Kelangkaan kroto disertai melambungnya harga membuat sejumlah kicaumania cukup kerepotan memenuhi kebutuhan burung-burung piaraannya di rumah. Mereka mulai mencari pakan alternatif, tetapi terbentur pada kekhawatiran apakah ini bisa mempengaruhi performa suara burung, bagaimana dampak kesehatannya terhadap burung, dan seterusnya. Suatu ketika, saya menerima email dari Om Endar Wardhana, agen Produk Om Kicau di Surabaya, yang mempertanyakan apakah laron bisa dijadikan pakan alternatif bagi burung. Kata Om Endar, masalah ini cukup ramai diperbincangkan rekan-rekannya di facebook.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Terkendala beberapa pekerjaan yang mesti diprioritaskan, akhirnya baru sekarang saya dapat memenuhi permintaan Om Endar, karena harus membolak-balik referensi lama, juga mencari referensi baru, supaya artikel ini memiliki dasar ilmiah yang kuat dan bisa membawa kemanfaatan bagi sobat kicaumania .
Perlu diketahui, hampir semua jenis serangga memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik dan lengkap. Jangankan burung, sebagian nenek moyang kita sejak dulu sudah menjadikan serangga sebagai bahan pangan alternatif. Hal itu sudah dilakukan sebelum mereka mengenal teknik berburu dan bercocok tanam. Saat ini, sudah lebih dari 1.000 jenis serangga yang bisa dimakan manusia di berbagai negara.
Dalam konteks Indonesia, bahan pangan asal serangga juga sudah lama dikenal masyarakat di sejumlah daerah. Sebagian masyarakat di Wonosari (Gunungkidul) dan Cepu (Blora), misalnya, terbiasa membuat lauk-pauk yang berbahan baku utama dari belalang, ulat daun jati, jangkrik tanah, dan laron.
Hasa Yasin (1992) dalam skripsinya juga menyarankan pemanfaatan laron sebagai bahan pangan karena kadar proteinnya cukup besar. Kandungan asam aminonya pun cukup lengkap, mulai treonin, lysin, leusin, serin, valin, alanin, dan sistein. Laron juga mengandung vitamin B.
Bahkan, berdasarkan laporan FAO (2002) ketika menangangi krisis gizi di Afrika, laron merupakan bahan pangan bernutrisi tinggi, yang jauh lebih baik daripada belalang. Kandungan proteinnya mencapai 65%, sedangkan belalang hanya 32%. Kandungan lemaknya hanya 31% (belalang 54%), sehingga wajar kalau FAO menyebut laron sebagai bahan pangan berprotein tinggi dan tidak menyebabkan obesitas.
Adapun asam lemak tak jenuh laron sekitar 57%, sedikit lebih rendah dari belalang (60%). Asam linoleat dan asa olet pada laron masing-masing tercatat 6,7% dan 48%, sedangkan pada belalang masing-masing 13,4% dan 44%.
Karena itu, sebagai pakan bergizi bagi burung, saya sangat meyakininya. Artinya, ketika laron aman bagi manusia, maka aman pula bagi burung. Di alam bebas, beberapa jenis burung seperti murai batu, kacer, hingga seriti dan walet pun seringkali memangsa laron. Selain burung, laron juga kerap menjadi santapan bagi kadal, cicak, dan kalajengking.
Kalau saya menyebut laron sebagai pakan alternatif, itu artinya pakan ini dapat digunakan dalam kondisi darurat seperti sekarang ini yang memasuki musim hujan. Setiap musim hujan, ketersediaan / stok kroto di pasaran pasti berkurang, dengan konsekuensi terjadi kenaikan harga.
Pasokan kroto di musim hujan umumnya berasal dari hasil budidaya kroto semut. Sedangkan kroto dari hasil perburuan di alam merosot tajam. Apa penyebabnya, simak kembali artikelnya di sini. Pada sisi lain, laron-laron justru sering muncul di musim hujan, sehingga dapat dijadikan pakan pengganti sementara.
Sekitar April – Mei tahun depan, ketika kita memasuki musim kemarau, produksi kroto hasil perburuan alam akan kembali normal. Sebaliknya, laron-laron mulai jarang terlihat. Laron tetap bisa muncul di musim kemarau, dengan catatan kelembaban udara cukup tinggi. Karena itu, tidak benar jika laron cuma muncul di musim hujan saja.
Asal-mula laron
Selama ini memang banyak salah tafsir mengenai laron. Misalnya, laron hanya memiliki umur pendek, tidak sampai sehari. Begitu muncul dan mendekati sumber cahaya seperti lampu, mereka pasti mati. Buktinya, banyak laron yang jatuh di lantai, terkulai, kemudian mati.
Ada juga yang menyebutkan sayap-sayap laron sangat ringkih. Saat mereka ramai-ramai mengitari sumber cahaya, lalu saling bertabrakan, sayapnya putus dan jatuh berserakan di lantai rumah kita. Maaf, harus saya katakan bahwa sebagian informasi tersebut keliru.
Untuk meluruskannya, saya menggunakan panduan dari website yang memang menekuni bidang ini, yaitu termite.com yang bermarkas di Australia. Sebelumnya, saya pun pernah membaca tulisan Prof Dr Yohannes Surya mengenai laron yang sebenarnya merupakan rayap dalam fase dewasa.
Jadi, laron itu sesungguhnya rayap yang kita kenal sebagai serangga yang sering menggerogoti kerangka rumah dari kayu, atau perabotan dari kayu seperti meja, kursi, lemari, dan sebagainya. Tidak semua rayap hidup di kayu, tapi ada juga yang menggali lubang di tanah, atau menempel pada batang pohon.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini. |
Nah, rayap itu sendiri merupakah serangga sosial, atau hidup berkoloni sebagaimana semut. Rayap juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan semut, yang juga hidup berkoloni. Karena kekerabatan inilah, rayap dalam literatur internasional disebut sebagai “semut putih” (white ant) karena kemiripan perilakunya.
