Tabloid Agrobur edisi terbaru (No 704 – Minggu III November 2013) menurunkan laporan utama berjudul Keran Impor Hwamei Kembali Dibuka. Sebuah laporan yang komprehensif, karena basis informasinya berasal dari berbagai daerah, terutama Bandung, Jogja, Bali, dan Kalimantan Timur. Memang ada beberapa hal yang perlu dikonfirmasi, karena Pemerintah RI belum membuka kembali keran impor burung asal China. Ada lagi satu pertanyaan besar, mengapa postur hwamei yang diimpor lebih kecil daripada biasanya dan rata-rata belum bunyi?
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
—-
Hwamei, atau sering juga disebut wambie, merupakan burung yang pernah popular di kalangan para penggemar burung kicauan. Sejak awal dekade 1990-an hingga awal dekade 2000-an, pamornya bisa disejajarkan dengan tiga burung lokal: cucakrowo, anis kembang, dan anis merah.
Suaranya yang merdku, keras, selalu fight, dengan gaya menggetarkan kedua sayapnya, merupakan ciri khas burung ini. Sayangnya, popularitas hwamei di Indonesia memudar, akibat persoalan internal dan eksternal (lihat kembali artikel Hwamei: Riwayatmu dulu, riwayatmu kini).
Wabah virus SARS / sindrom sistem pernafasan akut pada awal 2000-an memaksa Pemerintah harus menyetop keran impor burung-burung dari China. Sebab, virus itu kali pertama berjangkit di Negeri Tirai Bambu.
Dampaknya, jumlah penggemar hwamei menyusut dan secara bertahap kelas hwamei tersingkir dari arena lomba. Pada tahun 2003, sebagian EO sudah tidak membuka kelas hwamei, meski di beberapa daerah hal itu baru terjadi 1-2 tahun kemudian.
Ketika keran impor burung China mulai terbuka lagi, justru ada kebijakan lain dari Pemerintah China. Seperti dilaporkan Tabloid Agrobur edisi terbaru, hwamei telah ditetapkan Pemerintah China sebagai spesies burung dilindungi. Dengan demikian, secara formal, segala aktivitas penangkapan, pemeliharaan, maupun pengiriman keluar negeri jelas tidak diizinkan.
Namun, belakangan ini, beberapa pedagang burung di Jakarta sudah memiliki stok hwamei lumayan banyak. Salah satunya pernah dimuat Om Kicau awal Juli lalu, yaitu Hery Raja Burung Jakarta.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Teman-teman dari Tabloid Agrobur, dengan jaringannya yang luas, juga mendeteksi adanya hwamei masuk ke Indonesia. Salah satu toko burung yang menjual hwamei adalah Merah Putih Bird Shop Bandung, milik Ko Afat, yang dikenal pula sebagai penggemar hwamei, dan dulu pernah punya gaco andal bernama Saviola.
Hwamei juga sudah bisa dijumpai di beberapa pasar burung seperti Pramuka (Jakarta), Pasty (Jogja), Depok (Solo), Karimata (Semarang), Muntilan, Magelang, dan sebagainya. Harga rata-rata per ekor mencapai Rp 2 juta.
Merah Putih Bird Shop, yang kerap menggelar lomba burung tingkat nasional, terletak di Jalan Peta No 251, samping Pasar Burung Sukahaji Bandung. “Sejak lima bulan lalu, burung impor hwamei sudah masuk kembali ke lndonesia,” kata Ko Afat.
Lima bulan lalu? Berarti Juni, dan sangat mungkin pemasoknya sama seperti yang menyuplai hwamei ke HRB. Pertanyaannya sekarang, dari mana burung-burung itu didatangkan? China? Kemungkinan ini sangat kecil. Sebab, Pemerintah RI dan Pemerintah China sama-sama belum mengubah keputusannya soal impor dan ekspor burung tersebut.
