Upaya menciptakan Pasar Burung (PB) Depok Solo yang lebih modernis, bahkan mengubah namanya menjadi Taman Pasar Burung Depok, nampaknya masih membutuhkan kerja keras serta kerja sama dari berbagai pihak terkait, terutama Pemerintah Kota Solo, para pedagang, dan konsumen. Sebab para pedagang, khususnya di lantai II, mengeluh sepi pembeli. Akibatnya, mereka pun menutup kios atau los, dan memilih berjualan di pinggir jalan.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Kustini, misalnya, mengaku omzet dagangannya anjlok hingga 70% sejak menempati los di lantai II. Biasanya, dalam sehari rata-rata bisa memperoleh pendapatan rata-rata Rp 300.000 per hari dari hasil berjualan pakan burung. Tetapi sejak Taman PB Depok diresmikan Wali Kota FX Hadi Rudyatmo, 27 Maret lalu, dan dia berjualan di lantai II, pendapatan dalam sehari rata-rata hanya Rp 20.000.
Dengan pertimbangan keluarganya harus makan, maka dia pun rela mengontrak kios di pinggir Jalan Setyabudi. Padahal, untuk kontrak kios selama 6 bulan saja, Kustini mesti mengeluarkan uang Rp 2,4 juta, yang diperolehnya dari pinjaman bank.
“Jualan pakan di lantai dua tidak laku. Kalau tidak kontrak di sini, (keluarga) tidak bisa makan. Tidak ada pendapatan. Di sini orang lewat bisa langsung beli. Kalau jualan di lantai dua, pembeli tidak ada yang mau naik hanya untuk beli pakan,” keluhnya, seperti diberitakan Solo Pos.
Memang, sejak mengontrak kios di pinggir jalan, dagangannya bisa cepat laku. Satu per satu pembeli berdatangan ke kiosnya. Mereka membeli pakan burung seperti kroto, ulat hongkong, ulat bambu, cacing, dan aneka serangga lainnya.
Dengan cekatan, tangan Kustini melayani setiap pembeli. Tak lupa senyum ramah tersungging dari bibirnya. “Matur nuwun sudah beli di sini. Sekarang saya kontrak di sini,” ujarnya ramah, sambil mengenalkan lokasi kios barunya kepada setiap pembeli.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Rupanya bukan hanya Kustini yang mengalami kegetiran sejak berjualan di lantai II. Beberapa rekan pedagang juga menyampaikan keluhan yang sama, dan mengambil jalan pintas yang serupa. Hal ini jelas mempersempit kembali bahu Jalan Setyabudi, sama seperti sebelum direnovasi. Apalagi para pedagang omprokan (yang selama ini tidak kebagian kios / los) juga masih berjualan di sana.
Wito, pedagang dan agen kenari, juga terpaksa mengontrak lahan miliki warga di pinggir jalan untuk berjualan. Nilai kontraknya mencapai Rp 7 juta per tahun. “Sebenarnya saya berharap bisa jualan di dalam pasar. Tapi karena tidak dapat jatah, ya terpaksa kontrak di sini,” katanya.
Sebagian pedagang omprokan menggelar dagangan di sekitar Taman PB Depok. Mereka menggelar dagangan di atas boncengan motor, atau sepeda ontel. Sebagian pedagang yang menempati kios / los mengatakan, keberadaan pedagang omprokan inilah yang membuat pembeli malas masuk ke dalam pasar, apalagi harus naik ke lantai II.
Oh, begitu ya masalahnya. Ini perlu menjadi perhatian Pemkot Solo, khususnya Dinas Pengelolaan Pasar, agar apa yang sudah dibuat tidak menjadi sia-sia. Rencana penataan pedagang omprokan di sisi selatan PB Depok, dengan kapasitas 150 lapak, nampaknya perlu dipercepat.
—