Kalau Anda mengikuti perkembangan kasus flu burung yang belakangan ini menyerang itik di sejumlah daerah, pasti akan menemukan berbagai kesimpangsiuran informasi mengenai masalah itu, yang justru dilakukan oleh para penyelenggara negara, baik di level eksekutif maupun legislatif. Kesimpangsiuran ini harus dihentikan agar tidak meresahkan masyarakat, sekaligus bisa lebih fokus dalam penanganan wabah penyakit tersebut.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Ketua Panitia Kerja (Panja) Flu Burung DPR RI, Nova Riyanti Yusuf, mengatakan kasus kematian itik akhir-akhir ini disebabkan virus flu burung (H5N1) yang telah bermutasi menjadi jenis (clade) baru, yaitu clade 2.3.2, atau tepatnya clade 2.3 subclade 2.3.2. (Gatra News, Kamis (20/12).
Nova yang memiliki basis akademis sebagai dokter spesialis kejiwaan itu mengaku mendapatkan informasi tersebut dari Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi. “Keterangan yang saya dapat dari Kementerian Kesehatan, saat ini telah terjadi mutasi virus flu burung H5N1 yang menjadi clade baru, yaitu clade 2.3.2, tepatnya clade 2.3 subclade 2.3.2,” kata Nova.
Dalam serangan flu burung sebelumnya, penyebabnya adalah virus H5N1 clade 2.1. Benarkah subclade 2.3.2 merupakan benar-benar hasil mutasi baru dari virus H5N1 clade 2.1? Saya lalu dolan ke rumah Mbah Google, kulonuwun dengan kata kunci “H5N1 subclade 2.3.2” dan menemukan seombyok info seperti yang diharapkan.
Subclade 2.3.2 ternyata sudah muncul di sejumlah provinsi di China pada tahun 2005 (lihat tabel). Bahkan jurnal PloS sepanjang tahun 2008 telah mempublikasikan beberapa artikel terkait dengan perkembangan clade-clade virus flu burung, yang bahkan sudah mencapai clade 2.3.4 !!! Jadi, virus AI clade 2.3.2 bukanlah jenis baru.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Pernyataan Menkes dan Ketua Panja Flu Burung DPR menjadi benar, apabila yang dimaksud adalah jenis baru yang ditemukan di Indonesia. Tetapi jika dikatakan clade 2.3.2 adalah jenis baru dari virus flu burung, itu terbantahkan ketika kita dolan ke rumah Mbah Google.
Kesimpangsiuran kedua adalah, benarkah yang terjadi di Indonesia saat ini adalah mutasi baru virus H5N1? Selama ini, tipe virus AI yang menyerang unggas di negeri ini AI clade 2.1. Apakah pernyataan Menkes, yang juga diamini Ketua Panja Flu Burung DPR, berarti clade 2.1 mengalami mutasi menjadi clade 2.3.2?
Inilah yang perlu dikonfirmasi lebih lanjut. Ternyata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, Tjandra Yoga Aditama, pun membenarkan. “Yang sekarang terjadi adalah mutasi virus flu burung H5N1 menjadi clade baru, yaitu clade 2.3.2, atau tepatnya clade 2.3 subclade 2.3.2. Selain Indonesia, kasus ini juga dilaporkan (terjadi) di Vietnam, Kamboja, Nepal, India, Bangladesh, Bhutan, Jepang, Korea, China, dan Hongkong, atau 10 negara,” kata Tjandra dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis (20/12).
Kalau Anda jeli membaca kutipan pernyataan di atas, nampaknya terjadi keseragaman penggunaan frase ketika menjelaskan clade 2.3.2. Baik Menkes, Ketua Panja Flu Burung DPR, hingga Dirjen, selalu mengatakan “clade 2.3.2, atau tepatnya clade 2.3 subclade 2.3.2”.
Ironisnya, dalam berita yang dimuat Republika Online, Kamis (20/12), Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Pujiatmoko, justru memberikan informasi yang berbeda. Berdasarkan hasil analisis filogenetik dan pengujian isolat virus flu burung (H5N1) oleh Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates, DIY, diketahui bahwa virus yang menyerang ratusan ribu itik belakangan ini bukanlah hasil mutasi.
“Kriteria virusnya paling dekat dengan virus yang menyerang unggas di Vietnam dan Hongkong,” kata Pujiatmoko. Filogenetik adalah ilmu mengenai hubungan kekerabatan genetik antarspesies. Direktorat Kesehatan Hewan saat ini terus menyelidiki filogenetik isolat-isolat H5N1 clade 2.3.2 yang telah diidentifikasi di sejumlah negara Asia, dengan hasil temuan virus flu burung yang sempat mewabah di Tegal, Bantul, Sleman, Sukoharjo, dan Wonogiri.
Jadi ada dua versi pemerintah mengenai virus baru H5N1. Kementerian Kesehatan mengatakan telah terjadi mutasi baru dari virus AI, tetapi Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, justru mengatakan virus baru tersebut bukanlah hasil mutasi.
Ketiga, Pujiatmoko menduga virus AI yang menyebar itu dibawa oleh burung-burung liar saat migrasi ke Indonesia. Kemungkinan lain, virus terbawa oleh unggas yang sempat berada di luar negeri, lantas masuk ke Indonesia dan menulari itik-itik lainnya.
Mengenai kemungkinan penyebaran virus AI melalui burung-burung yang migrasi ke Indonesia, saya jadi teringat saat menyunting berita mengenai migrasi ribuan burung dari Siberia, Jepang, dan China di eks Wilayah Karesidenan Banyumas sepanjang Oktober-Desember 2012. Tetapi dalam wawancara dengan Radio Australia, 10 Desember lalu, Pujiatmoko mengatakan pihaknya telah mendeteksi virus AI clade 2.3.2 sejak September 2012.
Jadi, kemungkinan kedua yang benar? Bahwa virus AI terbawa oleh unggas yang sempat berada di luar negeri, lantas masuk ke Indonesia dan menulari itik-itik lainnya. Saya akan menyodorkan berita yang juga dilansir Republika Online, Jumat (21/12) ini.
“Kalau peternak impor unggas, justru sudah terdampar di karantina. Namun kalau yang dibawa dari luar negeri berupa vaksin, bisa saja membawanya dengan cara disembunyikan,” ungkap Koordinator Unit Pengendali Penyakit Avian Influenza – Dinas Pertanian DIY, Tri Wahana.
Sebagaimana dialami para pengimpor burung, terutama kenari yorkhire dan lovebird, semua burung yang dibawa dari luar negeri pasti akan menjalani pemeriksaan ketat di karantina. Jika tidak lolos uji kesehatan, atau tidak dilengkapi dokumen resmi, burung dipastikan akan dimusnahkan.
Jadi mana yang benar nih? Siapa sebenarnya biang penyebab virus AI clade 2.3.2 sampai masuk ke Indonesia, sehingga menyusahkan para peternak itik, peternak ayam, bahkan membuat dagdigdug penangkar burung, importir burung, hingga pemelihara burung?
Membaca berita wawancara Republika dengan Tri Wahana, kita pun dibuat makin bingung. ”Waktu rapat dengan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan di Jakarta, 18 Desember lalu, juga diungkap dugaan kuat ada yang mentransfer vaksin AI clade 2.3.2 dari Vietnam yang merupakan buatan home industri dari Cina,” ujar Tri Wahana.
Nah, lho! Jadi, itu biangnya? Tri Wahana memang tidak mengucapkan kalimat memastikan, namun hanya mengatakan “kemungkinan” atau “diduga”. Sumber penularannya, tambah Tri, bukan melalui unggas, tetapi diduga berasal dari vaksin AI clade 2.3.2 asal China.
”Menurut dugaan saya, kemungkinan ada peternakan di Indonesia yang mengambil vaksin AI clade 2.3.2 home Industri dari China. Mungkin vaksin itu dibeli oleh Vietnam, kemudian menyebar ke Indonesia,”ungkap Tri Wahana, Jumat (21/12).
Mungkin peternak tersebut bermaksud mencegah virus AI clade 2.3.2 agar tidak masuk ke Indonesia, tetapi dalam aplikasinya justru melakukan penularan virus. Jadi kemungkinan besar penularan flu burung jenis baru itu melalui vaksin tersebut. Mereka membawanya dengan cara-cara illegal, seperti penyelundupan.
Karena itu, Tri berharap pemerintah pusat –dalam hal ini Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian– melakukan penelurusan ke belakang, siapa yang membawanya. Meski baru praduga, namun seandainya benar akan sangat menyusahkan masyarakat Indonesia.
Saya pribadi mendukung usulan Tri Wahana. Bagaimana dengan sobat kicaumania semua? Jangan sampai orang atau sekelompok orang yang membawa virus AI clade 2.3.2 dibiarkan melenggang di atas tangis peternak itik dan ayam, pedagang itik dan ayam, juga penangkar, pedagang, dan pemilik burung.
Apalagi belakangan terdengar isu tak sedap, ada pihak yang sengaja memasukkan virus AI clade 2.3.2 melalui vaksin sejenis yang telah rusak, dengan tujuan bisa memasarkan vaksin tersebut di negeri ini. Mungkin kita pendam dulu prasangka ini, namun pemerintah perlu mendeteksi kemungkinan ini, jika perlu meminta bantuan kepolisian.
Selain itu, kesimpangsiuran informasi tentang virus AI jenis baru perlu diluruskan. Apakah itu mutasi baru virus H5N1 menjadi clade 2.3.2, atau penularan melalui unggas terinfeksi dari luar, atau berasal dari vaksin AI clade 2.3.2 buatan home industri China.
Diusahakan semua elemen pemerintah dapat bersikap satu suara agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi. Kalau DPR sih memang boleh berbeda, untuk mengontrol kebijakan pemerintah, tetapi ya jangan asal berbeda.
Yang terakhir, dan terpenting, pemerintah perlu memikirkan langkah selanjutnya agar virus baru flu burung ini benar-benar enyah dari Bumi Pertiwi. Penggunaan vaksin AI hanya untuk mencegah saja, sehingga itik-itik yang tersisa masih memiliki potensi membawa bibit virus serupa dan sewaktu-waktu bisa meletup kembali.
Vietnam pernah melakukan depopulasi besar-besaran terhadap unggas yang terinfeksi. Hal itu dapat dilakukan dengan waktu singkat, karena mendapat bantuan tenaga dari militer. Indonesia pun dapat mengikuti hal serupa, tetapi hanya sebatas pada daerah yang sudah terinfeksi saja.
Risikonya, pemerintah harus menyediakan ganti rugi terhadap para peternak yang itik-itiknya masih hidup di lingkungan yang sudah terinfeksi. Kebijakan pemerintah yang telah menyiapkan dana untuk mengganti kerugian peternak itik patut kita apresiasi. Tetapi tanpa tindakan lain, seperti depopulasi, wabah flu burung pasti akan muncul kembali.