Jaman dulu, ketika lomba burung berkicau masih jarang-jarang diadakan, kicaumania sampai harus menunggu lama untuk mengikuti tomba. Biar pun lomba hadiah hanya berupa trophy biasa, yang nilai rupiahnya mungkin sangat kecil, tapi umumnya selalu rapi. Beberapa orang bahkan menggambarkan menunggu datangnya lomba seperti orang puasa menunggu datangnya hari raya.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Tapi, itu dulu. Sekarang, orang begitu mudahnya menjadi event organizer (EO) lomba. Tak harus lembaga atau organisasi, bahkan perorangan pun bisa dengan gampangnya menjadi EO dan menggelar lomba. Jadi, bisa dipahami bila di sejumlah kota, baik lomba dalam skup besar maupun kecil, katakanlah sekelas latihan, digrelar tiap pekan hingga jadwalnya sampai saling bertabrakan.
Tak cukup hanya di hari Minggu, kini hari-hari libur di luar hari Minggu pun jadi rebutan. Ini rupanya juga masih belum cukup, maka setiap hari kini selalu ada lomba kecil atau latberan mulai siang atau sore hari. Jadi, tiap hari sudah full ada lomba, dari hari Minggu sampai hari Sabtu.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Meski demikian tak semuanya berjalan mulus. Ada yang tetap bertahan karena peserta masih cukup ramai, ada pula yang penyelenggaraannya hanya sebentar kemudian tutup kanena tak laku, tapi kemudian mencoba membuka lagi di tempat lain.
Munculnya banyak penyelenggara lomba, selain karena sekarang memang mudah menggelarnya, sebagian besar karena tertarik dengan fulus. Lomba kecil sekelas latber memang cukup memikat. Biaya kecil, dengan memanfaatkan sumber daya lokal, mulai panitia hingga para jurinya, lapangan seringkali juga memanfaatkan pekarangan warga, memiliki risiko yang kecil sementara menjanjikan untung yang menggiurkan.
Bayangkan, kalau peserta sepi, bayaran atau upah panitia dan juru bisa dipotong atau bahkan tidak dibayarkan samasekali, dan ini pun sudah dimengerti. Kalau misal ada kekeliruan dalam penjurian, peserta juga maklum dan tidak protes berlebihan. Namanya juga hanya latihan, tiketnya saja murah dan terjangkau.
Sebagian peserta memang lebih punya niatan untuk mencoba atau melatih burung, mau kerja atau tidak, sehingga ketika penampilannya bagus dan kurang terpantau, masih bisa maklum.
Di bawah ini cerita dari laporan Tabloid Agrobis Burung Edisi 640 Minggu III Agustus 2012, kenapa sejumlah lapangan tidak awet atau lekas bubar sementara di lokasi lain latihan burung bisa bertahan dan bahkan semakin ramai.
Harga tiket
Di daerah, ada sejumlah hal yang sangat sensitif menyangkut lomba atau latihan burung. Pertama, soal harga tiket. Kalau terlalu mahal, biasanya sebagian peserta sudah malas-malasan. Apalagi bila burungnya memang nanggung dan peluang untuk bisa menang kecil.
Bila hanga tiket relatif mahal, biasanya banyak bos dari luar daerah, atau burung-burung top ikut turun berlomba. Banyak peserta yang masih percaya, bila para bos itu, selain memiliki burung bagus, juga memiliki pengaruh kuat pada para juri, sehingga cenderung mendapatkan perhatian lebih dan para juri. Artinya, sulit bagi kalangan kebanyakan bisa menang di even yang pesertanya banyak diikuti para bos.
Karena tu di even-even besar, sebagian kicaumania kebanyakan memilih jadi penonton saja, atau ikut di kelas-kelas yang harga tiketnya lebih terjangkau, walau hadiahnya juga sudah kecil atau biasa saja.
Hadiah utuh
Sekarang, hampir semua lomba menerapkan kuota jumlah pesenta. Bila peserta kurang dari jumlah tertentu, hadiahnya akan berkurang separuhnya atau bahkan bisa lebih. Sebab, untuk juara satu biasanya diakali dengan ada tambahan. Misalnya tiket 50.000, hadiah 500.000 + 250.000. Juara ke-2 bukannya separuh dari 750.000, tapi separuh dari 500.000, yaitu 250.000. Nah, ketika peserta misalnya kurang dan 30, juara 1 hanya diberi hadiah juara 2, alias hanya 250.000. Jadi turunnya lebih dari separuhnya.
Lebih mengenaskan lagi, bila aturannya hanÿa tertulis “HADIAH MENYESUAIKAN”. Benar-benar tak jelas karena hanya berdasarkan aturan sepihak dari panitia saja.
