PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2000
TENTANG
KARANTINA HEWAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Menimbang :
1. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan yang melindungi dan melestarikan sumber daya alam hayati hewan, sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi serta perkembangan hukum nasional dan internasional;
2. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Karantina Hewan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KARANTINA HEWAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
1. Media pembawa hama penyakit hewan karantina yang selanjutnya disebut media pembawa adalah hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan atau benda lain yang dapat membawa hama penyakit hewan karantina.
2. Hewan adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar.
3. Bahan asal hewan adalah bahan yang berasal dari hewan yang dapat diolah lebih lanjut.
4. Hasil bahan asal hewan adalah bahan asal hewan yang telah diolah.
5. Benda lain adalah media pembawa yang bukan tergolong hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang mempunyai potensi penyebaran penyakit hama dan penyakit hewan karantina.
6. Area adalah daerah dalam suatu pulau, pulau, atau kelompok pulau di dalam negara Republik Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama penyakit hewan karantina.
7. Pemasukan adalah kegiatan memasukkan media pembawa dari luar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia atau ke suatu area dari area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
8. Transit adalah singgah sementara alat angkut di suatu pelabuhan dalam perjalanan yang membawa hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, dan benda lain sebelum sampai di pelabuhan yang dituju.
9. Pengeluaran adalah kegiatan mengeluarkan media pembawa ke luar dari wilayah Negara Republik Indonesia atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
10. Tempat pemasukan dan tempat pengeluaran adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain dan tempat-tempat lain yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan dan atau mengeluarkan media pembawa.
11. Tempat asal adalah tempat di mana hewan dibudidayakan, dipelihara, ditangkar atau habitatnya dan tempat-tempat pengumpulan, pengolahan atau pengawetan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan atau benda lain.
12. Dokumen karantina hewan yang selanjutnya disebut dokumen karantina adalah semua formulir resmi yang ditetapkan oleh Menteri dalam rangka tertib administrasi pelaksanaan tindakan karantina.
13. Dokumen lain adalah surat yang diterbitkan Menteri lain yang terkait atau oleh pejabat yang ditunjuk olehnya sebagai persyaratan utama dan atau pendukung untuk setiap pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa.
14. Hama dan penyakit hewan karantina yang selanjutnya disebut hama penyakit hewan karantina adalah semua hama, hama penyakit, dan penyakit hewan yang berdampak sosio-ekonomi nasional dan perdagangan internasional serta menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat veteriner yang dapat digolongkan menurut tingkat risikonya.
15. Hama penyakit hewan karantina golongan I adalah hama penyakit hewan karantina yang mempunyai sifat dan potensi penyebaran penyakit yang serius dan cepat, belum diketahui cara penanganannya, belum terdapat di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.
16. Hama penyakit hewan karantina golongan II adalah hama penyakit hewan karantina yang potensi penyebarannya berhubungan erat dengan lalu lintas media pembawa, sudah diketahui cara penanganannya dan telah dinyatakan ada di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.
17. Tindakan karantina hewan yang selanjutnya disebut tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk ke, tersebar di, dan atau keluar dari wilayah negara Republik Indonesia.
18. Instalasi karantina hewan yang selanjutnya disebut instalasi karantina adalah suatu bangunan berikut peralatan dan lahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina.
19. Alat angkut adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang langsung berhubungan dengan media pembawa.
20. Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus media pembawa baik yang bersentuhan langsung maupun tidak.
21. Sucihama adalah tindakan membersihkan dari hama atau hama penyakit seperti antara lain desinfeksi, desinsektisasi, dan fumigasi.
22. Pemilik media pembawa adalah orang atau badan hukum yang memiliki media pembawa dan atau yang bertanggung jawab atas pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa.
23. Penanggung jawab tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran adalah pimpinan instansi yang bertanggung jawab untuk mengelola tempat pemasukan, transit atau pengeluaran.
24. Penanggung jawab alat angkut adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas kedatangan, keberangkatan, atau transit alat angkut.
25. Petugas karantina hewan yang selanjutnya disebut petugas karantina adalah pegawai negeri tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan karantina.
26. Dokter hewan petugas karantina yang selanjutnya disebut dokter hewan karantina adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan tindakan karantina.
27. Paramedik karantina hewan yang selanjutnya disebut paramedik karantina adalah petugas teknis yang ditunjuk oleh Menteri untuk membantu pelaksanaan tindakan karantina.
28. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan karantina hewan.
BAB II
PERSYARATAN KARANTINA
Pasal 2
Media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia, wajib :
1. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di negara asal dan negara transit;
2. dilengkapi surat keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda lain;
3. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; dan
4. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 3
Media pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, wajib :
1. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh dokter hewan karantina dari tempat pengeluaran dan tempat transit;
2. dilengkapi surat keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda lain;
3. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan; dan
4. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 4
Media pembawa yang akan dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia, wajib :
1. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran;
2. dilengkapi surat keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda lain;
3. melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan; dan
4. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 5
(1) Sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Pasal 3 huruf a dan Pasal 4 huruf a, dapat berbentuk sertifikat kesehatan hewan yang diperuntukkan bagi jenis hewan atau sertifikat sanitasi yang diperuntukkan bagi jenis bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan.
(2) Sertifikat kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang- kurangnya memuat keterangan tentang :
a. asal negara, area, atau tempat yang dalam kurun waktu tertentu tidak berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui jenis hewan tersebut; dan
b. saat pemberangkatan tidak menunjukan gejala hama penyakit hewan menular, bebas ektoparasit, dalam keadaan sehat dan layak diberangkatkan.
(3) Sertifikat sanitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurangkurangnya memuat keterangan tentang :
a. asal negara, area, atau tempat yang dalam kurun waktu tertentu tidak berjangkit hama penyakit hewan karantina;
b. berasal dari jenis hewan yang sehat;
c. bebas dari hama dan penyakit yang dapat ditularkan melalui jenis bahan asal hewan atau hasil bahan asal hewan tersebut; dan
d. khusus bagi keperluan konsumsi manusia telah sesuai dengan ketentuan teknis mengenai kesehatan masyarakat veteriner serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Surat keterangan asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, Pasal 3 huruf b, dan Pasal 4 huruf b diperuntukkan bagi benda lain, yang sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang : produk, negara, area, atau tempat asal dan perlakuan sanitasi.
(5) Kurun waktu tertentu tidak berjangkitnya hama penyakit hewan karantina pada negara, area, atau tempat asal media pembawa yang harus dicantumkan pada sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 6
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, Pasal 3 huruf d dan Pasal 4 huruf d, bagi hewan disampaikan paling singkat 2 (dua) hari sebelum pemasukan atau pengeluaran, sedangkan bagi bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain disampaikan paling singkat 1(satu) hari sebelum pemasukan atau pengeluaran.
(2) Khusus bagi pemasukan media pembawa yang dibawa oleh penumpang, jangka waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada saat pemasukan.
(3) Pemilik media pembawa yang tidak mengikuti ketentuan waktu pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas pertimbangan teknis pemeriksaan, kesiapan petugas, dan atau sarana prasarana yang diperlukan, dokter hewan karantina dapat menunda pemeriksaan.
(4) Terhadap media pembawa yang tidak dilaporkan kepada petugas karantina pada saat pemasukan atau pengeluaran, dilakukan penahanan.
Pasal 7
(1) Selain persyaratan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4, dalam hal tertentu Pemerintah dapat menetapkan kewajiban tambahan.
(2) Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa persyaratan teknis dan atau manajemen penyakit berdasarkan disiplin ilmu kedokteran hewan.
(3) Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 8
(1) Media pembawa yang dimasukkan ke dalam, dibawa, atau dikirim dari suatu area ke area lain, transit di dalam, dan atau dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia dikenakan tindakan karantina.
(2) Tindakan karantina berupa pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan.
(3) Pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa yang membahayakan kesehatan manusia, dikoordinasikan dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang kesehatan masyarakat veteriner dan zoonosis.
Pasal 9
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen dan mendeteksi hama penyakit hewan karantina, status kesehatan dan sanitasi media pembawa, atau kelayakan sarana prasarana karantina dan alat angkut.
(2) Pemeriksaan kesehatan atau sanitasi media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan secara fisik dengan cara :
a. pemeriksaan klinis pada hewan; atau
b. pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan pada siang hari, kecuali dalam keadaan tertentu menurut pertimbangan dokter hewan karantina dapat dilaksanakan pada malam hari.
(4) Jika pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum dapat dikukuhkan diagnosanya, maka dokter hewan karantina dapat melanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium, patologi, uji biologis, uji diagnostika, atau teknik dan metoda pemeriksaan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi.
