Breeder lokal harus bisa mengendalikan pasar
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Baru beberapa bulan impor lovebird dibuka secara besar-besaran, dilanjutkan dengan impor kenari, dampaknya langsung dirasakan para peternak lovebird dan kenari di lndonesia. Harga produk lokal langsung terjun bebas.
Lovebird warna hijau dan biru yang pernah menembus harga Rp 400.000 / ekor, kini sudah merosot di angka Rp 300 ribu. Pastel kuning kepala emas bahkan sempat di atas Rp 1 juta, namun kini turun pada kisaran Rp 600 ribu / ekor. Itupun belum tentu bisa laku.
Hal yang sama juga terjadi pada jenis kenari. Di Bali, harga kenari lokal sempat menembus angka Rp 250 ribu atau lebih per ekor, kini merosot sampai 175 ribu. Masuknya kenari impor bertubuh kecil, dengan harga hanya Rp 600.000 / ekor, membuat kenari lokal menjadi pilihan kedua.
Meski burung impor lebih sulit diternak, riskan mati, dan warna bulunya sering berubah, konsumen tetap saja melirik jenis impor. Inilah perilaku import minded yang sulit dienyahkan dari Indonesia dan melanda pada komoditas apapun: barang mati maupun barang bernyawa.
Gelontoran kenari dan lovebird impor jelas memukul para penangkar burung tersebut di lndonesia. Biaya investasi seperti pembuatan kandang, indukan, dan biaya produksi seperti pakan, manajemen kesehatan, dan perawatan lainnya sulit kembali, karena tidak seimbang dengan harga jual anakan yang makin merosot.
Semua ini membuat sebagian besar peternak kelimpungan, bahkan sudah ada yang gulung tikar. Ini memang hanya dirasakan peternak lovebird dan kenari, yang notabene memang bukan burung asli Indonesia, sehingga potensi “dihajar” pasar impor sangat tinggi.
Itu sebabnya, Om Kicau menempatkan kenari pada level 2 dan lovebird pada level 3 sebagai burung breeding paling prospektif di negeri ini pada tahun 2014. Berbeda dari cucakrowo dan murai batu yang merupakan burung lokal, sehingga permintaan pasar dan kondisi harga relatif lebih stabil, dan bahkan terus menunjukkan peningkatan.
Tabloid Agrobur menyebutkan, beberapa penangkar mulai kesulitan dalam memasarkan lovebird. Misalnya Ojolali BF di Padanggalak, Denpasar. Peternakan ini memiliki lebih dari 70 pasang lovebird. Dulu tidak sulit menjual anakan lovebird. Kini pemasaran mulai sepi. Apalagi warna-warna biasa yang kurang memenuhi syarat lomba.
Beberapa pedagang burung di pasar dan outlet juga sering menimbun lovebird, karena sepi pembeli. Meski harganya mulai turun, tingkat pembelian belum juga beranjak naik. Pembeli, terutama dari kalangan breeder pemula, masih takut beternak karena diprediksi harganya makin anllok.
Sebaliknya, banyak peternak bersar yang melempar indukannya ke pasaran dengan harga murah, sekadar mengurangi angka kerugian. Akibatnya, hal ini justru memperburuk kondisi pasar, lantaran harga makin anjlok.
Tetapi tidak semua penangkar lovebird bernasib sama. Beberapa breeder, terutama yang produknya mampu menjuarai lomba, justru makin menuai sukses. Harganya pun tetap menjulang tinggi. Sebut saja Mr Baim, yang membuka penangkaran lovebird lomba di Semarang, yang dijalankan Om Tanto.
Salah satu lovebird hasil ternaknya, yaitu Fudu, beberapa kali moncer di Bali. Dampaknya, pesanan datang mengalir dari kawan-kawan sesama pemain.
Dalam catatan Om Kicau, beberapa penangkar lovebird yang juga pemain biasanya meraih sukses. Ini bisa dilihat dari Anto 999 (pemilik Ananta BF Sragen), Wahyu WS BF Jogja, dan Iwan TB (Berkah BF Cirebon).
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Wahyu adalah mahasiswa FEB UGM, berasal dari Pati, yang membiayai kuliahnya dari hasil breeding lovebird. Dengan aktif turun ke lapangan, terutama melalui gaconya bernama Barong, Wahyu secara tidak langsung mempromosikan produk penangkarannya. Apalagi Barong kerap menjuarai lomba.
Dalam level lebih besar, Om Anto 999 bisa dijadikan contoh betapa tidak semua penangkar lovebird terkena dampak fluktuasi harga dan kelesuan pasar. Ini karena produk Ananta BF sudah lama dikenal sebagai penghasil lovebird juara.
Om Anto sudah membuktikannya dengan contoh. Misalnya Elang Biru yang menjadi ikon terbaik dari bird farm yang dikelolanya, karena bukan hanya mendominasi lomba di Blok Tengah, namun sering moncer pula di Blok Barat.
Beberapa pemain di Jawa Barat dan Jabodetabek pun kerap menjadikan Om Anto sebagai pemasok lovebird juara, bahkan ,memilih pemilik Ananta BF itu sebagai konsultan dalam perawatan lovebird juara.
Kita juga bisa belajar dari Om Iwan TB, pemilik Berkah Bird Farm di Cirebon. Kalau ada lomba di Jawa Barat, kelas lovebird biasanya didominasi Berkah SF, sayap usaha dari Berkah BF. Beberapa gaconya seperti Alphard, Fortuner, BMW, Mercedes, Pajero, Ferari, Volvo, Hero, Vorche, Sonic , dan lain-lain selalu moncer di lapangan. Hal ini sekaligus menjadi sarana promosi yang efektif dan tidak vulger.
Untuk kenari, kita dapat belajar dari Canary Jogja Team (CJT) pimpinan Om Sarwoko serta Solusindo Canary Team (SCT) Klaten. Di tengah kesibukan breeding, memaster dan merawat anakan, mereka tak pernah absen dari lomba.
Sebab kemenangan dalam lomba akan menjadi sarana promosi paling efektif, dan tak bisa ditembus oleh kekuatan finansial dari manapun, termasuk dari kalangan importir. Dengan turun lomba, terjadi ikatan batin dengan sesama pemain, dan mereka adalah pasar potensial !
Apa kesimpulan dari artikel ini?
- Breeder lokal yang menangkar burung impor seperti lovebird dan kenari harus menyadari, kondisi pasar sangat dipengaruhi oleh aktivitas importir yang umumnya memiliki finansial kuat.
- Jika importir sangat aktif, hal ini akan berdampak pada kejenuhan pasar, harga merosot, dan pembeli yang belum paham akan tergiring oleh budaya import minded.
- Apabila peternak lovebird dan kenari rajin turun ke lomba, kemungkinan besar pemasaran tidak akan pernah terganggu, bahkan harga jual tetap bisa jauh di atas harga rata-rata. Efek lainnya, peternak bisa memiliki jaringan lebih luas di kalangan pemain, yang biasanya sudah tidak peduli berapapun harga yang Anda banderol.
Sebelumnya << >> Berikutnya