Belum lama ini, Tim Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) melakukan ekspedisi ke Maluku Utara, untuk mengeksplorasi keanekaragaman hayati di provinsi itu. Lepi Asmala Dewi, mahasiswi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, bergabung dalam Tim Ekspedisi SURILI 2014, dan menuliskan beberapa pengalamannya untuk pembaca omkicau.com.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Maluku Utara, di sanalah cerita ini kami mulai. Perjalanan panjang menahan terik matahari pulau timur yang bersinar tanpa kedipan. Kelelahan dan kelaparan (karena ekspedisi dilakukan Ramadhan lalu) tidak sedikit pun menurunkan semangat kami.
Bersama Tim SURILI 2014, kami mulai mengeksplorasi keanekaragaman hayati di sana. Khusus mengenai burung, kami menargetkan burung-burung cantik dengan tarian yang eksotik, termasuk burung bidadari halmahera / standarwing bird-of-paradise (Semioptera wallacii).
Burung bidadari halmahera merupakan burung endemik Maluku, dengan nama daerah / lokal weak-weka. Burung ini merupakan satu-satunya jenis cendrawasih yang tersebar paling barat. Burung jantan memiliki mahkota warna ungu dan ungu-pucat mengkilat, dengan pelindung dada berwarna hijau zamrud.
Ciri yang paling mencolok adalah keberadaan dua pasang bulu putih yang panjang, yang keluar menekuk dari sayapnya. Bulu-bulu itu dapat ditegakkan atau diturunkan sesuai dengan gerakan burung.
Burung betina memang tak seindah burung jantan. Warna bulu burung betina cokelat zaitun, berukuran lebih kecil, serta mempunyai ekor yang lebih panjang daripada burung jantan.
Pada musim kawin, burung jantan akan berusaha menarik perhatian burung betina dengan melakukan tari-tarian dan mengeluarkan suaranya yang melengking keras.
Beberapa burung jantan akan berkumpul dan menampilkan tarian udara yang indah, meluncur, lantas melompat menggunakan kedua sayapnya, serta mengembangkan bulu pelindung dada yang berwarna hijau mencolok.
Adapun bulu putih panjang di punggungnya terlihat berkibar-kibar. Burung betina hanya tinggal melihat dan memilih mana burung jantan yang memiliki tarian paling menarik.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Begitu tiba di Sofifi, ibu kota Provinsi Maluku Utara, tujuan pertama kami adalah mengunjungi Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL). Meski menyandang status ibu kota provinsi, Sofifi hanyalah kota kecil yang sama sekali berbeda dari ibu kota provinsi pada umumnya.
Jalanan tampak lengang dari kendaraan. Hanya ada bentor (becak motor), mobil pribadi, mobil berpelat kuning, dan truk full music yang cukup mengganggu telinga.
Ketika jalan di jalan-jalan kota, kita bebas bermain tanpa takut tertabrak. Pemandangan sangat berbeda jika dibandingkan dengan Bogor, apalagi Jakarta, yang penuh sesak kendaraan.
Dari Sofifi, kami berangkat menuju Halmahera Timur, tepatnya di Desa Binagara di Blok Akejawi TNAL. Butuh waktu 3 jam dari Sofifi menuju kawasan tersebut dengan kendaraan roda empat.
Sepanjang perjalanan menuju Halmahera Timur, kami disuguhi pemandangan Pantai Maluku dan hamparan pulau-pulau kecil yang menyejukkan mata.
Tanggal 7 – 14 Juli 2014, perjalanan mencari burung-burung eksotik pun dimulai. Pencarian lokasi burung bidadari halmahera dimulai dari desa terakhir di Blok Akejawi, yaitu Desa Binagara.
Kami cukup terkejut, ternyata Binagara sama sekali bukan desa masyarakat asli Maluku atau masyarakat timur lainnya, melainkan masyarakat yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka menanam aneka buah seperti jeruk, melon, semangka, dan sayur-sayuran. Kami pun bebas menikmati buah segar untuk menenangkan dahaga saat waktu berbuka tiba.
Berjalan kaki sekitar 2,5 jam dari Desa Binagara dengan membawa carier dan peralatan pengamatan yang cukup, serta dalam kondisi puasa, cukup membuat kami kelelahan. Sebagian dari kami akhirnya berbuka di jalan sebelum waktunya.
Polisi Hutan (Polhit) dan masyarakat yang memandu kami pun ternyata tidak puasa. Tetapi alhamdullah, masih banyak teman yang bisa bertahan puasa termasuk saya. Setelah cukup lama, sampailah kami di tempat perkemahan, di tengah hutan tanpa sinyal handphone. Welcome to the jungle!
