Ada artikel menarik di Tabloid Agrobur edisi terbaru (No 656 / Minggu II Desember 2012) yang perlu diketahui para penggemar burung, khususnya yang kerap mengikuti lomba / latber. Artikel ini berjudul “Menyangsikan juara sejati kelas kacer, cendet dan lainnya”, dimuat pada rubrik Kontes (halaman 11). Intinya adalah mengkritisi perilaku sebagian pelomba yang saling tunggu dalam menggantang burungnya (semuanya ingin paling belakangan), juga juri ketika melihat perilaku tersebut. Silakan simak artikel berikut ini, yang sudah saya edit di beberapa bagian.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Bila melihat suasana lomba belakangan ini, khususnya di kelas-ketas burung fighter (petarung), sungguh sangat membosankan. Untuk memulai menggantang saja harus nunggu waktu yang cukup lama. Padahal lombanya sendiri hanya sekitar 15 menit. Mereka saling tunggu untuk bisa menggantang paling belakang, agar burungnya bisa bekerja maksimal. Kalau sudah demikian, layakkah sang juaranya disebut sebagai juara sejati?

Pemandangan seperti ini biasa dijumpai pada beberapa kelas seperti cendet, kacer, murai batu, dan lainnya. Semua pelomba ingin menggantang burungnya paling akhir dibandingkan dengan peserta lainnya. Meski MC sudah mengumumkan agar peserta segera menggantang burungnya, bahkan petugas keamanan sudah memaksa untuk segera menggantang, tampaknnya para joki dan/atau pemilik yang berada di bawah tenda tetap santai-santai saja.

Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...

Mereka enggan membuka kerodong dan segara menggantang. Mereka mau menggantang kalau ada peserta lain yang menggantang duluan. Dan hampir semua peserta punya persepsi seperti itu. Tentu saja lomba menjadi molor puluhan menit, karena tak ada yang memulai menggantang burungnya, meski MC sudah mengumumkan berkali-kali untuk segera menggantang.

Bila sudah demikian, wajar kalau ada yang beranggapan bahwa kualias burung jawara kacer, murai batu, atau cendet sekarang ini cukup meragukan untuk bisa disebut sebagai juara sejati. Bahkan, bisa jadi, jika dibandingkan dengan burung-burung jawara tahun 2000-an, kualitas jawara sekarang jauh melorot.

Sepuluh tahun lalu, untuk memperoleh predikat juara, seeokor burung bukan hanya harus mengalahkan lawan yang cukup banyak, tetapi juga harus membuktikan beberapa kali juara di lomba besar. Artinya, dalam setiap lomba burung tersebut harus kerja bagus dan maksimal. dengan durasi waktu cukup lama: 20 – 30 menit.

Tapi sekarang, untuk bisa mendapat predikat juara, seekor burung hanya perlu kerja sebentar dan mengalahkan sedikit lawan yang kualitasnya pun tidak tangguh-tangguh amat. Durasi penilaian makin pendek, karena para peserta saling tunggu. Nggak heran bila tokoh kicaumania yang ingin meminang atau mentranfer burung-burung fighter yang jawara memerlukan waktu cukup lama karena harus melihat hasil dari lomba ke lomba. Sebab kualitas burung juara sekarang ini cukup meragukan. Kalaupun terjadi transaksi, umumnya nilainya tidak fenomenal alias biasa-biasa saja.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

LOMBA BURUNG: JANGAN BIARKAN PELOMBA SALING MENUNGGU MENGGANTANG PALING BELAKANG

Kunci ada pada juri

Kebandelan para pemilik burung yang enggan menggantang duluan jagoannya sebenarnya bisa diatasi para juri. Pasalnya kuncinya memang ada pada juri. Kalau juri mau tegas, dengan tidak memberi nilai favorit pada burung yang tidak digantang setelah hitungan ke-10 atau setelah juri masuk, pastilah pelomba akan segera menggantang. Sebab mereka bakal takut tidak mendapatkan bendera favorit, yang menjadi syarat untuk memasukkan burungnya juara sepuluh besar.

Sayangnya, selama ini juri tidak bisa tegas. Korlap juga begitu, selalu mengikuti kemauan peserta. Akibatnya para peserta pun saling tunggu. Pemandangan yang selalu terjadi di berbagi lomba, dan hal itu cukup menjengkelkan. Coba kalau para juri mau bersepakat untuk memberikan sanksi kepada burung-burung yang terlambat digantang, misalnya memberi tanda contreng pada lembar rekap nilai sebagai tanda kalau burung tersebut digantang belakangan.

Maka apabila ada burung yang kemudian kerja bagus, bahkan luar biasa bagus, tapi digantang belakangan atau digantang setelah melampaui batas waktu penggantangan yang seharusnya, ia tetap tidak bisa diberi bendera favorit. Otomatis gugurlah kesempatan  untuk masuk juara. Sebenarnya cara ini cukup manjur. Tapi saying, lagi-lagi, para juri selalu tidak berani bersikap tegas.

Entah karena apa? Apakah takut nanti burung sahabat atau burung temannya yang yang terkena tanda contreng? lnilah yang harus dijawab bersama oleh korps juri. Sebab kalau juri tidak tegas, berbagai macam inovasi yang dimunculkan panitia untuk menekan peserta agar mau segera menggantang burungnya akan sia-sia, dan itu sudah terbukti.

Pemakaian lampu merah, kuning, dan hijau untuk memulai menggantang burung juga tidak efektif. Menempatkan banyak petugas keamanan juga begitu. Coba kalau bisa mencontoh yang dilakukan event organizer di Pamekasan, Madura. Kelas burung apapun, kalau sudah hitungan 10, tidak boleh ada yang menggantang lagi. Siapa yang melanggar tidak akan diberi bendera start. Karena takut tidak mendapatkan bendera start, maka sejak hitungan pertama para peserta sudah berebut untuk segera menggantang.

Kalau sudah demikian, kualitas burung yang bisa masuk juara bisa lebih dipertanggungjawabkan, karena durasi kerjanya di lapangan sama dengan lawan-lawannya. Sebaliknya, pada lomba di mana peserta saling tunggu untuk menggantangnya paling belakangan, maka burung juara satu bisa jadi menang secara tidak fair atau karena keculasan pemiliknya. Maksudnya burung itu bisa juara karena hanya kerja sebentar, mengalahkan burung yang kerja lebih lama karena digantang lebih awal. lnilah yang dimaksud dengan juara semu. (wah)
Salam sukses dari Om Kicau.

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.