Om Agung Trisnawanto hanyalah pemuda putus sekolah. Namun semangat dan etos kerjanya patut diacungi jempol. Berkat tangan dinginnya, Desa Wukirsari di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, kini memiliki Istana Penangkaran Burung (IPB).
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Tahun 1998, atau setelah putus sekolah di kelas dua SMP Muhammadiyah Imogiri, Om Agung jualan burung di Madiun. Dia berjualan keliling menggunakan pikulan, seperti yang dilakukan ayahnya. “Ya, saya membantu Bapak berjualan burung secara keliling,” ujarnya kepada omkicau.com.
Sebagian besar warga Pucung, Desa Wukirsari, bekerja sebagai penjual burung. Tidak sedikit remaja putus sekolah yang akhirnya membantu orangtuanya bekerja, termasuk Om Agung.
Namun Om Agung hanya dua bulan di Madiun. Setelah itu, dia bersama bapaknya berjualan burung di Gianyar, Bali. Awalnya tetap berjualan dengan pikulan, sampai akhirnya bisa mangkal di salah satu sudut kota pada tahun 2000. ”Saya ngontrak di situ sampai akhirnya bisa memiliki tiga kios burung,” ujar Om Agung yang kini sudah dikarunai seorang anak.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Kalau stok dagangan menipis, Om Agung biasanya kulakan ke berbagai pasar burung besar di Pulau Jawa, terutama Pasar Burung Pramuka (Jakarta) dan Pasar Burung Depok (Solo). Kebetulan banyak warga Desa Wukirsari yang menjadi pedagang di kedua pasar itu, bahkan di sejumlah pasar burung lainnya.
“Warga Desa Wukirsari umumnya hanya menjual burung. Belum ada yang berani menangkar. Karena itulah, saya kemudian belajar menangkar burung, terutama dari teman-teman di Malang dan Solo,” tutur Om Agung.
Ilmu breeding yang dipelajarinya sambil berjualan itu lantas dicobanya tahun 2006. Dia mendirikan Wukirsari Bird Farm (BF) di kampung halamannya, namun rutin kembali ke Gianyar untuk menunggui kios burung miliknya.
Dua tahun berselang, usaha penangkarannya menunjukkan hasil menggembirakan. Burung-burung hasil ternaknya ini kemudian dipasarkan melalui kios-kiosnya, sehingga tak perlu kulakan lagi.
”Akhirnya, tahun 2008, saya memutuskan pulang ke Wukirsari, fokus penangkaran saja. Kios burung di Bali diurus sama saudara-saudara,” ujarnya.
Menyadari usaha penangkaran burung bisa memberikan keuntungan lumayan, Om Agung berinisiatif menularkan ilmunya kepada warga sekitar di Wukirsari. Tujuannya agar warga sekitar dapat mandiri, Bukan sekadar berjualan, lalu pensiun di hari tua.
Satu persatu tetangga didekatinya. Tapi mereka menolak ajakan untuk menangkar burung. Alasan yang disampaikan biasanya takut rugi, khawatir modal tidak kembali, dan sejenisnya.
Beternak burung dengan sistem bagi hasil
Namun Om Agung tak patah semangat. Dia lalu menawarkan sistem bagi hasil. ”Saya kasih beberapa pasang indukan. Nanti anaknya dibagi rata sama saya. Kalau ada induk yang mati, saya juga tak akan minta ganti rugi,” ujarnya.
Tawaran itu akhirnya diterima beberapa warga Desa Wukirsari. Om Agung secara tekun memberikan pembekalan tentang teknik penangkaran. Lama kelamaan, makin banyak warga yang ingin beternak dengan sistem bagi hasil ini.
Kini, 10 tahun berselang, usaha penangkarannya sudah melibatkan sekitar 2.000 warga desa. Wow!!! Ini jumlah yang luar biasa. Perekonomian di Desa Wukirsari pun kian menggeliat. Perputaran uang dari ternak burung di Wukirsari bahkan mencapai Rp 20 miliar lebih per bulan.
”Dulu, 90 persen warga Desa Wukirsari hanya jualan burung. Kalau sudah tua ya pensiun. Uangnya habis, lalu minta sama anaknya. Nggak ada yang bisa dikelola,” tambah lelaki berumur 35 tahun itu.
Kini, ribuan warga Wukirsari hidup dari penangkaran burung. Sebagian besar mengikuti sistem bagi hasil dengan Om Agung, meski ada juga beberapa peternak yang mandiri.
Menurut Om Agung, beternak burung tidak memerlukan banyak waktu. Cukup rajin membersihkan kandang, serta memberi makan dan minum pada pagi hari, pemilik bisa menjalankan aktivitas atau pekerjaan lain. ”Santai, tinggal nunggu pembeli, lalu burungnya dipaketkan”.
Sebagian besar warga Desa Wukirsari memilih beternak perkutut, jalak suren, dan lovebird. Ada juga yang beternak burung cucakrowo. Tetapi karena tingkat kesulitannya sangat tinggi, jumlah peternak cucakrowo bisa dihitung dengan jari.
Mendirikan Paguyuban Wukirsari Bird Farm Indonesia
Bersama empat breeder lainnya, Om Agung menggandeng para peternak burung di desanya itu ke dalam Paguyuban Wukirsari Bird Farm Indonesia (WBFI) dan sudah berbadan hukum.
Melalui WBFI, Om Agung lantas memikirkan konsep kemandirian yang baru. Dia merintis pembuatan Taman Wisata Burung Wukirsari, atau kini lebih akrab disebut IPB (Istana Penangakaran Burung). Ini merupakan konsep cagar alam yang berisi burung-burung piaraan, dan memberikan edukasi kepada pengunjung terkait dengan jenis burung serta cara penangkarannya.
”Gagasan itu sudah lama muncul di benak saya. Bahkan pernah saya coba di tanah belakang rumah. Tapi karena biayanya terlalu besar, saya tak sanggup meneruskan seorang diri,” kata Om Agung yang juga dipercaya menjadi direktur BUMDes Wukirsari.
Istana Penangkaran Burung (IPB) berdiri pada tahun 2016
Karena itulah, Om Agung bersama Pagutuban WBFI mengajukan proposal pendirian Taman Wisata Burung Wukirsari kepada Pemerintah Kabupaten Bantul, dan terealisasi pada tahun 2016.
Kini Taman Wisata Burung Wukirsari, atau Istana Penangkaran Burung (IPB, berdiri di atas tanah kas desa seluas 1,8 hektare. Bukan hanya burung kicauan, burung-burung langka pun ikut dikonservasi di tempat tersebut, bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi DIY.
Sebagai ucapan terima kasih, manajemen Istana Penangkaran Burung menggratiskan tiket masuk bagi anak-anak pra-sekolah (Paud / TK) yang berkunjung untuk belajar mengenali perilaku berbagai jenis burung.
Dengan menangkar berbagai jenis burung, mulai dari jalak suren, cucakrowo, cucak hijau, lovebird, hingga perkutut, Om Agung bisa mendistribusikan ribuan burung dengan berbagai jenis ke berbagai kota di Indonesia. Perputaran uangnya pun lebih dari Rp 1 miliar per bulan. Salut!!! (neolithikum)