Keterbatasan lahan dan pengetahuan tidak menjadi ukuran keberhasilan seseorang dalam beternak murai batu. Setidaknya hal itulah yang dialami Muhamad Sohibi (Raja Kudus Bird Farm), penangkar murai batu medan yang setiap bulannya bisa menghasilkan 20 – 30 ekor anakan.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Om Sohibi merupakan sarjana lulusan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, dan saat ini menjadi karyawan PT Hartono Istana Teknologi (HIT) / Polytron, Kudus, yang memproduksi barang-barang elektronik.
Di sela-sela kesibukannya sebagai karyawan, dia juga menekuni hobi beternak murai batu, yang sekaligus dapat dijadikan penghasilan tambahan cukup menjanjikan.
Sedikitnya ada dua inovasi yang telah dilakukannya dalam beternak murai batu, kendati semua itu awalnya tanpa pengetahuan memadai. Ini bisa menjadi inspirasi bagi pembaca omkicau.com yang ingin mengikuti jejaknya.
Inovasi pertama adalah bagaimana beternak murai batu di atas lahan terbatas, menggunakan material sederhana, namun pasangan induk murai batu tetap produktif. Kedua, bagaimana dia menerapkan sistem poligami asli dalam mengembangbiakkan murai batu. Keduanya akan dikupas secara detail, disertai foto-foto pendukungnya.
Om Sohibin memulai beternak murai batu pada lahan terbatas sejak 2009, dengan memanfaatkan lantai dua kediamannya di Perumahan Muria Indah Kudus, Jawa Tengah.
“Awalnya saya sempat beternak cucakrawa. Namun karena merasa tidak berhasil, saya banting setir ke murai batu dan berjalan lancar sampai sekarang,” kata Om Sohibi.
Karena waktu itu masih pemula, dia tidak tahu bagaimana kriteria indukan murai batu yang bagus, atau jenis murai batu yang paling banyak dicari kicaumania. Saat membeli induk, dia pun mengajak sang ibu untuk memilihkannya.
“Sejak kecil hingga SMA, saya hanya tukang bersih-bersih kotoran burung piaraan Bapak. Jumlahnya memang luar biasa banyak. Meski dulu setiap hari bergelut dengan burung, saya tak pernah memperhatikan burung, jadi hanya sekadar bersih-bersih kotoran saja,” tuturnya.
Justru ibunya lebih tahu soal burung daripada Om Sohibi. Ibu juga yang menyarankan dia agar ternak cucakrawa, sampai akhirnya beralih ke murai batu.
Beternak murai batu di kandang sempit
Awalnya Om Sohibi hanya mempunyai empat pasangan induk murai batu. Dia kemudian membangun dua kandang bertingkat.
Setiap kandang terdiri atas dua petak (plong), masing-masing berukuran 100 x 60 cm2 dan tinggi 60 cm. Minimalis banget! “Ya, semua ini karena keterbatasan lahan,” ujarnya.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Dari situlah Om Sohibi mulai memperhatikan tingkah dan karakter burung murai batu, sesuatu yang memang baru baginya saat itu. Karena minim pengalaman tentang burung, apalagi murai batu yang dikenal fighter dan agresif, terjadilah saling serang antara induk jantan dan betina.
Dua pasangan induk akhirnya mati, sehingga tersisa dua pasangan dan justru bisa hidup rukun, serta berproduksi. Om Sohibi lantas berburu lagi dua pasangan murai batu, yang berhasil diperolehnya dari Semarang dan Malang.
Om Sohibi punya alasan tersendiri menggunakan kandang sempit. Pertama, karena dia memang tak punya lahan luas untuk beternak murai. Kedua, dia yakin setiap makhluk hidup pada dasarnya mampu beradaptasi terhadap lingkungannya. Selama kondisi lingkungan mendukung, murai batu tetap akan beradaptasi sampai kemudiian berkembangbiak.