(5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dilakukan pada laboratorium yang ditunjuk. Pasal 10
(1) Pengasingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap sebagian atau seluruh media pembawa untuk diadakan pengamatan, pemeriksaan dan perlakuan dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan penularan hama penyakit hewan karantina.
(2) Lamanya waktu pengasingan sangat tergantung pada lamanya waktu yang dibutuhkan bagi pengamatan, pemeriksaan, dan atau perlakuan terhadap media pembawa.
(3) Lamanya waktu pengasingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dipergunakan sebagai dasar penetapan masa karantina.
(4) Masa karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), terhitung sejak media pembawa diserahkan oleh pemiliknya kepada petugas karantina sampai dengan selesainya pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa.
Pasal 11
(1) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan untuk mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina dengan cara mengamati timbulnya gejala hama penyakit hewan karantina pada media pembawa selama diasingkan dengan mempergunakan sistem semua masuk-semua keluar.
(2) Selain pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengamatan juga dapat dilakukan untuk mengamati situasi hama penyakit hewan karantina pada suatu negara, area, atau tempat.
(3) Lamanya waktu pengamatan atau masa pengamatan terhitung sejak dimulai sampai dengan selesainya pelaksanaan tindakan pengamatan.
(4) Masa pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri berdasarkan lamanya masa inkubasi, dan sifat subklinis penyakit serta sifat pembawa dari suatu jenis media pembawa.
(5) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. untuk pemasukan dari luar negeri dilakukan di instalasi karantina atau pada tempat atau area pemasukan;
b. untuk pengangkutan antar area, diutamakan pada area pengeluaran; atau
c. untuk pengeluaran ke luar negeri pengamatan disesuaikan dengan permintaan negara tujuan.
(6) Penyakit-penyakit yang belum diketahui masa inkubasi, sifat hama penyakit dan cara penularannya, belum pernah ada, atau sudah bebas di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia, masa pengamatannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 12
(1) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) merupakan tindakan untuk membebaskan dan menyucihamakan media pembawa dari hama penyakit hewan karantina, atau tindakan lain yang bersifat preventif, kuratif dan promotif.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya hanya dapat dilakukan setelah media pembawa terlebih dahulu diperiksa secara fisik dan dinilai tidak mengganggu proses pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya.
Pasal 13
(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang belum memenuhi persyaratan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7, atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh Menteri lain yang terkait pada waktu pemasukan, transit, atau pengeluaran di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik terhadap media pembawa dan diduga tidak berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina.
(3) Selama masa penahanan dapat dilakukan tindakan karantina lain yang bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanya hama penyakit hewan karantina dan penyakit hewan lainnya dan atau mencegah kemungkinan penularannya, menurut pertimbangan dokter hewan karantina.
Pasal 14
(1) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, apabila ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri, busuk, rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya;
b. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 tidak seluruhnya dipenuhi;
c. setelah dilakukan penahanan dan keseluruhan persyaratan yang harus dilengkapi dalam batas waktu yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi; atau
d. setelah diberikan perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat disembuhkan dan atau disucihamakan dari hama penyakit hewan karantina.
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan terhadap media pembawa yang transit dan akan dikeluarkan dari satu area ke area lain atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan oleh atau berkoordinasi dengan penanggung jawab tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran segera setelah memperoleh saran dari dokter hewan karantina.
(4) Jika penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditetapkan batas waktunya secara khusus, maka penolakannya dilakukan pada kesempatan pertama.
Pasal 15
(1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dan atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, apabila ternyata:
a. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut dan dilakukan pemeriksaan, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri, busuk, rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya;
b. media pembawa yang ditolak tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu yang ditetapkan;
c. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri; atau
d. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut dan diberi perlakuan, tidak dapat disembuhkan dan atau disucihamakan dari hama penyakit hewan karantina.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan terhadap media pembawa yang diturunkan pada waktu transit atau akan dikeluarkan dari satu area ke area lain atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), harus disaksikan oleh petugas kepolisian dan petugas instansi lain yang terkait.
(4) Pemusnahan media pembawa yang dilakukan di luar instalasi karantina tempat pemasukan dan atau tempat pengeluaran, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 16
(1) Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dan atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat pelepasan apabila ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina;
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina;
c. setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan karantina; atau
d. setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat dipenuhi.
(2) Pemberian sertifikat pelepasan terhadap media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan kepada dokter hewan yang berwenang di daerah tujuan.
