Sebagai leading media, terutama media cetak tentang perburungan, Tabloid Agrobis Burung (Agrobur) sejauh ini paling layak dijadikan referensi teks bagi para kicaumania di Indonesia (kalau referensi online, omkicau.com dong, he..he..). Dalam edisi terbaru, No 668, Agrobur menurunkan tulisan menarik berjudul “Omzet Jutaan Rupiah dari dalam Kandang”. Nah, saya ingin mengupas sebagian isi artikel tersebut, khususnya 4 jenis burung paling prospektif untuk ditangkarkan saat ini: murai batu, cucakrowo, kenari, dan lovebird warna.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Tentu ada alasan mengapa Agrobur menempatkan murai batu, cucakrowo, kenari, dan lovebird warna sebagai jenis burung paling prospektif untuk ditangkarkan saat ini. Pertama, anakan atau piyikan dari burung-burung tersebut saat ini memang paling banyak dicari kicaumania. Kedua, harganya cenderung stabil dan selalu dalam posisi tawar yang tinggi.
Ini memang masalah pilihan dan kesenangan, yang siapapun sulit mencegahnya. Dunia hobi selalu konkruen dengan kesenangan, pilihan, dan tren yang berkembang pada suatu waktu. Mungkin di waktu lain akan terjadi perubahan tren, pilihan, dan kesenangan.
Saya ingin mengambil contoh mengenai penangkaran murai batu dan kacer. Secara teknis, penangkaran kedua jenis burung ini memiliki tingkat kesulitan yang hampir sama. Apalagi murai batu (MB) dan kacer masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat, sama-sama dari marga Copsychus, sehingga perawatan dan penangkarannya pun relatif sama.
Tetapi mengapa harga kacer hasil penangkaran rata-rata hanya Rp 450.000 – Rp 600.000, sedangkan MB bisa mencapai Rp 2 juta lebih? Hal ini tidak bisa dipisahkan dari beberapa faktor yang mengikutinya, dan akan saling berkaitan.
Dimulai dari tren, frekuensi pembelian MB menjadi lebih tinggi daripada kacer. Akibatnya terjadi perbedaan supply and demand antara kedua jenis burung tersebut. Ketika banyak orang yang membeli, maka supply (penawaran) menjadi sangat terbatas. Sebaliknya, demand (permintaan) pasti meningkat.
Dan, sesuai dengan hukum ekonomi di atas, manakala permintaan melebihi penawaran, harga otomatis akan akan meningkat pula. Beberapa penangkar murai batu kini kewalahan melayani konsumen. Mereka yang merasakan booming burung berjuluk “pengicau terbaik di dunia ini” antara lain SKL Bird Farm (sklbirdfarm.com) di Jatibarang – Indramayu, Amiex’s Bird Farm (Malang), dan Black Bird Keeping (Cilacap).
Demikian pula yang terjadi pada kenari, lovebird warna, dan cucakrowo. Fenomena unik bahkan terjadi pada burung cucakrowo. Meski sejumlah event organizer (EO) makin jarang membuka kelas cucakrowo, karena sepi peminat, jumlah penggemar dan pemilik burung mewah ini tetap banyak. Artinya, tidak ada korelasi antara minat peserta lomba dan jumlah pemelihara burung cucakrowo.
Salah satu buktinya adalah para penangkar cucakrowo juga kewalahan melayani pembeli. Pusat Penangkaran Cucakrawa GRD Balikpapan (cucakrawagrd.com), misalnya, beberapa kali sampai membelakukan sistem indent (pesan dulu).
“Bulan Februari lalu, ada 12 indukan yang mengerami telur-telurnya. Meski belum menetas, semuanya sudah dipesan. Akibatnya, hingga akhir Februari, GRD Bird Farm hanya menyisakan lima pasang anakan saja,” kata Om Sutoto, owner GRD Bird Farm yang bermarkas di Jalan Dua (Straat II), Kelurahan Gunung Samarinda, Balikpapan.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Karena itu, meski kelas cucakrowo cenderung sepi di berbagai arena lomba, para penangkar tetap enjoy menjalankan usahanya. Saya menduga hal ini karena sistem nilai pada masyarakat masih tertanam baik, khususnya di Jawa, yang antara lain mengajarkan bahwa kukilo ikut menentukan status seorang lelaki. Kukilo, secara harfiah berarti burung, sering diterjemahkan sebagai perkutut dan / atau cucakrowo.
