Sebagian masyarakat di lereng Gunung Lawu menyebut burung ini sebagai anis gading, bahkan ada juga yang menyebutnya jalak gading atau jalak lawu. Anis gading sebenarnya salah satu dari 49 subspesies anis gunung / island thrush (Turdus poliocephalus). Anis gunung tersebar di berbagai belahan dunia, termasuk di seluruh wilayah Indonesia (kecuali Kalimantan). Tetapi anis gading, yang bernama ilmiah Turdus poliocephalus stresemanni, merupakan burung endemik di Gunung Lawu. Banyak mitos terkait keberadaan burung anis gunung di Gunung Lawu.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Sebagai burung endemik Gunung Lawu, anis gading tidak akan bisa ditemukan di daerah lain. Karena itu pula, anis gading memiliki keterkaitan dengan akar budaya masyarakat lereng Lawu, bahkan sering dikaitkan dengan mitos-mitos tertentu.
Om Kicau tak ingin menyeret Anda ke alam mistis dan mitos, melainkan sekadar memberikan fakta sebagai salah satu bahan pembelajaran saja, atau mengenal salah satu kearifan lokal di negeri ini (soalnya Om Kicau tak percaya soal mitos, he.. he..).
Mitos yang selama ini berkembang dalam masyarakat lereng Lawu antara lain keyakinan / anggapan bahwa anis gading merupakan burung Prabu Brawijaya V (raja terakhir Majapahit), yang konon moksa di Gunung Lawu.
Itu sebabnya, anis gading tidak boleh diganggu. Bahkan ada larangan dan pantangan tak tertulis yang berkembang di masyarakat setempat yang ditujukan kepada para pendatang, termasuk para pendaki gunung.
Mereka dilarang mengganggu burung anis gading, baik mengusir, melemparinya dengan batu, atau mentangkap. Bagi yang melanggar, maka akan muncul berbagai musibah selama pendakian, minimal tersesat dan hilang. Sekali lagi, itulah mitos yang diyakini masyarakat lereng Lawu. Soal benar dan tidak, wallahu a’lam bis-sawab!
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Dampak positif dari mitos anis gading
Coba lihat apa yang terjadi sehubungan dengan mitos tersebut. Populasi burung anis gading terbilang aman, sebab tak ada yang berani mengganggu dan menangkapnya. Terkadang Om Kicau berfikir, apa perlu kita ciptakan mitos serupa untuk murai batu, kacer, pleci, dan jenis burung kicauan lainnya, agar populasinya di alam liar tetap aman (he.. he..).
Mitos ini pada akhirnya menyeret ke hal-hal lain yang menarik untuk dicermati, dan justru relevan jika dikaitkan dengan perilaku dan kebiasaan burung. Karena banyak pendaki yang datang ke Gunung Lawu, burung anis gading menjadi terbiasa oleh kehadiran manusia. Apalagi karena mereka tak pernah diganggu manusia.
Akibatnya sama seperti burung peliharaan yang kita rawat di rumah, yang menjadi tidak takut terhadap pemilik / perawatnya. Burung kemudian menganggap manusia bukan musuh, tetapi kawan. Nah, hal ini pula yang terjadi di Gunung Lawu.
Banyak pendaki bercerita, setiap akan melakukan pendakian, burung-burung anis gading ini sering menemaninya hingga ke Argo Dumilah, atau puncak Gunung Lawu. Kalau pun burung sesekali tidak menemani, para pendaki ini biasanya tetap mendengar suara pekikan burung tersebut dari balik rimbun pepohonan.
Selama mengikuti perjalanan para pendaki, anis gading sering terlihat melompat-lompat kegirangan. Karena ada larangan menyakiti, sebagian pendaki justru berlaku sangat menyayanginya. Mereka kerap memberikan sisa-sisa mi instan kepada anis gading. Rupanya, burung ini juga sangat menyukainya (wah.., kalau mi instan, Om Kicau juga doyan, he..he..).
Karena menyukai mi instan atau sisa makanan yang dibawa para pendaki, burung anis gading menyimpan seluruh kejadian itu dalam memorinya. Mereka menyimpulkan, manusia sangat baik hati dan akan memberinya sisa-sisa makanan.
Itu sebabnya, dari waktu ke waktu, kawanan burung anis gading kerap mengikuti para pendaki, untuk mengetahui ke mana tujuan akhir mereka, atau menunggu saat-saat para pendaki beristirahat, menyantap bekal, dan berharap mendapatkan sisa-sisa makanan.
Masyarakat setempat yang membuka warung makan untuk melayani wisatawan dan para pendaki pun tak berani melanggar pantangan untuk mengusir anis gading. Karena itu, mereka membiarkan anis gading masuk ke warung, berharap mendapatkan sisa mi instan, roti bakar, atau sedikit minuman dari pengunjung warung.
Perilaku unik anis gading ini tentu akibat memorinya yang terbangun selama ini, bahwa manusia yang ditemuinya jarang menyakitinya, tak ada yang berani melemparinya dengan batu, dan tak ada yang berani menangkapnya. Ini yang membuatnya cepat beradaptasi dengan kehadiran manusia.
Penampilan dan suara kicauan anis gading
Penampilan burung anis gading, maupun ras anis gunung lainnya, sepintas lalu mirip dengan common blackbird (Turdus merula), salah satu burung pengicau terpopular di Eropa dan Amerika Utara. Kebetulan keduanya sama-sama dari keluarga Turdidae, bahkan dari genus / marga yang sama pula: Turdus.
Sebagaimana blackbird, anis gading juga memiliki bulu tubuh dominan hitam, dengan paruh dan lingkar mata yang juga berwarna kuning. Namun, suara kicauan blackbird memang lebih dahsyat.
Suara kicauan burung anis gading lebih mirip dengan anis gunung lainnya. Kemungkinan hal ini dipengaruhi perbedaan habitat, di mana anis gunung hanya mendiami kawasan pegunungan atau dataran tinggi saja. Adapun blackbird memiliki habitat di dataran rendah di pinggiran hutan yang dekat dengan permukiman penduduk.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini perbandingan suara kicauan anis gunung dan blackbird:
- Suara kicauan burung anis gunung | DOWNLOAD
- Suara kicauan burung blackbird | DOWNLOAD
Itulah sekilas cerita tentang burung anis gading dan mitos yang berkembang di Gunung Lawu. Artikel ini sepele, tetapi semoga bisa membangun kesadaran kita, bahwa burung-burung di alam liar pun bisa beradaptasi dengan manusia, ketika manusia tak pernah mengganggunya dan memberi perlakuan baik kepadanya.
—