(3) Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang akan dikeluarkan dari dalam atau dikeluarkan dari satu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat kesehatan apabila ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina;
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina;
c. setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan karantina; atau
d. setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat dipenuhi.
(4) Pemberian sertifikat kesehatan terhadap media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ditujukan kepada petugas karantina di tempat pemasukan di negara atau area tujuan.
(5) Sertifikat pelepasan dan sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4), diterbitkan oleh dokter hewan karantina dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam dari saat pembebasan.
(6) Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), merupakan tanggung jawab dokter hewan karantina secara berkelanjutan.
Pasal 17
(1) Dalam melaksanakan tindakan karantina, dokter hewan karantina dapat dibantu oleh atau dapat menugaskan kepada paramedik karantina.
(2) Wewenang dan tanggung jawab tindakan karantina berada pada dokter hewan karantina.
(3) Pelaksanaan tindakan karantina oleh dokter hewan karantina harus berdasarkan tanggung jawab profesi sebagai dokter hewan.
(4) Paramedik karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada dokter hewan karantina.
Bagian Kedua
Pemasukan
Pasal 18
Rencana pemasukan media pembawa oleh pemilik disampaikan kepada petugas karantina.
Pasal 19
(1) Media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dari luar negeri atau ke dalam suatu area dari area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen karantina serta kesehatannya oleh dokter hewan karantina di atas alat angkut sebelum diturunkan atau melewati tempat pemasukan.
(2) Jika pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan di atas alat angkut, pemeriksaan dapat dilakukan setelah media pembawa diturunkan atau melewati tempat pemasukan dengan ketentuan pemeriksaan pendahuluan telah selesai dilakukan, kecuali untuk hewan yang berstatus sebagai barang muatan.
(3) Khusus untuk media pembawa yang dibawa oleh penumpang, pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan setelah diturunkan dari alat angkut atau melewati tempat pemasukan.
Pasal 20
Selain persyaratan dokumen karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b, Pasal 3 huruf a dan b, serta Pasal 7, pemasukan media pembawa harus dilengkapi :
a. keterangan mutasi muatan untuk hewan, keterangan tidak terjadi kontaminasi selama dalam perjalanan atau catatan suhu untuk bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang dipersyaratkan diangkut dalam suhu tertentu dari penanggung jawab alat angkut ; dan atau
b. dokumen lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
(1) Jika pemasukan media pembawa tidak disertai sertifikat kesehatan, sertifikat sanitasi, atau surat keterangan asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b serta Pasal 3 huruf a dan b, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
(2) Media pembawa yang ditolak pemasukannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan penahanan, apabila :
a. pemiliknya menjamin sertifikat kesehatan hewan, sertifikat sanitasi, atau surat keterangan asal, dapat ditunjukkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari;
b. media pembawa tersebut bukan berasal dari negara, area, atau tempat yang pemasukannya dilarang; dan
c. pada pemeriksaan di atas alat angkut menurut pertimbangan dokter hewan tidak ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan I dan risiko penularan hama penyakit hewan karantina golongan II.
(3) Jika pemilik tidak dapat menunjukkan sertifikat kesehatan hewan, sertifikat sanitasi, atau surat keterangan asal dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
(4) Jika media pembawa yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam (1) dan ayat (3), tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam, maka dilakukan pemusnahan.
Pasal 22
(1) Jika pemasukan media pembawa tidak dilengkapi dengan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, maka dilakukan penahanan dengan ketentuan :
a. untuk hewan apabila tidak ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I; atau
b. untuk bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, dan benda lain apabila tidak ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh, terjadi perubahan sifat, terkontaminasi, atau membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia.
(2) Tindakan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dilanjutkan dengan tindakan pengasingan, pengamatan dan pemeriksaan yang lebih intensif, disamping persyaratan teknis yang ditetapkan.
(3) Jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
(4) Lamanya penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tergantung dari lamanya waktu pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(5) Jika media pembawa yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam bagi hewan, dan 3 (tiga) hari bagi bahan asal hewan atau hasil bahan asal hewan, maka dilakukan pemusnahan.
Pasal 23
(1) Jika pemasukan media pembawa tidak memenuhi kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, maka dilakukan penahanan dan pemiliknya diberikan waktu untuk melengkapinya paling lama 7 (tujuh) hari.