Menurut kajian Om Kicau, kemungkinan besar burung didatangkan dari Malaysia, atau diimpor dari Taiwan. Sebab penggemar hwamei di Malaysia hingga kini masih banyak. Sebagian berasal dari hasil penangkaran sendiri, dan sebagian lagi didatangkan dari Taiwan.
—-
Fakta penjualan di Merah Putih Bird Shop
Kerinduan kicaumania senior terhadap hwamei bisa dilihat dari fakta penjualan di Merah Putih Bird Shop, Jalan Peta No 251 Bandung. Kepada Agrobur, Ko Afat selaku pemilik toko mengatakan, jumlah hwamei yang didatangkannya pertama (Juni 2013) sekitar 150 ekor.
Burung impor ini dipasok seorang agen di Jakarta. Hanya dalam waktu 1 bulan, sudah 100 ekor yang terjual. Ini menunjukkan hwamei benar-benar dirindukan mantan penggemarnya, dan mungkin juga oleh penggemar baru yang sudah mengenal burung ini melalui berbagai referensi.
Sejak saat itu, Ko Afat setiap bulan rutin mendapat kiriman 50 ekor, dengan produk terjual rata-rata 40 ekor / bulan. Mohon diingat, ini fakta penjualan di satu toko saja. Padahal, hwamei bukan burung murahan. Untuk bisa mendapatkannya, pembeli hanya menyediakan budget minimal Rp 2 juta.
“Penggemar hwamei di Tanah Air, khususnya Bandung, masih banyak. Saat mengetahui Kios Merah Putih Bird Shop menyediakan banyak burung hwamei, penggemar langsung menyerbunya,” ungkap Ko Afat.
Ko Afat berani menjamin bahwa burung yang dijualnya berjenis kelamin jantan. Kalau pun ada stok betina, dia pasti akan memberitahu calon pembeli. Siapa tahu ada yang mau menangkarnya, sehingga tinggal membeli seekor pejantan hwamei. Bagi yang mau menangkar, lihat panduannya di sini.
—-
Mudah dijumpai di Muntilan dan Magelang
Berdasarkan pantauan Agrobur, hwamei juga dijumpai di pasar burung Muntilan dan Magelang. Tapi berbeda dari Merah Putih Bird Shop maupun Hery Raja Burung, hwamei yang ada di dua kota ini tak diimpor dari mancanegara, melainkan hasil tangkapan dari hutan di lereng Gunung Merapi, misalnya dari kawasan Srumbung, Dukun, dan sekitarnya.
Inu membenarkan fakta tersebut. Saat jalan-jalan ke pasar burung di Muntilan, dia melihat hwamei yang dicampur dengan jenis burung lain. Semua burung merupakan hasil tangkapan hutan di lereng Merapi, terutama dari sisi barat.
“Sang penjual kemudian mengatakan punya sepasang hwamei jantan dan betina yang masih muda. Akhirnya saya beli pasangan hwamei tersebut. Saya juga memiliki beberapa ekor hwamei lagi, hasil tangkapan dari hutan Merapi,” jelas lnu.
—-
Menurut informasi yang belum jelas kebenarannya, keberadaan hwamei di lereng Merapi ini berasal dari pelepasliaran oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB). sebagai bagian dari kegiatan konservasi. Tidak disebutkan, apakah yang dimaksud Sri Sultan HB IX atau Sri Sultan HB X.
Raja Mataram melepasliarkan beberapa ekor hwamei ke hutan Merapi di sisi selatan. Ketika Gunung Merapi meletus dan turun awan panas (wedus gembel), burung-burung termasuk hwamei berpindah ke sisi barat yang lebih dekat dengan Muntilan dan Magelang.
Tabloid Agrobur melaporkan, sejarah kehadiran hwamei di Indonesia tidak terlepas dari tokoh-tokoh seperti Engkus (Jakarta), Amiauw (Bandung), dan Yongpo (Jogja). Mereka merupakan generasi awal yang mendatangkan hwamei dari China ke Indonesia. Generasi berikutnya antara lain Hery lP, Paulus Topsong, dan JJ.
