Kalau melihat penampilan fisik burung bubut jawa / javan coucal (Centropus nigrorufus), mungkin Anda mengira spesies ini termasuk burung predator seperti elang. Meski matanya merah, dengan postur tubuh besar, dan bentuk paruh yang sangar, bubut jawa bukanlah jenis burung raptor atau birds of prey. Burung ini merupakan pemakan serangga dan termasuk dalam keluarga Cuculidae. Seperti apa kondisi burung bubut jawa saat ini?
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Burung bubut jawa merupakan burung endemik di Pulau Jawa. Postur tubuhnya besar, dengan panjang sekitar 46 cm. Warna tubuhnya hitam mengkilat, mulai dari kepala, punggung, paruh, kaki, dan ekornya. Hanya sayapnya yang berwarna merah-karat, dan iris mata merah menyala.
Bubut jawa betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada burung jantan. Namun membedakan jenis kelamin burung ini tetap sulit, kalau tidak ada pembanding berupa dua burung berbeda jenis. Sebab penampilan fisik burung jantan dan betina relatif sama.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Meski penampilannya sangar seperti burung predator, dengan paruh yang keras dan besar, bubut jawa merupakan burung pemakan serangga. Serangga yang disukai antara lain belalang, kupu-kupu besar, ulat bulu, jangkrik, kumbang, dan capung.
Selain serangga, mereka juga menyukai siput, lipan, anakan burung, katak , ular kecil, hingga hewan pengerat seperti tikus kecil. Di alam liar, bubut jawa tidak hidup berdampingan dengan spesies burung bubut lainnya, karena perbedaan habitat.
Perkembangbiakan burung bubut jawa
Berdasarkan hasil penelitian tahun 1997, musim berkembang biak burung bubut jawa terjadi pada bulan Januari hingga Maret. Mereka akan bersarang dalam sarang yang dibangun menggunakan daun-daun dari tanaman pakis (Acrostichium) yang terdapat di pinggir sungai atau rawa.
Sarang biasanya diletakkan sekitar 3 – 6 meter di atas permukaan air pada hutan bakau. Ada perbedaan data mengenai jumlah telur yang dihasilkan burung bubut jawa betina.
Menurut Bartels & Hellebrekers, induk betina hanya menghasilkan 1-3 butir telur dalam setiap periode peneluran (clutch). Namun, menurut Birdlife Internasional, jumlah telur burung ini bisa mencapai 3-5 butir per clutch.
Jika pendapat Bartels & Hellebrekers benar, maka inilah salah satu alasan mengapa Badan Konservasi Dunia (IUCN) kini memasukkan bubut jawa ke dalam daftar burung yang terancam punah, dengan status Rentan (Vulnerable).
Harus diakui, sebagian besar burung endemik di Pulau Jawa menghadapi problem kehidupan yang sangat krusial. Laju pembangunan yang pesat di Jawa, melebihi kawasan lain, membuat jutaan hektare kawasan hutan yang menjadi habitatnya lenyap akibat alihfungsi lahan dan kerusakan yang tak terselesaikan.
Akibatnya, burung endemik yang umumnya penetap ini kehilangan sumber pakan alaminya, dan sebagian besar mati. Ketika laju pertumbuhan populasi bubut jawa sangat rendah, hanya bertelur 1-3 butir (versi Bartels & Hellebrekers), tentu makin menurunkan angka populasinya di alam liar.
Celakanya, kasus perburuan liar juga menjadi salah satu penyebab menipisnya populasi bubut jawa. Lebih celaka lagi, perburuan liar ini bukan untuk memenuhi pasar burung. Tak banyak kicaumania yang memiliki bubut jawa di rumah. Lalu, untuk apa burung ini diburu dan ditangkap?
Rupanya, burung bubut jawa (juga jenis bubut lainnya) ditangkap bukan untuk dipelihara, melainkan untuk diambil minyaknya. Konon, minyak bubut ini dipercaya memiliki khasiat obat, khususnya membantu dalam penyembuhan patah tulang.
Yang membuat kita makin miris, proses pembuatan minyak bubut membutuhkan daun-daun herbal yang di alam liar justru digunakan burung bubut jawa dalam membangun sarangnya. Jadi, para pemikat burung tak hanya mengambil burungnya saja, tetapi juga sarangnya.
Berbagai kondisi yang tak kondusif inilah yang membuat keberadaan burung bubut jawa makin langka di habitatnya, baik di hutan-hutan mangrove (bakau) dan vegetasi rawa di pesisir utara dan selatan Jawa.
Saat ini, burung bubut jawa hanya bisa ditemukan dalam jumlah terbatas di Ujung Kulon, Indramayu, Karawang, Segara Anakan (Cilacap), Muara Brantas, Lumajang, dan Semarang.
—
Bahkan burung ini makin sulit dijumpai di Jakarta. Seiring menipisnya kawasan terbuka hijau di Ibu Kota, makin menipis pula populasi burung bubut jawa (juga elang bondol). Bubut jawa hanya tersisa di Kawasan Konservasi Muara Angke, itu pun terus menyusut akibat perburuan liar dan lambatnya regenerasi hutan bakau, polusi perairan, dan tekanan pembangunan di sekitar kawasan konservasi.
Di beberapa pasar burung di Jawa, terkadang kita masih bisa menemukan burung bubut, tetapi dari jenis lain yaitu bubut alang-alang (Centropus bengalensis) dan bubut besar (Centropus sinensis).
Burung bubut besar dan bubut alang-alang memiliki populasi yang lebih aman, karena wilayah persebaran tidak terbatas di Jawa saja, melainkan juga di Sumatera (termasuk Nias dan Mentawai), Kalimantan, dan Bali.
Sebagian penggemar burung eksotik pasti tertarik memelihara burung bubut, karena menganggapnya jenis burung raptor. Sebagian kicaumania mungkin juga penasaran dengan suara kicauannya, sehingga mereka pun terpikat membeli saat melihatnya di pasar burung.
Namun, banyak di antara mereka yang kecewa. Sebab, setelah beberapa hari dipelihara, burung ini sama sekali tidak berkarakter seperti elang. Bahkan suaranya pun kurang enak didengar, sehingga dilepas ke alam liar.
Semoga setelah membaca artikel ini, tak ada lagi kicaumania dan penggemar burung eksotik yang mau membeli burung bubut, baik bubut jawa, bubut besar, maupun bubut alang-alang. Biarkan mereka di alam bebas, karena percuma saja dipelihara.
Mendingan kita memilih burung yang sudah jelas suara kicauannya, dan popular di kalangan kicaumania, syukur-syukur membelinya dari tempat penangkaran di daerah masing-masing.
Bagi yang penasaran terhadap suara burung bubut, silakan dengar audionya berikut ini:
Suara burung bubut jawa
Suara burung bubut besar
Semoga bermanfaat.