(2) Selama masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan tindakan karantina lain sesuai dengan persyaratan teknis yang ditetapkan.
(3) Jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
Pasal 24
Dalam hal pemilik tidak dapat menyediakan alat angkut dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 22 ayat (5), Menteri dapat memberikan perpanjangan waktu dengan mempertimbangkan tingkat risiko masuk dan menyebarnya hama penyakit hewan karantina.
Pasal 25
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di atas alat angkut perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan sebelum alat angkut yang bersangkutan sandar.
(2) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina; berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan tersebut dilarang atau di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina golongan I; atau ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka :
a. dalam hal pemasukan dari luar negeri, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, ditolak pemasukannya dan dilarang diturunkan, sedangkan alat angkut perairan yang bersangkutan harus segera meninggalkan pelabuhan;
b. dalam hal pemasukan dari area lain dalam wilayah negara Republik Indonesia, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, diturunkan dari alat angkut dan segera dimusnahkan pada perairan yang dianggap aman oleh dokter hewan karantina atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku; atau
c. dalam hal ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka atas pertimbangan dokter hewan karantina tindakan penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, dapat dilakukan terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada hewan yang tertular saja.
(3) Terhadap alat angkut perairan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b, dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. disucihamakan sebelum sandar kembali; dan
b. orang, bahan atau peralatan dan muatan lain yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut, diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 26
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di atas alat angkut udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan segera setelah alat angkut yang bersangkutan mendarat.
(2) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina; berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan tersebut dilarang; berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina golongan I; atau ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka :
a. dalam hal pemasukan dari luar negeri, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, ditolak pemasukannya dan dilarang diturunkan, dan alat angkut udara yang bersangkutan harus segera meninggalkan bandar udara atau apabila tidak memungkinkan, maka dilakukan pengamatan sampai alat angkut udara tersebut meninggalkan bandar udara;
b. dalam hal pemasukan dari area lain dalam wilayah negara Republik Indonesia, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, diturunkan dari alat angkut udara dan dibawa ke tempat yang dianggap aman dalam wilayah bandar udara untuk dimusnahkan atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku; atau
c. dalam hal ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka atas pertimbangan dokter hewan karantina tindakan penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, dapat dilakukan terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada hewan yang tertular saja.
(3) Terhadap alat angkut udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b, dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. disucihamakan sebelum diberangkatkan kembali; dan
b. orang, bahan atau peralatan dan muatan lainnya yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 27
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di atas alat angkut darat dan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan segera setelah alat angkut yang bersangkutan tiba di tempat pemasukan.
(2) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina; berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan tersebut dilarang; berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina golongan I; atau ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka :
a. dalam hal pemasukan dari luar negeri, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, ditolak pemasukannya dan dilarang diturunkan, sedangkan alat angkut darat dan kereta api yang bersangkutan harus segera kembali meninggalkan tempat pemasukan;
b. dalam hal pemasukan dari area lain dalam wilayah negara Republik Indonesia, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, diturunkan dari alat angkut darat dan kereta api untuk dimusnahkan atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku; atau
c. dalam hal ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka atas pertimbangan dokter hewan karantina tindakan penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, dapat dilakukan terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada hewan yang tertular saja.
(3) Terhadap alat angkut darat dan kereta api sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b, dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. disucihamakan sebelum masuk kembali atau melanjutkan perjalanan; dan
b. orang, bahan atau peralatan dan muatan lainnya yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 28
(1) Jika dalam pemeriksaan di atas alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) tidak ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan I dan risiko penularan hama penyakit hewan karantina golongan II; tidak terdapat hewan yang berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan tersebut dilarang atau di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina golongan I; atau tidak ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka setelah dibersihkan dari ektoparasit, hewan tersebut :
a. diangkut langsung ke instalasi karantina apabila harus menjalani tindakan karantina secara intensif;
b. diangkut langsung ke rumah pemotongan apabila untuk disembelih sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku;
c. dibebaskan dengan memberikan persyaratan untuk menjalani tindakan pengasingan, pengamatan, dan atau perlakuan di tempat pemilik, apabila tindakan tersebut tidak diharuskan secara intensif, sepanjang sehat, tidak menunjukkan gejala hama penyakit hewan karantina dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; atau
d. dibebaskan tanpa persyaratan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan sepanjang sehat, tidak menunjukkan gejala hama penyakit hewan karantina dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(2) Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, dilaksanakan di bawah pengawasan petugas karantina.
Pasal 29
(1) Selama hewan menjalani tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a dan c, dapat dilanjutkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) untuk mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina.
(2) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya hama penyakit hewan karantina golongan I, maka semua hewan yang rentan dan bahan atau peralatan yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut harus dimusnahkan.
(3) Terhadap bahan atau peralatan yang tidak mungkin dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan terhadap orang, dilakukan penyucihamaan.
(4) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka hewan yang sakit diasingkan, yang mati dimusnahkan dan masa karantinanya diperpanjang sampai dinilai aman dan tidak lagi berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, dengan ketentuan :
a. semua jenis hewan yang rentan terhadap penyakit tersebut diberikan perlakuan;
b. jika perlakuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak berhasil, tidak dapat atau tidak mungkin dilakukan, maka terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada yang sakit dan tertular, harus dilakukan pemusnahan; atau
c. tindakan karantina terhadap hewan yang dimasukkan dari area lain dalam wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dapat disesuaikan dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku.
(5) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan gejala penyakit hewan yang bersifat individual, dan atau penyakit hewan menular selain penyakit hewan karantina, maka :
a. pemilik dapat meminta jasa dokter hewan lain memberikan pengobatan atau perlakuan lain; dan
b. semua kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus diberitahukan kepada dokter hewan karantina.
(6) Jika hewan telah menjalani masa karantina, tidak tertular dan bebas dari gejala hama penyakit hewan karantina, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat pelepasan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan.
Pasal 30
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain di atas alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan setelah alat angkut sandar, mendarat, atau tiba di tempat pemasukan.
(2) Jika pemeriksaan kesehatan di atas alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memungkinkan, maka dapat dilakukan setelah diturunkan di tempat pemasukan atau pada instalasi karantina, setelah dinilai aman dan tidak berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina.
(3) Jika dalam pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), ditemukan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain:
a. yang berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukannya dilarang; berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut; atau produknya termasuk yang pemasukannya dilarang, maka ditolak pemasukannya; atau
b. yang sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh, terjadi perubahan sifat, terkontaminasi, atau membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka diberikan perlakuan dan apabila tidak berhasil atau tidak mungkin dilakukan, maka ditolak pemasukannya.
(4) Jika penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b, tidak dapat atau tidak mungkin dilakukan, maka bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, dan benda lain tersebut dimusnahkan.
(5) Bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain yang berhasil diberikan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat pelepasan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal 31
Jika dalam pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) dan ayat (2) ditemukan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain:
a. yang bukan berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukannya dilarang; bukan berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut; produknya bukan termasuk yang pemasukannya dilarang; dan
b. yang sanitasinya baik, kemasannya utuh, tidak terjadi perubahan sifat, tidak terkontaminasi, dinilai tidak membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat pelepasan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat(4).
Pasal 32
(1) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) dan atau tidak memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, maka dilakukan penahanan di tempat pemasukan atau di instalasi karantina.
(2) Jika dalam pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditemukan hama penyakit yang membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka dilakukan pemusnahan.
(3) Jika persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak dapat dipenuhi, maka dilakukan penolakan.
(4) Jika dalam pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak ditemukan hama penyakit yang dapat membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat pelepasan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan.
Pasal 33
(1) Orang, alat angkut, bahan atau peralatan, kemasan serta muatan lain yang pernah berhubungan dengan atau terkontaminasi oleh media pembawa yang ditolak atau dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3), juga diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
(2) Tindakan perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 31, dan Pasal 32 menurut pertimbangan dokter hewan karantina dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian dari media pembawa yang dimasukkan.
Bagian Ketiga
Transit
Pasal 34
(1) Untuk mencegah masuknya hama penyakit hewan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia melalui transit alat angkut yang membawa hewan dari luar negeri, transit hanya dapat disetujui pada tempat-tempat yang telah ditetapkan.
(2) Persetujuan transit pada tempat-tempat transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri harus mempertimbangkan situasi hama penyakit hewan karantina di negara asal dan atau di tempat-tempat transit sebelumnya dan kemungkinan penularannya melalui jenis hewan tersebut.