Menurut Engkus, selain dijadikan burung kicauan, hwamei sering dijadikan burung aduan di negeri asalnya: China. Ya, tak ubahnya sabung ayam di lndonesia.
—-
Ketika berada di China, Engkus memilih beberapa ekor hwamei untuk digantang pada tiang bambu, atau dibuat semacam gathering. Dia kemudian memilih beberapa ekor burung yang rajin bunyi, dan dibawa pulang ke Indonesia.
“Saya dan beberapa rekan mengumpulkan burung sampai ke desa-desa. Setelah dikumpulkan, lantas dipilih dengan cara dibuat semacam lomba pada tiang bambu,” ujar Engkus, seperti dikutip Agrobur.
Ukuran lebih kecil, bahan belum bunyi
Ada satu pertanyaan besar tentang karakter fisik dari hwamei yang belakangan ini banyak dijumpai di pasaran. Menurut Tau Lie, penggemar hwamei asal Kalimantan Timur, jenis yang didatangkan importir saat ini memiliki ukuran yang agak berbeda daripada yang pernah ada pada era 1990-an.
“Size lebih kecil daripada aslinya dulu. Menurut informasi yang saya dengar, hwamei yang diimpor sekarang berasal dari Taiwan,” kata Tau Lie, yang pernah memiliki beberapa hwamei jawara.
Selain ukurannya lebih kecil, banyak bahan yang belum bunyi. Hal ini terungkap dari penuturan salah seorang pedagang burung di PB Depok Solo, yaitu Burwanto.
“Peminat hwamei belum terlalu ramai, karena umumnya burung belum bunyi. Beda dengan hwamei zaman dulu, lebih rajin bunyi, karena sudah diseleksi terlebih dahulu,” kata Burwanto.
Hal ini juga menjadi pemikiran Engkus. Boleh jadi, hwamei yang didatangkan sekarang tidak melalui seleksi ketat seperti yang pernah dilakukannya belasan tahun silam. Wajar bila banyak burung yang tidak / belum bunyi. Boleh jadi, sebagian besar yang didatangkan benar-benar masih bakalan.
Di Taiwan terdapat spesies burung mirip hwamei, yaitu Garrulax taewanus / Leucodioptron taewanum, dengan nama internasional taiwan hwamei. Om Kicau pernah menulisnya di sini.
Hwamei taiwan sempat dimasukkan sebagai subspesies / ras hwamei (Garrulax canorus). Karena terdapat perbedaan morfologi yang nyata, maka dipisah menjadi spesies tersendiri. Hwamei taiwan tidak memiliki alis mata setebal burung hwamei.
Tetapi banyak peternak di Taiwan yang menyilangkan antara hwamei dan hwamei taiwan. Sebagian filial / keturunan pertama (F1) memiliki alis tebal seperti hwamei dengan postur lebih kecil seperti hwamei taiwan.
Kualitas suara tergantung induk betina yang digunakan. Jika betina yang dipakai adalah hwamei asal Taiwan, maka sebagian besar anaknya yang jantan akan memiliki tipikal suara mirip ibunya. Semoga dugaan Om Kicau tidak benar, dan yang terjadi adalah burung yang didatangkan masih muda sehingga belum rajin bunyi.
Apabila sampai awal tahun depan impor hwamei masih bisa berjalan, kemungkinan besar kelas hwamei bakal dibuka kembali, sehingga makin bervariasi jenis burung yang dilombakan. Keinginan membuka kembali kelas hwamei sudah muncul dari berbagai daerah.
Ko Afat, yang kerap menggelar lomba burung tingkat nasional, termasuk Merah Putih Bird Shop Cup 1 di Bandung, Minggu (17/11) mendatang, bahkan sudah memiliki rencana menggelar eksebisi kelas hwamei dalam lomba-lomba burung mendatang. “Rencananya April tahun depan,”jelas Ko Afat.
Hal serupa juga ditegaskan beberapa penggemar hwamei di Jogja. Inu, salah seorang penggemar di kota ini, akan berkoordinasi dengan beberapa penggemar lainnya mengenai kemungkinan tersebut.