Vegetasi di kawasan hutan ini tak terlalu rapat. Hanya semak dan pancang yang mendominasi. Diameter pohon cukup kecil dibandingkan dengan hutan alam di Jawa.
Dari perbincangan dengan Polhut di sana, ada beberapa alasan kenapa pohon di sana berdiameter kecil. Pertama, kawasan hutan di Blok Akejawi didominasi kawasan karst sehingga banyak gua yang ditemukan di sana.
Di duga akar-akar pohon kurang dapat menyerap unsur hara dari dalam tanah. Hal ini dibuktikan dengan penampakan akar-akar pohon yang menjalar keluar tanah, sehingga pertumbuhan pohon pun sedikit terganggu.
Hari-hari pengamatan
Dari perkemahan, kami butuh waktu 30 menit sampai 1 jam menuju lokasi display. Cuaca saat itu cukup berawan, sehingga kami menunggu cuaca agak terang dulu. Sebelum berangkat, kami mengolesi tubuh dengan minyak antiserangga, karena serangan nyamuk malaria cukup menghantui fikiran kami.
Maklum saja, Maluku bukan hanya endemik burung langka, namun juga endemik nyamuk malaria. Ini sekadar berjaga-jaga, supaya jangan sampai kami menderita malaria sehingga gagal mengamati burung bidadari halmahera.
Hari pertama perjalanan dilalui dengan penuh semangat, sambil berharap bisa menemukan burung nan indah bernama bidadari halmahera. Sesekali kami mendengar suara burung nuri bayan yang melengking keras.
Suara burung otoko maluku yang misterius pun makin melengkapi perjalanan kami. Jenis burung hantu ini memiliki suara khas yang cukup menyeramkan. Makin jauh ke dalam, kami pun mulai bisa mendengar suara burung bidadari halmahera. Suaranya khas, seperti cekikan anak ayam yang membuat kami makin bersemangat.
Menurut polhut yang mendampingi kami, bidadari halmahera biasanya mulai display sekitar pukul 06.00 hingga 09.00, dilanjutkan pukul 17.00 hingga 18.00. Burung-burung bisa dijumpai di tempat yang sama, berkumpul dan menari, sehingga tempat tersebut menjadi tempat display bidadari.
Sayangnya, kami kurang beruntung di hari pertama pengamatan. Entah kenapa kami tak bisa menjumpai burung tersebut. Hanya suaranya yang bisa terdengar. Ketika kami makin mendekati sumber suara, eh.. ternyata suaranya malah makin menjauh.
Hari kedua dan hari-hari selanjutnya kami lebih beruntung. Kami mulai mengerti di mana dan kapan bisa menemukan tempat display yang tepat. Cukup sulit memang mengamati burung ini. Mereka seringkali meloncat dan menari pada kanopi-kanopi pohon, sehingga kami harus melihat ke atas kanopi dan hal ini cukup melelahkan otot leher.
Selain itu, gerakan burung yang lincah melompat ke sana-ke mari membuat kami sulit mendokumentasi keindahan tariannya. Sebenarnya, apabila ingin mendapatkan gambar yang bagus dan bisa mengamati burung ini dengan baik, pengamat (bird watcher) harus naik ke atas pohon sehingga posisi pengamatan dalam keadaan sejajar.
Namun karena keterbatasan alat keamanan, kami memutuskan mengamati dari bawah saja. Tantangan lain yang harus dihadapi adalah kondisi lantai hutan yang berupa batu kasar, sebagaimana ciri kawasan kars dan tanah yang licin. Selain itu, jurang-jurang cukup tajam membuat kami harus ekstra berhati-hati.
Keindahan tarian dan morfologi burung yang selama ini hanya bisa di lihat di internet akhirnya bisa kami saksikan secara langsung. Bak penari, burung jantan ini pandai melenggak-lenggok, memamerkan keindahan surai putih panjangnya untuk menarik perhatian betina.
Rasa lelah pun hilang sudah setelah kami bisa melihat langsung keindahan burung bidadari halmahera. Ya, Indonesia memang surganya burung-burung eksotik. Para pencinta burung pun harus menyaksikan keindahan burung ini.
Tambahan Om Kicau
Sekadar tambahan, berikut ini video burung bidadari halmahera yang direkam The Cornell Lab of Ornithologi, dan sudah diunggah pula ke youtube: