Ketika saya berkunjung ke SKL BF (Shakila Putra Bird Farm) Jatibarang, Om Syamsul – sang majikan – tidak percaya kalau saat ini masih ada murai batu Bahorok di sepanjang alirang sungai tersebut. Karenanya, saya minta Om Syamsul bertelepun langsung dengan si pemberi informasi keberadaan murai batu Bahorok, Sumatera Utara.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Akhirnya Om Syamsul bertelepun dengan Om Agung Setia yang warga Desa/Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Setelah ngobrol lama dengan Om Agung, Om Syamsul pun mengaku bangkit lagi minatnya untuk melihat habitat aseli murai batu yang cukup legendaris tersebut.
Meluncur ke Medan
Tidak sampai sepekan setelah saya pulang dari Jatibarang — saat itu saya ke sana bersama Om Dwi Lovebird Jogja, Om Joko Pamungkas (Zindycat) dan Om Wahyudi Kartasura — saya mendapat kabar kalau Om Syamsul sudah berpetualang ke Bahorok besama tim SKL Bird Farm.
Petualangan Ir. H. Syamsul Saputro – begitu nama lengkapnya –, bersama tim itu dilakukan selama 4 hari (3 malam), mulai Rabu (28/3) hingga Sabtu (31/3).
Sebenaranya bukan untuk kali pertama ini Om Syamsul melakukan petualangan ke habitat murai batu di daerah Pulau Sumatera, hanya saja untuk ke Bahorok, memang belum juga terlaksana.
Petualangan ini merupakan impiannya sejak lama, yang baru bisa direalisasikan karena baru saat ini Syamsul memiliki waktu yang tepat. “Kemarin kerjaan saya banyak, ditambah lagi pembangunan markas SKL BF sedang memasuki tahap akhir. Jadi waktunya belum memungkinkan untuk berangkat. Baru kali ini saya bisa berangkat,” jelas Om Syamsul.
Terlebih lagi, selama ini dia mendapatkan informasi hanya lewat mulut dan cerita dari beberapa rekan pecinta murai batu saja. “Atas dasar rasa keingintahuan serta penasaran terhadap keberadan dari keberlangsungan kehidupan murai batu Medan, serta liku-Iiku para pemikat dalam memikat murai dari areal hutan yang menjadi habitatnya di daerah pesisir Medan ini, maka kami dari tim SKL akhirnya memutuskan untuk berangkat,” ungkapnya.
Tidak menunggu lama setelah melalui perjalanan udara yang melelahkan, setibanya di Bandara Polonia, Medan, Rabu (28/3) pagi, tim SKL langsung menuju ke lokasi dengan menggunakan mobil carteran.
Sebelum menuju Bahorok, tim SKL menyempatkan mampir ke tempat wisata bersejarah di Medan, di antaranya lstana Maimun.
“Sepanjang perjalanan menuju Bahorok, kami disuguhi pemandangan alam nan indah, sungai-sungai nan jernih. Selain pemandangan alam dan sungai, kami pun melewati areal perkebunan sawit dan perkebunan karet yang luasnya beribu-ribu hektar.”
Dari kejauhan di belakang areal perkebunan sawit dan karet ini, Tim SKL melihat jajaran bukit-bukit, hutan-trutan nan rimbun dan indahnya perbukitan yang seolah-olah menyelimuti Gunung Leuser.
Pakai sepeda motor
Sesampainya di lokasi yang dituju, tim SKL disambut oleh salah seorang warga yang menjadi rekan pemandu, yang rumahnya dijadikan base camp, tempat tim bermalam sambil berdiskusi tentang banyak hal, khususnya tujuan petualangan.
Selanjutnya, dengan menggunakan sepeda motor dan dipandu seorang warga, tim SKL langsung berangkat masuk ke arah pedalaman yang melewati beberapa desa dan areal perkebunan sawit.
Pada hari pertama, tim SKL mengunjungi beberapa desa pedalaman yang diinformasikan bahwa bahwa sebagian warganya memiliki hobi mengkoleksi murai batu. Daerah pedesaan ini kondisì jalannya rusak, penuh lobang dan bebatuan, serta licin.
“Alhamdulillah, dengan tekad dan semangat keingintahuan dan ridho Allah SWT, berbagai rintangan tersebut dapat dilalui. Setelah kami kunjungi beberapa warga desa yang mengkoleksi murai batu ini, kami melihat kondisi murai yang dikoleksï beberapa warga di desa telah menjadi jinak, mental fighternya telah terkikis, keganasan burung fighter ini pun telah melunak. Sungguh ironis,” ungkapnya.
Dari hasil obrolan santai dengan beberapa warga desa pengoleksi murai yang dikunjungi, bisa disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor penyebabnya, di antaranya cara perawatan dan perlakuan keseharian, yang pada akhimya mengakibatkan murai menjadi jinak.
“Dengan kata lain, murai yang dikoleksi beberapa warga desa pertama yang kami kunjungi ini telah kehilangan karakter fighternya,” bebemya.
Murai batu terdesak
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Pada hari kedua, tim SKL memasuki wilayah pedesaan yang lebih dalam lagi ketimbang desa pertama. Perjalanan di sana menuju dan menapaki areal perkebunan sawit.
Tanah di wilayah ini terbagi dalam 3 zona, yakni ada zona tanah milik pribadi, zona tanah adat dan zona tanah/hutan negara .Wilayah pedesaan ini merupakan wilayah yang menurut keterangan warga setempat dahulunya merupakan hutan. Sebagai akibat adanya perkembanqan kependudukan dan pembukaan lahan perkebunan sawit, secara otomatis terjadi perubahan alih fungsi yang juga berdampak pada keberadaan murai batu.