Pengalaman Om Sohibi yang awalnya minim pun secara bertahap mengalami peningkatan, ketika dia terus berinteraksi dengan murai batu. “Inti dari cara berternak yang saya jalankan hanya satu, yakni berinteraksi secara intensif dengan burung, hingga kita tahu apa maunya burung,” jelasnya.
Benar saja! Dua tahun kemudian, Om Sohibi sudah menuai kesuksesan. Populasi murai batu di kandangnya terus bertambah. Awal tahun 2011, dia sudah mempunyai enam unit kandang bertingkat.
Apabila dulunya satu unit kandang terdiri atas dua petak / plong kandang, kini satu unit kandang bertingkat tiga. Ukurannya masih sama seperti sebelumnya (100 x 60 cm2, tinggi 60 cm). Itu berarti terdapat 18 plong kandang.
Selain aktif berinteraksi dengan burung, kunci keberhasilan lainnya dalam breeding murai batu pada kandang sempit adalah menguasai detailnya. Misalnya soal karakter setiap individu burung, jenis dan porsi pakan yang harus diberikan kepada burung.
“Berapa jumlah jangkrik yang harus diberikan, itu saya hitung secara pasti. Jumlah jangkrik yang saya berikan kepada induk saat menyusun sarang hingga saat meloloh anakan itu juga berbeda. Termasuk kombinasi pakan lain seperti kroto, ulat kandang, cacing, dan voer. Khusus kroto, saya hanya berikan saat induk mulai meloloh anaknya,” ujarnya.
Satu pejantan dicampur empat betina
Meski anakan murai batu hasil ternaknya laris manis dibeli para pelanggannya, jumlah indukan murai batu di Raja Kudus BF terus berkembang. Bahkan Om Sohibi kini bereksperimen dengan menerapkan sistem poligami asli atau poligami dalam arti sesungguhnya, di mana seekor murai jantan dicampur bersama dua, tiga, dan empat ekor betina sekaligus.
Sistem poligami seperti ini berbeda dari sistem poligami model kawin cabut yang dilakukan sebagian breeder murai batu. Pada model kawin cabut, murai batu jantan akan dipisahkan ketika induk betina mulai bertelur atau saat mengerami telurnya.
( lihat juga Poligami model kawin cabut yang diterapkan AG BF Bekasi )
Tentu tidak mungkin mencampur beberapa ekor murai batu dalam satu kandang koloni, karena murai merupakan burung tipe fighter. Pasti akan terjadi perkelahian, termasuk antarmurai betina.
Untuk menyiasatinya, dia menyatukan murai-murai ini sejak masih trotol, sehingga sejak kecil sudah akrab. Ukuran kandang koloni dibuat lebih panjang, yaitu 120 cm. Adapun lebar dan tingginya masih sama: 60 dan 60 cm.
Selain itu, agar semua burung bisa dijemur pada pagi hari, Om Sohibi memasang roda di bagian kaki-kaki kandang. Jika mau dijemur, kandang tinggal didorong menuju balkon. Karena ruangannya tidak luas, maka penjemuran dilakukan secara bergantian.
Apabila jumlah kandang pada awal tahun 2011 baru 18 plong, saat ini sudah bertambah lagi menjadi 30 plong; sebagian merupakan kandang koloni. Dengan jumlah kandang sebanyak itu, Om Sohibi kini bisa menghasilkan 20-30 ekor anakan per bulan, di mana 50% berkelamin jantan.
Karena keterbatasan waktunya sebagai karyawan, Om Sohibi membiarkan anakan dalam perawatan induknya. Dia baru memanennya pada umur 40 hari, ketika anakan sudah bisa makan sendiri.
Trotolan murai batu medan (jantan, umur 1,5 bulan) ini biasa dijualnya dengan harga mulai dari Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per ekor. Secara berseloroh, Om Sohibi mengatakan, pendapatan dari beternak murai jauh lebih besar daripada gajinya di sebuah departemen riset dan pengembangan tempatnya bekerja.
“Ya, bagaimana pun ini hanya hobi. Beternak murai batu tetap saya jadikan hobi dan sambilan saja,” tandas Om Sohibi. (Iyang Kudus)