Rayap terdiri atas empat tipe, yaitu: raja dan ratu rayap, rayap pekerja, rayap prajurit, dan laron. Siklus hidup mereka dimulai dari telur yang dihasilkan ratu rayap. Telur ini akan berkembang menjadi nimfa. Setelah dewasa, sebagian nimfa akan menjadi rayap pekerja, rayap prajurit, dan calon laron. Disebut calon laron, karena sayapnya sudah muncul tetapi belum berkembang,
Ketika sayapnya sudah berkembang sempurna, laron-laron ini akan keluar mendekati cahaya. Sayapnya memang tipis, dan diperlukan hanya untuk mencari pasangan kawin saja. Begitu menemukan pasangan kawin, mereka memang sengaja menjatuhkan diri ke tanah, sambil menanggalkan sayapnya. Jadi tidak benar sayap laron yang jatuh di atas lantai rumah kita akibat mereka bertabrakan.
Begitu sayap-sayap ditanggalkan, mereka akan kawin. Ingat, cahaya lampu bukan hanya di rumah kita saja. Jadi, mereka sempat melakukan kawin karena tidak ada aktivitas manusia yang mengganggunya. Jika kita melihat laron berjatuhan di lantai rumah, biasanya kan langsung disapu dan dibuang. Itu yang membuat laron tidak sempat kawin.
Nah, setelah kawin mereka akan mencari dan membangun sarang, menjadi ratu dan raja rayap, dan membentuk koloni baru. Untuk detailnya, silakan lihat gambar tentang siklus hidup rayap dan laron di bawah ini:
Mengenal tipe rayap dan tugasnya
1. Raja dan Ratu Rayap
Setelah kawin, laron akan menanggalkan sayapnya, karena sudah tidak diperlukan lagi. Jika selamat, termasuk dari tangan manusia, ia akan tumbuh menjadi raja atau ratu rayap, dan menjadi mesin telur yang luar biasa. Dalam sehari, seekor ratu bisa menghasilkan lebih dari 2.000 telur. Raja dan ratu tinggal di tengah-tengah koloninya, dilindungi sejumlah rayap pekerja. Umur ratu dan raja cukup fantastis, bisa mencapai 25 tahun.
2. Rayap Pekerja
Rayap pekerja merupakan bagian terbesar dari koloni rayap. Warnanya krem transparan, bertubuh lembut, dan rajin mengerjakan semua pekerjaan di sarang, termasuk makanan kayu dan selulosa lainnya, membuat terowongan, memperbaiki dan memperluas sarang koloni rayapnya, memberi makan prajurit, raja, dan ratu, sampai merawat nimfa muda hingga dewasa. Ukurannya sekitar 3-4 mm, tidak memiliki sayap, mandul dan buta, bekerja 24 jam sehari selama rentang hidupnya yang mencapai tahunan.
3. Rayap Prajurit
Rayap prajurit memiliki kepala besar berwarna oranye, dengan moncong keras dan tajam / runcing untuk menghancurkan musuh-musuh yang dianggap pengganggu, terutama semut. Beberapa spesies rayap bertipe prajurit ini akan mengeluarkan getah putih untuk menjerat musuhnya, mirip dengan laba-laba.
Rayap prajurit inilah yang sebenarnya paling sering kita lihat di rumah, terutama kerangka rumah yang terbuat dari kayu, perabotan seperti meja, kursi, dan lemari dari kayu. Mereka bertugas mencari calon sarang baru, sedangkan tugas selanjutnya diserahkan kepada rayap pekerja, mulai dari membuat lubang, terowongan, dan sebagainya.
4. Laron
Laron sering terlihat ketika mereka datang pada malam musim hujan, atau musim kemarau yang lembab, sekitar senja hingga malam hari. Mereka memiliki mata dan sayap super tipis. Sayap ini hanya digunakan untuk terbang mencari pasangan kawin. Begitu menemukan pasangan kawin, mereka langsung jatuh ke lantai, menanggalkan sayapnya, kemudian kawin, untuk menjadi raja dan ratu rayap dan membentuk koloni baru.
Dari seluruh rangkaian cerita ini, saya memiliki beberapa konklusi, sekaligus pertanyaan yang memerlukan bantuan dari sobat kicaumania yang menguasainya:
- Laron layak dijadikan bahan pakan alternatif untuk burung, karena kandungan proteinnya tinggi, bahkan melebihi belalang, dengan kandungan lemak yang relatif rendah.
- Meski di alam bebas sejumlah burung memangsa seluruh bagian tubuh laron, saya menyarankan agar sayap-sayap laron yang mau diberikan kepada burung dihilangkan dulu. Persoalannya sederhana saja, saya khawatir ada bagian dari sayap (sekecil apapun) yang nyangkut di tenggorokan, dan mengganggu burung saat mau bersuara.
- Mengenai takaran, ini yang saya butuh bantuan dari sobat kicaumania yang menguasai. Apakah boleh setiap hari, atau 2-3 kali seminggu, dengan takaran setiap pemberian cukup 1 sendok seperti kroto?
- Ini tantangan bagi sobat kicaumania yang berminat: laron sebenarnya bisa dibudidayakan, dan selama ini belum pernah ada yang mencobanya. Jika ada yang berminat, silakan belajar langsung secara online di termite.com. Siapa tahu bisa seperti Om Duto yang sukses besar dengan budidaya kroto semut, dan bisa menciptakan lapangan kerja buat ratusan bahkan ribuan kicaumania.