri untuk berpaling darinya. Setidaknya semua koncer A pasti tertuju ke burung tersebut. Apalagi burung itu sudah punya nama, setidaknnya ikut mempengaruhi juri untuk menjuarakannya.
Sebagaimana ditulis Agrobur, jika kita melihat di lapangan selama ini, kenyataan di atas memang demikian adanya. Kalaupun ada burung baru yang namanya belum mencuat lalu kemewahan kerja lapangannya menyamai si burung jawara, juri tetap menjuarakan burung yang punya nama, kecuali kerjanya bisa lebih mewah dari burung jawara tadi, barulah juri akan menjuarakan debutan baru ini.
Bagaimana pendapat sang juri itu soal kondisi itu? Ternyata dia mengamininya. Bahkan juri lain yang pernah bergabung di penjurian PBI saat dimintai pendapatnya tentang hal itu rnenjelaskan, ibarat juara bertahan, kalau ada lawan yang kualitas kerjanya sama, kebanyakan juri akan menjuarakan burung yang sudah punya nama.
Hal itu dilakukan untuk menghindari tos, masak juara satu ditos. “Kecuali ada burung baru yang kerjanya lebih mewah sedikit saja, baru juri akan menjuarakan debutan baru itu,” ujar dia.
Juara I ditos
Sobat, demikian sedikit catatan tentang salah satu sisi kondisi penjurian saat ini yang saya ambil referensinya dari Agrobur. Meski demikian, apakah juara satu dalam lomba besar mesti murni karena si burung mendapatkan koncer A multak? Tidak ternyata.
Dalam lomba burung Solo Kota Budaya beberapa waktu lalu, yang notabene adalah lomba skala besar, ada juara I yang diraih dengan tos, yakni di kelas kedua burung lovebird.
Burung lovebird Syahrini milik Willy (Tegal SF) dan Traktor Putih milik Mulyadi (Sragen) berbagi koncer A dan akhirnya keduanya ditos untuk mendapat predikat juara 1 yang akhirnya didapat oleh Syahrini.
Dalam kasus ini, tentunya pendapat juri benar-benar terpecah dan mereka bersepakat untuk memberikan saja nilai sama bagi kedua burung tersebut.
Apapun hasil penilaian juri, jika hal itu keluar dari kejujuran dan profesionalisme kerja, tidak masalah. Persoalannya, seberapa jauh masing-masing juri bisa memegang komitmen seperti itu.
Atau benarkah saat ini sudah waktunya ada regenerasi di korp juri untuk menghilangkan “pengaruh buruk” para juri senior yang menyimpang di tubuh korps juri? Kalau memang perlu, mengapa tidak?