Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Awal mula munculnya hobi tinggian kolong tidak lain terinspirasi oleh hobi merpati tinggian lapak dan balap sarlung. Sebab, kedua hobi tersebut memiliki seni yang luar biasa.
Kalau di merpati tinggian lapak, pertarungan dianggap sah dan bisa dikatakan sebagai lomba bila kedua merpati terbang tinggi dan tempel ketat.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
“Jika kondisi seperti ini, maka lomba dikatakan sah. Ada kalah dan menang,” tutur mania senior tinggian kolong Tasikmalaya.
Sedangkan mengadopsi dari hobi merpati sarlung, dimana ada joki dan ngeber pembalapnya. Hanya saja, sang betina bulu sayapnya digodi (tali), agar tak terbang. Selanjutnya betina dilempar pada kotak yang ada batasannya ketika sang jantan sudah mendekati finish. Kalau pejantan datang lebih dulu dan masuk batasan kotak, maka juri memutuskan merpati tersebut sebagai pemenang.
Sebaliknya, jika keluar dari batasan (kotak), maka joki harus menunggu pejantan sampai masuk ke dalam kotak. Bila lawan yang sebelumnya tertinggal dan lebih dulu masuk ke batasan kotak, maka lawan yang tertinggal itulah sebagai pemenang. Karena lebih dulu hinggap.
Dari dua bentuk hobi merpati inilah maka ada pemikiran hobi merpati bisa ditambah lagi yakni dengan nama merpati tinggi kolong.
Caranya, pada daerah finish, dipasang 4 bambu yang di atasnya diberi pembatas tali. Dengan harapan, pembalap harus turun dari atas dan masuk dalam kolong.
Dinamakan merpati tinggi kolong karena tebangnya tinggi, dan berakhir masuk dalam kolong. Bila masuk di samping kolong, maka merpati didiskualifikasi.
Tidah mudah memang bagi merpati untuk masuk dalam kolong. Perlu merpati trah terbang tinggi dan turun menukik dengan deras menuju ke betina. Selain itu, perlu juga kecepatan terbang dan style gandeng lawan. Hal itu yang sangat dibutuhkan. Bila kesemuanya sudah teradopsi, maka jadilah merpati tinggì kolong.
Hanya saja, pada waktu lalu, di tempat finish tidak ada bantalan melainkan langsung jatuh di tanah. Hal ini menyebabkan risiko tinggi kematian merpati, karena deras turun di atas joki dan berakhir dengan terpental. Kejadian ini memang jarang terjadi, sebab merpati sudah tahu betul kapan masuk ke kolong dengan cara mengerem lewat bulu ekornya.
Sedangkan saat ini, dengan perkembangan jaman dan berkembangnya pemikiran untuk kehati-hatian mengingat harga merpati bukan lagi jutaan, melainkan puluhan juta bahkan lebih dari Rp 100 juta, maka dimunculkan bantalan.
Panitia dan masyarakat merpati tinggi kolong memutuskan demi keamanan merpati maka digunakanlah patek dengan menggunakan bantalan yang tingginya kurang lebih 75 cm sampai 1 meter. Di atasnya diberi alas yang empuk (lunak) sehingga tidak membahayakan merpati.
“Dengan cara ini, risiko kematian merpati cukup kecil dan mania merasa puas, serta tidak dihantui oleh kematian merpati pada saat turun ke betinanya,” tuturnya.
Ya, semuanya pasti ada resiko. Tapi, kalau bisa resiko diperkecil semaksimal mungkin mengapa tidak? Terntu, mania hobi merpati akan semakin nyaman dan enjoy ketika mengikuti latihan ataupun lomba. (*)