Burung garuda yang selama ini terkenal sebagai burung lambang negara Indonesia sebenarnya merujuk pada salah satu dari 16 spesies burung elang. Yakni Elang Jawa atau javan hawk-eagle (Nisaetus bartelsi alias Spizaetus bartelsi). Burung garuda merupakan burung endemik di Pulau Jawa. Elang jawa termasuk burung paling dilindungi setelah populasinya di alam liar mengalami penurunan tajam.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Pada tahun 2010, jumlah burung garuda asli yang masih hidup tercatat hanya 325 pasang, yang tersebar di Gunung Halimun Salak, Gunung Gede Pangrango, Gunung Ciremai, dan beberapa gunung berapi di Jawa. Di Gunung Ceremai, misalnya, para ahli memperkirakan jumlahnya hanya tersisa lima pasang.
Gambar Burung Garuda
Burung elang jawa ini sejak 1992 ditetapkan sebagai maskot satwa langka Indonesia.
Ciri-ciri fisik burung garuda
- Burung elang jawa ini punya ciri antara kepala berwarna cokelat kemerahan, dengan jambul hitam berujung putih, yang terdiri atas 2 – 4 helai bulu yang menonjol.
- Tengkuk berwarna cokelat kekuningan, yang terkadang terlihat berkilau keemasan jika terkena cahaya. Sayapnya agak membulat dengan ujung sedikit menekuk ketika sedang terbang.
- Kepalanya berukuran sedang dan proporsional, bentuk ekornya sedikit lebih panjang dari elang brontok.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Burung lambang Pancasila yang cukup pendiam dan anggun ini akan terlihat gagah ketika sedang terbang atau gliding di atas tajuk pohon untuk berburu hewan yang menjadi mangsanya seperti tikus, kadal, tupai, bajing, ayam hutan, dan hewan-hewan kecil lainnya.
Populasi burung elang jawa makin berkurang karena maraknya perburuan liar di masa lalu untuk memuaskan kalangan kolektor hewan langka. Harga burung garuda yang cukup tinggi menjadi daya tarik para pemikat untuk terus memburunya.
Untuk menjaga kelestariannya Konvensi Perdagangan Internasional untuk Flora dan Fauna Terancam Punah (CITES) memasukkan elang jawa dalam Apendiks 1. Apa artinya? Harus ada peraturan ekstra ketat terkait perdagangan satwa ini.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional, Pemerintah RI mengukuhkan elang jawa sebagai wakil satwa langka dirgantara. Adapun untuk melindungi populasi satwa langka ini, Pemerintah telah memasukkan elang jawa dalam daftar burung yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Mengapa dipilih sebagai Lambang Negara
Konon itu karena Garuda melambangkan kebesaran dan kekuatan karena Garuda adalah burung gagah dalam legenda yang merupakan kendaraan Dewa Wishnu.
Pada waktu itu Indonesia sedang mencari jati diri dibawah pimpinan Soekarno. Soekarno melihat bahwa kebudayaan indonesia yang asli adalah indonesia dimasa kerajaan2 hindu dan budha terutama pada puncaknya adalah Majapahit. Untuk lambang negara, Soekarno mengadakan sebuah sayembara. Dan akhirnya dia tertarik pada rancangan Sultan Hamid II yang berupa burung garuda pada waktu itu bentuknya belum seperti saat ini. Ketertarikan Soekarno ini karena rancangan Sultan Hamid II yang dia pikir sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak di tanggal 15 Februari 1950. Penyempurnaan lambang negara itu terus dilakukan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang nggak berambut menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari sebelumnya menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan dirubah yang merupakan masukan Presiden Soekarno.
Tanggal 20 Maret 1950, bentuk final gambar lambang negara yang udah diperbaiki mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis lagi rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.
Penampilan burung garuda saat terbang
Suara elang jawa
Harga burung garuda
Selama puluhan tahun, satwa langka ini terus diburu manusia-manusia haus uang yang tak peduli kelestarian satwa langka. Para pemburu umumnya orang-orang khusus yang dipesan juragannya. Jika elang jawa sudah didapatkan, si juragan akan menjualnya ke kolektor satwa langka dengan harga mahal.
Konon, ada seorang kolektor asing yang pernah menawar harga burung garuda senilai Rp 25 miliar. Sebuah angka yang fantastis, memang, tapi tak sebanding dengan kerugian besar yang dialami bangsa ini ketika kelak elang jawa benar-benar musnah dari muka bumi.