(4) Media pembawa yang transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi ketentuan :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan hewan dan harus selalu berada di bawah pengawasan dokter hewan karantina selama transit;
b. dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dokter hewan karantina harus melakukan pemeriksaan secara umum di atas alat angkut;
c. jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan I atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka alat angkut yang bersangkutan diperintahkan segera meninggalkan tempat transit oleh penanggung jawab tempat transit atas saran dokter hewan karantina;
d. hewan dan pemeliharanya dilarang turun selama transit, kecuali untuk keperluan pemuatan kembali ke alat angkut lain atas persetujuan dokter hewan karantina;
e. dalam hal hewan terlanjur diturunkan atau diturunkan untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam huruf d, maka :
(1) jika memperlihatkan gejala hama penyakit hewan karantina golongan I, maka hewan tersebut harus segera dimusnahkan dan alat angkutnya disucihamakan; atau
(2) jika memperlihatkan gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka hewan tersebut diperintahkan untuk segera meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia oleh penanggung jawab tempat transit atas saran dokter hewan karantina;
f. bahan atau peralatan yang pernah berhubungan dengan hewan, sisa pakan, kotoran dan lain-lain yang diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, harus dimusnahkan;
g. terhadap bahan atau peralatan sebagaimana dimaksud dalam huruf f yang tidak mungkin dimusnahkan dan terhadap orang, dilakukan penyucihamaan.
(5) Pemindahan hewan transit ke tempat pengeluaran di luar tempat transit harus mendapat persetujuan Menteri dengan pengawalan petugas karantina.
(6) Dalam hal ditemukan hama penyakit hewan karantina dan tindakan karantina yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c dan huruf e, harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang di negara asal dan negara tujuan.
Pasal 35
(1) Untuk mencegah masuknya hama penyakit hewan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia melalui transit alat angkut yang membawa bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan atau benda lain dari luar negeri, transit hanya dapat dilakukan pada tempat-tempat yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan :
a. dilengkapi sertifikat sanitasi atau surat keterangan asal, harus tetap dijaga keutuhannya dan di bawah pengawasan petugas karantina selama transit;
b. dilarang diturunkan selama transit, kecuali untuk keperluan pemuatan kembali ke alat angkut lain dan dilakukan secara utuh atas persetujuan dokter hewan karantina;
c. dalam hal terlanjur diturunkan dari alat angkut dan dari hasil pemeriksaan ternyata sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh, terjadi perubahan sifat, terkontaminasi atau membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka diperintahkan segera dimuat kembali ke alat angkut oleh dokter hewan karantina;
d. bahan atau peralatan yang pernah berhubungan dengan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain yang diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, harus dimusnahkan;
e. terhadap bahan atau peralatan sebagaimana dimaksud dalam huruf d yang tidak mungkin dimusnahkan dan terhadap orang, dilakukan penyucihamaan; dan
f. pemindahan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan atau benda lain transit ke tempat pengeluaran di luar tempat transit harus mendapat persetujuan dokter hewan karantina dengan pengawalan petugas karantina.
(2) Dalam hal sanitasi yang tidak memenuhi persyaratan dan tindakan karantina yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang di negara asal dan negara tujuan.
Pasal 36
(1) Untuk menjamin terisolasinya media pembawa yang sedang ditransitkan, penanggung jawab tempat transit dapat menetapkan lokasi dan menyediakan fasilitas bagi keperluan transit media pembawa yang berasal dari luar negeri dan akan dimuat ke alat angkut lain atas persetujuan dokter hewan karantina.
(2) Jika dalam lalu lintas internasional dipersyaratkan penyediaan fasilitas lokasi transit langsung, maka dalam memenuhi persyaratan tersebut penanggung jawab tempat transit mempertimbangkan saran dokter hewan karantina yang bertujuan mencegah penularan hama penyakit hewan karantina terutama yang ditularkan melalui serangga.
Pasal 37
(1) Jika negara tujuan mempersyaratkan surat keterangan transit, dokter hewan karantina dapat memberikan surat keterangan transit dimaksud.
(2) Surat keterangan transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurangkurangnya
menerangkan status kesehatan atau sanitasi media pembawa, tindakan karantina dan pengamanan yang pernah dilakukan selama transit di wilayah negara Republik Indonesia dan keterangan lain yang diperlukan oleh negara tujuan.
Pasal 38
(1) Untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina melalui transit alat angkut yang membawa media pembawa dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, transit hanya dapat dilakukan pada tempat-tempat atau area-area yang telah ditetapkan.