Hasil koordinasi akan disampaikan kepada salah satu/beberapa event organizer (EO). Misalnya, menawarkan kepada TKKM dan / atau KMYK, yang sama-sama berbasis di Taman Kuliner Jogja agar mau membuka kelas eksebisi hwamei.
Selain Inu, ada beberapa kicaumania yang memiliki hwamei di Jogja, misalnya Aji dan Mbah Dipo. Bahkan Mbah Dipo disebut-sebut memiliki puluhan ekor hwamei. Begitu mendengar kelas hwamei mau dibuka lagi, meski sebatas eksebisi, Inu yakin para pemilik hwamei lainnya yang belum terdeteksi akan muncul dengan sendirinya.
Para penggemar burung di Bali juga menyambut positif rencana membuka kembali kelas hwamei. D’Yan, penangkar dan pemain murai batu, berencana akan membeli beberapa hwamei. Begitu pula respon dari Triyanto, ketua Paguyuban Pedagang Burung Pasar Sanglah (P2BS).
Keduanya menyambut positif jika hwamei bisa masuk ke Bali. Jenis burung ini jelas akan menambah greget lomba jika dimasukkan dalam satu kelas. “Jika sudah ada beberapa pemain memiliki hwaimei, kami segera akan membuka kelas tersebut,” janji Triyanto.
Sejumlah EO di Kalimantan Timur juga menunggu perkembangan lebih lanjut mengenai rencana ini. “Jika bahan sudah banyak, dan teman-teman minta dibuka kelas hwamei, mengapa tidak? Kita lebih mengutamakan aspirasi teman-teman kicaumania; seperti yang sudah kita lakukan saat membuka campuran impor,” kata Andung dari Arena Lomba Burung Polder Air Hitam, Samarinda.
Dulu, penggemar hwamei di provinsi ini cukup banyak, antara lain Gunawan, Madjid, Yanto, Arman Tandy, Budi, H Tri Hantoro, dan H Agus Gepuk. Sebagian di antara mereka pensiun dari hiruk-pikuk perburungan, sebagian lagi masih eksis termasuk Agus Gepuk.
“Kami masih ingat betul betapa sengitnya bermain di kelas hwamei. Kita main hwamei terakhir kali tahun 2005,” jelas H Tri Hantoro.
Audio kicauan burung hwamei
—-
Sebagai penutup, Om Kicau akan membagikan audio kicauan burung hwamei, yang dapat digunakan untuk memancing bunyi hwamei yang baru Anda beli, sekaligus bisa digunakan pula untuk masteran burung berkicau lainnya.
Untuk dua audio gathering berikut ini, mohon jangan digunakan untuk memaster hwamei di rumah. Audio ini hanya untuk Anda yang memiliki hwamei yang sudah gacor, sebagai media untuk melatih mental burung. Jadi, bisa digunakan sebagai simulasi lomba saja.
Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.
Suka? Bagi-bagi ke teman ya. Terima kasih.
Tags
Notice: Undefined variable: taglink in /home/omkicau.com/public_html/wp-content/plugins/amp-newspaper-theme/template/single.php on line 277 audio hwamei
Notice: Undefined variable: taglink in /home/omkicau.com/public_html/wp-content/plugins/amp-newspaper-theme/template/single.php on line 277 BURUNG
Notice: Undefined variable: taglink in /home/omkicau.com/public_html/wp-content/plugins/amp-newspaper-theme/template/single.php on line 277 burung impor
Notice: Undefined variable: taglink in /home/omkicau.com/public_html/wp-content/plugins/amp-newspaper-theme/template/single.php on line 277 hwamei
Notice: Undefined variable: taglink in /home/omkicau.com/public_html/wp-content/plugins/amp-newspaper-theme/template/single.php on line 277 video hwamei
Notice: Undefined variable: taglink in /home/omkicau.com/public_html/wp-content/plugins/amp-newspaper-theme/template/single.php on line 277 wambie