Wilayah keberadaan murai ini semakin terdesak ke arah atas di sekitaran kaki Gunung Leuser.
Dahulu saat penduduk masih sedikit dan belum meluasnya lahan perkebunan sawit, murai batu sangat dekat keberadaannya dengan lingkungan tempat tinggal penduduk desa. Kicauan murai menjadi bagian dari kehidupan, sehari-hari masyarakat. Namun saat ini sudah sangat sulit untuk dapat mendengarkan kicauan murai dari tempat atau lingkungan penduduk di mana mereka tinggal.
Saat singgah di kedai kopi milik salah seorang warga, tim SKL dan pemandu berbincang-bincang santai sambil mengamati burung murai ýang menjadi koleksi si empunya warung.
Secara fisik memang kondisi indah, menarik, namun secara perilaku dan tingkah pergerakan burung tampak sangat memprihatinkan. Burung tampak begitu manja, lunak dan kehilangan daya tarung sebagaimana karakter dasamya, begitu pula dengan volume suara dan variasinya.
“Dari obrolan ringan dengan meraka, ada hal yang dalam pandangan kami sebagai pecinta murai sekaligus penangkar, khususnya terkait dengan perlakuan terhadap sang murai kurang pas. Pemberian extra boding berbeda atau jauh dengan apa yang kami bayangkan sebagaimana kebiasaan kami memperlakukan murai di penangkaran.”
“Mungkin karena hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan dari segi tingkah polah dan pergerakan burung murai di tempat kami dengan yang dikoleksi oleh beberapa warga desa yang kami kunjungi.”
Ada beberapa indikator yang mengakibatkan murai kehilangan karakter dasarnya yang berwatak petarung dan ganas. Antara lain, teknis perawatan maupun perlakuan terhadap murai ini menjadi salah satu faktornya.
“Namun semua itu merupakan dinamika dalam dunia perburungan, khususnya dunia murai, dan kami pun menyadan adanya perbedaan ini karena adanya tujuan yang berbeda. Yaknï, ada dua tujuan utama orang mengkoleksi murai, pertama; karena hanya sekedar untuk pajangan, hiasan, sekedar hobi dan kedua; untuk keperluan kontes atau lomba. Tapi sejatinya walaupun untuk kepertuan dua hal yang berbeda, setidaknya tidak sampai menghilangkan karakter dasar sang murai batu,” ujarnya.
Pemikat murai batu
Pada hari ketiga, agenda petualangan berikutnya adalah memasuki kawasan kaki bukit, tempat murai batu berkembang biak. Sebelumnya tim inti (pemikat burung) yang memang memiliki tujuan untuk memikat burung murai batu telah berkomunikasi dan koordinasi dengan tim SKL untuk dapat bertemu di salah satu kaki bukit di mana mereka memikat burung murai.
“Pertemuan dengan tim pemikat ini kami optimalkan untuk berdiskusi melalui obrolan santai. Beberapa pertanyaan kami ajukan antara lain berkaitan dengan seluk beluk bagaimana cara memikat yang mereka lakukan, menyangkut lingkungan kondisi geografis daerah pegunungan tempat berkembang murai batu, serta mengenal karakter murai batu berdasarkan pengalaman para pemikat selama memikat murai batu.”
Jalanan yang terjal, naik turun, licin, melompati bebatuan, kanan kiri lembah adalah pemandangan yang menjadi temàn perjalanan tim SKL. Beberapa sungai dilalui dan itu pun tidak melalui jembatan penyebarangan melainkan langsung masuk ke sungai tersebut.
Sungai Landak, salah satu sungai yang dilewati, memiliki banyak bebatuan dan aliran air sungai yang tidak begitu deras namun bisa menghanyutkan.
“Adalah hal yang mengasyikkan sekaligus rnenegangkan, dengan kedalaman sepinggang orang dewasa, kami menyberangi aliran sungai Landak tersebut. Saat berada di tengah-tengah aliran sungai, kami melihat dari kejauhan pemandangan yang begitu indah dan menakjubkan jajaran bukit-bukit dari Gunung Leuser.”
Hamparan pepohonan, demikian kata Om Syamsul, terlihat dari kejauhan sejuk dipandang mata.
Kini sudah berubah
Pada hari keempat atau tenakhir, tim SKL menyempatkan untuk berwisata ke tempat wisata sungai yang di pinggirannya terdapat pepohonan yang sebagian masuk dalam wilayah kawasan Taman Nasional Gunung Leuser yang terkenal dengan program konservasi Orang Utan-nya.
Orang menyebut obyek wisata terkenal ini sebagai kawasan Bukit Lawang yang juga sebagian wilayahnya masuk ke dalam kawasan zona Taman Nasional Gunung Leuser. Di Bukit Lawang ini juga dahulunya (berdasarkaninformasi dari wanga setempat) saat masih belum seramai seperti sekarang – di mana sekarang dijadikan salah satu objek wisata- merupakan salah satu basis wilayah kehidupan murai batu.
Namun keadaan dahulu, menurut Om Syamsul, sudah tidak mungkin lagi akan kita jumpai, karena saat ini selain lokasi bukit Lawang ini sudah menjadi obyek wisata juga pada beberapa bagiannya dijadikan areal perkebunan sawit dan perkebunan karet. Sebagian lagi sudah dijadikan permukiman penduduk dan pondokan-pondokan untuk tempat rehat dan menginap wisatawan wisatawan baik domestik maupun asing.”
Pengin mengenal lebih jauh apa dan siapa SKL Bird Farm? Silakan meluncur ke SKLBIRDFARM.COM.