Nah panitia yang suka main potong hadiah tanpa aturan jelas begini, lambat laun pasti akan ditinggalkan peserta.
Beberapa panitia memang mengurangi hadiah, tapi menggunakan standar yang jelas, misalnya menggunakan sistem tabel. Dengan demikian, peserta sudah bisa ikut memperkirakan hadiah yang bakal diterima, bila peserta memang sepi atau kurang dari kuota.
Hal ini yang sekarang digunakan di even rutin KMYK di Taman Kuliner Jogja, Condong Sampur BC Wonogiri, PPBC Krajan Godean, dan lainnya.
Sementara itu, di IKPBS Solo, meskipun tidak menggunakan tabel, para kicaumania juga sudah memahami bila pengurangan hadiahnya masih tetap menguntungkan peserta. Apalagi, peserta jarang sepi, kecuali untuk jenis burung tertentu yang memang sedikit, seperti anis kembang, kenari dan tledekan.
Namun, bila peserta sedikit, seluruh hasil pemasukan dan tiket diberikan semua untuk hadiah, jadi panitia tidak mengambil untung dari kelas yang pesertanya sedikit.
Sementara itu, ada dùa EO sedang menggeber lomba dengan tawaran hadiah utuh tanpa potongan, yaitu di XT Square Jogja (eks terminal lama Umbul Harjo), serta yang digelar oleh Dwi Londo Salatiga.
XT Square terbukti sukses meraup peserta pada even ngabuburit perdana dengan hadiah tanpa potongan. Apalagi, tiketnya juga sangat terjangkau, yaitu 40.000, 30.000, dan 20.000.
Dwi Londo Salatiga pun meraup peserta yang melimpah pada even tanpa potongan di awal bulan puasa lalu (22/7). (Lihat artikel: Peserta Kere Hore Salatiga membludak, Ningat menang lagi). “Pada dua even sebelumnya, saya akui peserta sepi, padahal kemasan cukup bagus, biaya cukup besar karena banyak memakai juri luar kota, akhirnya pengurangan hadiah yang saya lakukan banyak diprotes. Mau tidak mau, agar peserta tidak trauma, saya harus mengubah kemasan dengan TANPA POTONGAN. Pada even berikutnya bersama Srikandi BC, waktunya masih saya cari yang bagus, juga akan kembali dengan skema hadiah tanpa potongan.”
Seringkali, banyak peserta begitu jengkelnya karena gabungan dari berbagai hal di atas, sudah tiket mahal, hadiahnya dipotong-potong semau panitia, panitia diam-diam menurunkan burung, juri tidak beres lagi. Penyelenggaraan lomba yang seperti ini, jelas tinggal menunggu ajal saja.
Kinerja juri
Di luar masalah harga tiket dan besaran hadiah, hal lain yang juga sangat sensitif adalah kinerja juri.
Kesalahan karena faktor teknis, misalnya juri masih latihan sehingga belum begitu paham dengan trend penilaian yang sekarang sedang berlangsung, masih bisa dimaklumi.
Yang membuat peserta berang, adalah kekeliruan yang dianggap disengaja. Misalnya peserta melihat juri tak mau melihat atau memantau burung miliknya padahal kerja maksimal, kemudian pada hasil penjurian yang ditempel, ternyata nilainya mati, atau bahkan kosong tak dinilai.
Ada pula laporan, di banyak tempat, juri sengaja tidak memberi nilai bagus pada burung yang sesungguhnya layak juara, tapi kemudian memberi kode para rekannya yang ada di luar pagar, untuk mencari tahu siapa pemiliknya dan kemudian menawar untuk dibeli. Karena burung tidak juara, diharapkan harga bisa ditekan murah. Cepat atau lambat, hal seperti ini pasti juga akan ketahuan peserta, dan lomba akan menjadi sepi.
Modus lainnya, júri atau panitia membawa burung, mungkin diakali dengan dititipkan ke orang lain. Kemudian burung-burung tersebut bisa juara atau paling tidak nilai mentok sehingga masuk 10 besar dan bisa kembali modal. Walupun burungnya mungkin bagus dan layak juara, tapi bila ketahunan milik juri atau panitia, atau dinggap punya kedekatan dengan juri dan panitia, peserta lain umumnya juga menganggap even seperti ini sudah kurang tidak fair, dan akan ditinggalkan peserta. (Bersambung)
Rangkaian Artikel Tips Sukses Gelar Lomba Burung:
- EO lomba burung Kaltim andalkan juri Jawa dan pemunculan tokoh
- Komplain penilaian lomba burung adalah hak peserta
- Cara Lembang Enterprise bersaing mengemas lomba burung di blok barat
- Faktor-faktor “yang bermain” dalam hidup-matinya EO lomba burung