Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Begitu juga sistem lomba burung di beberapa tempat. Hanya saja, di Nusa Tenggara Barat, ada cara gantang burung pleci atau kecial yang memang unik, baik caranya maupun hadiahnya.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Cara mereka menggantangkan berbeda dengan Iazimnya lomba di sebagaian pulau Jawa dan beberapa pulau besar lainnya di Indonesia.
Kecialmania kawasan itu tidak menggunakan tenda seperti lazimnya lomba saat ini. Atau Iebih tepatnya para kecialmania Lombok menggunakan gaya berlomba open bar. Tanpa menggunakan tenda penutup.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Uniknya lagi, kecial hanya digantang menggunakan sebatang besi atau bahan Iainnya yang dianggap kuat menopang puluhan sangkar kecial. Kemudian dibentangkan hingga beberapa meter. Bentangan besi dibentuk menyerupai huruf U. Pada bentangan besi itulah para peserta yang sudah mendaftar sah menempati nomor sesuai tiket yang dibeli dari panitia.
Gunakan kaleng bekas
Keunikan lain masih ada. Di saIah satu tempat latihan kecial di kawasan Gegutu, Lombok Barat, para kecialmania menggunakan kaleng bekas dan di dalamnya terisi kerikil dibunyikan untuk menimbulkan suara bising.
Orang awam yang melihat kali pertama cara lomba seperti ini pasti bertanya, apakah burung yang diikutkan tidak pada kaget?
Secara nalar suara bising dari kerikil di dalam kaleng tersebut pasti dapat mempengaruhi mental burung-burung milik peserta. Artinya burung yang punya mental jelek otomatis bakalan diam seribu tembakan alias macet. Tapi situasinya berbeda buat para burung yang sudah bermental jawara. Suara bising ditimbulkan itu justru dapat memberikan suntikan spirit meningkatkan birahi bertarung.
Menurut para pemain di tempat latihan itu, cara seperti ini sudah menjadi tradisi kicaumania Lombok dalam melombakan kecial. Cara tersebut mereka istilahkan grongsengan. “Semua lomba kecial di NTB selalu pakai grongsengan, jadi bisa dibayangkan mentalnya para kecial asal NTB. Sudah pasti mental lapangan,” terang Adi Ndut, seorang kicaumania setempat.
Kemudian para juri yang betugas juga memberikan cara penilaian tersendiri untuk menentukan seekor jawara. Mereka tidak berkeliling secara rotasi seperti lomba kicauan pada umumnya. Keenam juri yang bertugas duduk di satu titik yang sudah ditentukan. Masing-masing menilai peserta yang ada di hadapannya. Mekanismenya nyaris sama seperti penilaian yang diterapkan Papburi.
Mekanisme penilaiannya pun unik. Para juri tidak menggunakan sistem penilaian lomba kicauan dengan skema 37,5 dan 38. Namun mereka menerapkan penilaian dengan tiga kolom berisi nilai 15, 20, dan 25. Nilai 15 untuk suara pendek, 20 untuk suara pendek tapi ada isian, sedangkan 25 untuk suara panjang plus isian. Kemudian semua ditotal hingga memunculkan poin tertinggi untuk menetapkan juara.
Lomba terbagi hingga beberapa kelas. Pada setiap lomba tidak kurang dari 9 sesi dijalankan. Masing-masing juara diambil untuk disertakan dalam final, selanjutnya siap diambil yang terbaik. Hadiahnya pun bukan segepok rupiah untuk dana pembinaan. Untuk latber hadiahnya seekor ayam sedangkan lomba besar seekor kambing.
Unik memang.
(Ref: Agrobis Burung)