Wah.., syukurlah masih ada kicaumania yang memiliki bahkan menangkar murai batu asal Jawa, atau biasa disebut larwo. Om Alamzyah Lazuardi atau kerap disapa Om Kimseng bahkan sukses mengawinkan murai batu jawa dan murai batu sumatera. Anakannya disebut jatra, akronim dari Jawa dan Sumatera.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Kehadiran murai batu jatra makin melengkapi varietas murai batu di Indonesia. Sebelumnya, kita mengenal murai batu bordan, hasil perkawinan antara murai batu borneo dan murai batu asal Medan.
Catatan Om Kicau:
- Perlu difahami, perkawinan murai batu asal Jawa dan Sumatera tetap disebut perkawinan, bukan persilangan. Sebab persilangan merupakan istilah untuk perkawinan antara dua individu yang berbeda spesies.
- Murai batu Jawa dan Sumatera berasal dari spesies yang sama: Copsychus malabaricus. Bahkan dari ras / subspesies yang sama pula, yaitu Copsychus malabaricus tricolor.
- Bordan juga bukanlah hasil persilangan, karena murai batu borneo dan murai batu medan hanya berbeda ras, tetapi spesiesnya sama: Copsychus malabaricus.
Dalam beberapa literatur, murai batu jawa / larwo dikelompokkan dalam subspesies Copsychus malabaricus javanus. Namun, sampai sejauh ini hal itu belum disepakati para ornitholog dunia, karena ras ini dianggap anonim dari Copsychus malabaricus tricolor.
Saat ini Om Alamsyah sudah membangun 14 petak kandang indukan, delapan di antaranya sudah berproduksi. Sehari-hari, dia dibantu Om Hadi yang merawat burung indukan dan anakan murai batu dengan penuh ketelatenan dan kesabaran.
Dalam hal ini, Om Alamsyah mengawinkan larwo jantan dan murai batu medan betina. Breeding murai batu ini sudah dilakukannya sejak tiga tahun lalu, meski bermula dari ketidaksengajaan.
“Saya membeli seekor larwo jantan dari teman. Saya kira murai batu biasa, tetapi ternyata beda. Waktu itu saya masih pemula, masih awam soal jenis murai batu. Teman-teman senior kemudian bilang kalau itu murai batu jawa atau larwo,” kata Om Alamsyah.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Iseng-iseng, dia mencobanya ke arena lomba, ternyata kerjanya enak, bahkan sering masuk juara meski hanya tiga besar. Selanjutnya, iseng-iseng pula, dia menjodohkannya dengan murai medan betina yang sudah berpengalaman.
“Ternyata mau jodoh, bahkan cepat jodoh. Mungkin karena betinanya sudah berpengalaman, dan mau kawin,” kata Om Alamsyah.
Pasangan tersebut kini sudah menghasilkan anakan. Saat anakan berumur 1 bulan, tampilannya memang berbeda dari anakan murai batu biasa. Trotolan murai jatra lebih gelap dan hitam pada bagian muka dan lehernya.
“Selain itu, burung lebih agresif daripada anakan murai batu pada umumnya. Saat diberi pakan, anakan jatra lebih aktif mengkonsumsinya,” jelasnya.
Untuk sementara, Om Alamsyah belum mengkomersialkan murai batu jatra. Jadi, yang dijual trotolan tetap murai batu medan, atau perkawinan antara pejantan dan betina murai batu medan.
Adapun anakan jatra baru dalam tahap pemantauan, terutama ketika dewasa nanti, apakah kerap moncer di lapangan atau tidak. Selain itu, dia mengawinkan larwo jantan dan larwo betina, untuk membantu menyelamatkannya dari ancaman kepunahan.
Murai batu asli Jawa ini memang akin langka di alam liar. Sepintas memang tidak ada perbedaan mencolok antara larwo dan murai batu asal Sumatera. Tetapi jika dicermati, perbedaan terlihat jelas pada postur tubuhnya yang lebih kecil daripada murai sumatera.
Selain itu, larwo memiliki batas garis dada berwarna hitam yang berakhir jingga di bagian perut. Pada murai batu asal Sumatera dan Kalimantan, batas garis hitamn hanya sampai di bagian dada saja.
“Perbedaan lainnya adalah ketika larwo sedang berkicau. Ternyata bulu-bulu bagian kepalanya akan berdiri alias ngejambul,” tutur Om Alamsyah.
Extra fooding berupa ikan cere
Untuk meningkatkan produktivitas indukan, Om Alamasyah memberikan puluhan ekor jangkrik, sedikit kroto segar, serta cacing untuk pasangan induk yang siap kawin.
Untuk pasangan induk yang anaknya habis dipanen, dia memberikan pula extra fooding berupa ikan cere yang banyak hidup di saluran air. ”Induk pun cepat kawin dan produksi lagi,” ujarnya.
Anakan dipanen pada umur 5-6 hari. Pemanenan dilakukan setelah mengamati induknya. Kalau induk betina sudah tidak di sarang, misalnya berada di tangkringan, berarti anakan bisa dipanen. “Panen kita lakukan malam hari, agar induknya tidak kaget,” beber Om Alamsyah.
Anakan umur 1 bulan, sudah bisa makan sendiri, dibanderol seharga Rp 3 juta per ekor. Peminat harus sabar menunggu / indent, karena yang memesan memang membeludak. (d’one)