Di beberapa even latber di kawasan Jogja, omkicau.com sering menjumpai lelaki tampan dan berwajah oriental ini. Lelaki itu bukan berasal dari Condong Catur, bukan pula dari Wirobrajan, Gondomanan, atau Kauman. Lelaki bernama Aaron Teoh itu berasal dari Penang, salah satu negara bagian di Malaysia, yang mendapat beasiswa untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi UGM. Sabtu (24/2) kemarin, omkicau.com sempat berbincang-bincang dengannya, saat menjajal kemampuan anis merahnya dalam Latber KMYK di Taman Kuliner, Condong Catur, Sleman.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Aaron tinggal di Jogja sejak tahun 2000, setelah memperoleh beasiswa untuk kuliah di UGM. Setahun di Kota Pelajar, dia mulai tertarik memelihara burung berkicau. Apalagi aturan mengenai perburungan di Indonesia sangat longgar, jauh berbeda dari Malaysia yang super-ketat.
Awalnya, dia sering mengikuti latihan burung di Monumen Jogja Kembali (Monjali). “Waktu di Monjali, tokohnya adalah almarhum Pak Roesbowo. Saya cukup akrab dengan beliau,” kenang Aaron. Sejak itulah hari-harinya dipenuhi dengan jadwal kuliah, belajar, memelihara dan melombakan burung, juga bermain futsal.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Rupanya, inilah tahun terakhir dia berada di Indonesia karena harus kembali ke kampung halamannya di Penang, salah satu negara bagian di Malaysia. Karena itu, dia ingin menghabiskan sisa waktunya di Jogja dengan menikmati hobi memelihara burung kicauan, sekaligus melombakannya.
“Di Malaysia, memelihara burung harus punya lisensi atau izin. Satu orang atau satu alamat, dan setiap orang dibatasi maksimal memelihara tiga ekor burung. Khusus di Negara Bagian Penang, setiap tahun hanya ada 50 izin baru. Karena yang mengajukan izin sangat banyak, maka untuk menentukan jatah 50 dilakukan dengan cara pengundian,” ujar Aaron.
Adapun kuota izin memelihara burung berbeda-beda antara negara bagian yang satu dan negara bagian yang lain. Tetapi soal izin atau lisensi tetap sama, berlaku di semua wilayah Malaysia.
Apakah izin itu diberlakukan untuk semua burung? Ternyata tidak! Ada beberapa jenis burung yang bisa dipelihara tanpa harus mengantungi izin, misalnya murai kampung (di Indonesia disebut kacer), kenari, emprit, parkit, dan perkutut.
Jenis burung yang boleh dipelihara tetapi harus dengan izin antara lain murai batu, cucakrowo, merbah jambul, lovebird, serindit, blackthroat, blacken dan keluarga finch lainnya, serta mata puteh (pleci). Nah, kalau cucak hijau, anis merah, jalak, kepodang, serta gagak sama sekali tidak boleh disentuh, ditangkap, dan dipelihara.
“Kalau sampai ketahuan petugas, kita punya burung tanpa dilengkapi lisensi, dendanya bikin sakit, 3.000 ringgit Malaysia per ekor (setara Rp 10 juta – Red). Sebaliknya, kalau kita punya lisensi tetapi burungnya tidak ada, misalnya karena mati, maka izin pemeliharaan akan dicabut,” ujar Aaron.
Wah, rumit juga ya? Bagaimana jika ada burung yang dipelihara terlepas alias terbang dari sangkarnya? Kicaumania di Malaysia mesti melapor ke petugas, kemudian diberi waktu 1 minggu untuk mendapatkan burung pengganti yang sejenis. Kalau yang hilang murai batu, maka penggantinya juga harus murai batu.
“Biasanya, seminggu kemudian, petugas akan datang untuk memeriksa apakah burung pengganti sudah diperoleh. Jika tidak, maka izin untuk memelihara jenis burung tersebut langsung dicabut,” tambahnya.
Perizinan ekstra ketat di negeri jiran ini memang berkesan membatasi kicaumania. Hobi burung menjadi kurang berkembang sepesat di Indonesia, yang bisa dikatakan bebas memelihara jenis burung apapun (kecuali yang dilindungi, itupun sering dilanggar, he..he…).
“Tetapi, di sisi lain, juga ada baiknya. Secara umum populasi burung di Malaysia yang ada di alam bebas jauh lebih baik daripada di Indonesia. Pleci, misalnya, sekarang sudah tidak ada lagi izin memeliharanya. Yang ada hanya merupakan izin lama,” tutur Aaron.
Benar juga pendapat Aaron. Dulu, sebelum mengalami booming dan belum banyak dipelihara, populasi burung pleci di alam bebas Indonesia sangat berlimpah. Kini, pleci makin sulit dijumpai di alam bebas. Bahkan di beberapa lokasi mulai menunjukkan gejala menghilang (sudah habis?).
Meski kondisi perekonomian warga Malaysia secara umum cukup makmur, nilai denda sebesar 3.000 RM tetap saja terasa mahal. Soalnya, pergembangan hobi burung kicauan dan harga burung di sana tak “segila” di Indonesia. Semua masih dalam batas kewajaran dan akal sehat.
“Harga murai termahal di Malaysia, sepanjang sepengetahuan saya, hanya sekitar 6.000 RM (sekitar Rp 20 juta). Itupun sudah pernah 19 kali menjuarai lomba, artinya juara pertama. Coba kalau di Indonesia, harganya pasti sudah mencapai 300 juta rupiah, layaknya Seruling Raja milik Billy Kebumen, Natalia milik Gunawan Solo, atau Happy Birthday milik Akia Jambi,” tambah Aaron.
Sekarang mari kita berandai-andai. Umpama di negeri kita, Indonesia tercinta, kelak juga dibuat aturan serupa demi menjaga kelestarian burung-burung nan indah dari ancaman kepunahan, bagaimana kira-kira tangapan pihak-pihak terkait, mulai dari para penghobi, bakul burung di pasar burung maupun toko burung.
Baru dalam bentuk usulan dan wacana saja, dipastikan langsung bikin heboh dan geger. Jadi, apa orang-orang kita yang mengklaim berbudi luhur itu memang tidak bisa dan tidak mau diatur agar bisa menjadi lebih baik?
Wallahu a’lam. Silakan merenung dan mencari jawabannya. (Waca-Jogja)
—