Agrobur juga memberitakan, harga anakan murai batu, cucakrowo, dan kenari saat ini terus merambat naik. Anakan murai batu dari indukan yang bukan trah jawara saja sudah dibanderol minimal Rp 1,5 juta. Cucakrowo lebih bikin ngiler lagi, karena harga per pasangnya sudah di atas Rp 6 juta.
Adapun untuk kenari sangat tergantung jenis dan asal-usul indukanya. Untuk kenari bongsor berbasis darah yorkshire, harganya sungguh selangit. Hampir semua peternak yang bisa mencetak kenari bongsor juga kesulitan memenuhi permintaan.
Agrobur memprediksi, murai batu dan cucakrowo nantinya akan menjadi komoditas yang makin dicari, mengingat pasokan dari alam makin sulit didapat. Maklum, habitat mereka juga makin berkurang karena penebangan hutan, alihfungsi lahan, dan semacamnya. Akibatnya, populasinya di alam bebas menurun drastis. Bahkan beberapa pemerintah kabupaten di Aceh memberlakukan peraturan (qanun) mengenai larangan membawa murai batu ke luar wilayah.
Om Kicau sejak awal dalam posisi mendukung qanun tersebut, dan mengarahkan sobat kicaumania untuk membiasakan membeli murai batu hasil penangkaran. Hal ini nampaknya belum berjalan mulus. Berbeda dari cucakrowo, yang mana sebagian besar burung piaraan berasal dari hasil penangkaran.
Bagaimana dengan lovebird? Lovebird memang termasuk burung dwiguna, bisa untuk dijadikan kicauan (lovebird lomba), dan bisa juga dijadikan burung hias (lovebird warna). Dalam pengamatan Agrobur, penangkaran lovebird warna nampaknya memiliki prospek lebih baik daripada lovebird lomba.
Tetapi, menyadari bahwa tren masih mudah berubah, beberapa penangkar lovebird tetap memilih jalan tengah. Mereka tetap menangkar kedua jenis lovebird sekaligus, untuk lomba dan sebagai burung hias. Hal ini juga dilakukan Om Dwi Wahyudi (DT Bird Farm / Nutrilove), Griya Taman Asri Sleman Blok D-301 Sleman (085729406875).
Galeri gambar penangkaran lovebird DT Bird Farm
Di kandang penangkarannya, Om Dwi dengan segala kreativitasnya terus mencetak lovebird lomba, lovebird warna, juga kombinasi antara lovebird suara dan warna.
Terlepas dari prediksi Agrobur, Om Kicau tetap ingin mendorong agar semua jenis burung (setidaknya yang sering dilombakan) bisa ditangkarkan, sambil membantu membangun kesadaran kicaumania untuk membeli burung hasil tangkaran dan meninggalkan burung hasil tangkapan.
Upaya ini memang tidak bisa membuahkan hasil secara instan, tetapi harus bertahap, serta dibutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak. Melalui kesadaran bersama inilah, kita bisa melestarikan hobi dalam memelihara burung, bisa tetap berlomba, karena burung selalu ada dan bisa diperoleh di penangkaran.
Lain halnya kalau tidak ada upaya penangkaran, dan burung selalu diperoleh dari hasil tangkapan alam. Percayalah, suatu ketika tidak ada seorang pun yang memiliki burung, dan lomba burung berkicau hanya akan menjadi nostalgia yang tak pernah terjadi lagi di masa depan. Sebab burung di alam bebas sudah habis, dan tak ada seorang pun yang menangkarnya.
Semoga menjadi renungan bersama.
—