Karena itulah, manajemen Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pernah menutup area masuk kawasan yang di dalamnya dihuni burung elang jawa ini. Pihak TNGGP juga melarang pengunjung masuk ke dalam habitat elang jawa.
“Untuk masuk ke kawasan TNGPP, sedikitnya ada duapuluh dua jalur pendakian. Kita hanya memberikan toleransi untuk tiga jalur saja yang bisa dimasuki pendaki. Ketiga jalur resmi yang bisa dilalui pengunjung adalah melalui Cibodas (Kabupaten Cianjur), Salabintana (Kabupaten Sukabumi), dan Gunung Putri (Kabupaten Bogor),” kata Agus Wahyudi.
Karena memiliki 2 – 4 jambul yang menonjol, dengan panjang mencapai 12 cm, warga di kawasan Gunung Gede Pangrango sering menyebutnya sebagai elang kuncung. Gayanya saat terbang mirip dengan kerabat dekatnya, elang brontok (Spizaetus cirrhatus).
Upaya pelepasliaran burung garuda
Meski ada sejumlah orang yang memburunya, tidak sedikit orang yang menyadari semakin kecilnya populasi burung garuda. Suatu ketika pernah dilakukan pelepasliaran burung ini di Dusun Turgo, Kelurahan Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Selasa (26/2/2013).
Di sini muncul sebuah cerita yang patut diteladani oleh siapapun, khususnya kicaumania yang mestinya tahu tentang burung-burung yang boleh dipelihara, dan mana burung yang dilindungi.
Dua tahun sebelumnya, Khusnul Irawan (22), mahasiswa Ilmu Komputer yang tinggal di Bintaran Wetan, Piyungan, Bantul, berselancar di sebuah situs jual beli yang menawarkan elang jawa. Menyadari elang jawa merupakan burung yang dilindungi, Irawan kemudian membelinya, hanya seharga Rp 1,5 juta !!!
Sang penjual nampaknya sadar telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Dia sangat hati-hati saat mengirimkan prosedur pembayarannya kepada Irawan. Akibatnya, Irawan tidak bisa mengetahui siapa nama penjualnya dan darimana sindikat ini beroperasi.
Beberapa hari setelah pembayaran melalui transfer bank, elang jawa yang waktu itu berumur dua tahun dikirim melalui jasa pengiriman bus antarkota.”Niat saya membeli memang untuk diserahkan. Setelah dikirimkan ke rumah, saya langsung menghubungi Taman Safari Jawa Timur,” tutur Irawan.
Sayang, tidak ada respon dari Taman Safari. Dia lalu mengirimkan email ke lembaga yang sama, tetapi juga tidak ada respon. Akhirnya dia berkonsultasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DIY, dan disuruh mengantarnya ke sana.
Irawan yang sadar kalau burung ini terancam punah, dan merupakan burung yang dilindungi, langsung memenuhi permintaan itu. Tepat dua hari setelah burung ada di rumahnya. Tak lama kemudian, burung diserahkan ke Yayasan Konservasi Alam atau Wildlife Rescue Centre (WRC) Jogja.
Lembaga inilah yang kemudian melakukan rehabilitasi dan aklimatisasi di sebuah kandang di Dusun Turgo. Hal ini penting untuk melatih insting liar burung tersebut, agar kelak bisa dilepaskan ke alam bebas.
Dua tahun lamanya masa rehabilitasi dan aklimatisasi tersebut, sampai burung tersebut dilepasliarkan langsung oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X di Bukit Turgo, Kecamatan Pakem, Sleman, Selasa (26/2/2013).
“Saya senang dapat melepaskan burung elang ke alam bebas. Mudah-mudahan, warga yang lain segera menyusul, menyerahkan burung yang dilindungi kepada pemerintah untuk dilepaskan ke alam bebas,” jelas Irawan.
Sri Sultan menyambut positif upaya masyarakat dalam pelestarian elang jawa dan satwa liar lainnya. Bahkan, secara khusus dia juga mengatakan akan menyerahkan sejumlah burung yang selama ini dipeliharanya di Keraton Yogyakarta.
Meski memiliki izin pemeliharaan dari pemerintah, kata Sri Sultan, satwa liar tetap lebih baik dirawat oleh lembaga konservasi. Dia berharap langkah yang dilakukan Irawan dan Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta bisa dicontoh oleh masyarakat, bukan hanya di DIY tetapi juga di seluruh Indonesia.