(2) Tempat-tempat transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan areaarea yang dilarang transit, ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri harus mempertimbangkan peta situasi hama penyakit hewan karantina, jalur perjalanan, analisis risiko dan kesiapan petugas serta sarana dan prasarana yang ada.
(4) Jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), penanggung jawab tempat transit menolak alat angkut tersebut melakukan transit atas saran dokter hewan karantina.
(5) Jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di tempat pengeluaran pada area terlarang transit atau di tempat pemasukan area tujuan, maka dilakukan penahanan dan ditindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Pengeluaran
Pasal 39
Rencana pengeluaran media pembawa disampaikan oleh pemilik kepada petugas karantina.
Pasal 40
(1) Media pembawa yang dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia ke luar negeri atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen karantina serta kesehatannya oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran, instalasi karantina, atau tempat asal sebelum dimuat ke alat angkut yang mengangkutnya dari tempat pengeluaran.
(2) Jika media pembawa harus menjalani tindakan karantina secara intensif maka pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan di instalasi karantina.
Pasal 41
(1) Media pembawa yang dikeluarkan dari area asal ke tempat pengeluaran harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan, sertifikat sanitasi atau surat keterangan asal dan dokumen lain.
(2) Sertifikat kesehatan hewan atau sertifikat sanitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain diterbitkan oleh dokter hewan yang berwenang juga dapat diterbitkan oleh dokter hewan yang ditunjuk Menteri setelah mendengar pertimbangan organisasi profesi.
(3) Dalam penunjukan dokter hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri harus mempertimbangkan situasi hama penyakit hewan karantina di area atau tempat asal, metode pengamanan penyakit, teknologi budidaya, penangkaran, atau pengolahan produk sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(4) Hewan kesayangan yang secara rutin kesehatannya diawasi oleh dokter hewan atau kelompok dokter hewan, sertifikat kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diberikan oleh dokter hewan atau kelompok dokter hewan yang bersangkutan.
Pasal 42
(1) Jika pengeluaran media pembawa tidak disertai sertifikat kesehatan, sertifikat sanitasi, atau surat keterangan asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), maka ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya.
(2) Hewan kesayangan, bahan asal hewan atau hasil bahan asal hewan bukan untuk konsumsi yang akan dibawa oleh penumpang, dapat diberikan sertifikat kesehatan atau sertifikat sanitasi setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran, dengan ketentuan:
a. bukan berasal dari area atau tempat dari mana pengeluarannya dilarang atau dari daerah di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut; atau
b. tidak termasuk yang pengeluarannya dilarang.
Pasal 43
Jika pengeluaran media pembawa tidak memenuhi kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), maka :
a. yang pengeluarannya dilarang, dilakukan penahanan dan ditindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. yang belum memenuhi persyaratan administrasi, ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya; atau
c. yang belum memenuhi persyaratan teknis, ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya atau dimasukkan ke instalasi karantina untuk memenuhi persyaratan teknis.
Pasal 44
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di tempat pengeluaran, instalasi karantina, atau tempat asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan segera setelah diserahkan oleh pemiliknya.
(2) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina, berasal dari area atau tempat dari mana pengeluaran hewan tersebut dilarang, atau berasal dari area di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina, maka :
a. semua jenis hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku;
b. alat angkut yang membawa hewan tersebut dari tempat asalnya harus disucihamakan di tempat pengeluaran atau instalasi karantina; atau
c. terhadap orang, bahan atau peralatan dan muatan lain yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 45
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) tidak ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina, tidak berasal dari area atau tempat dari mana pengeluaran hewan tersebut dilarang, atau tidak berasal dari area atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina, maka:
a. dimasukkan langsung ke instalasi karantina apabila harus menjalani tindakan karantina secara intensif; atau
b. dibebaskan dan diberikan sertifikat kesehatan apabila tidak diharuskan menjalani tindakan karantina secara intensif sepanjang sehat, tidak menunjukkan gejala hama penyakit hewan karantina dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 46
(1) Selama hewan menjalani tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, dapat dilanjutkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) untuk mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina.
(2) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan I, maka semua hewan yang rentan dan bahan atau peralatan yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut harus dimusnahkan.
(3) Terhadap bahan atau peralatan yang tidak mungkin dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan terhadap orang, dilakukan penyucihamaan.
(4) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka hewan yang mati dimusnahkan, yang sakit diasingkan dan masa karantinanya diperpanjang atau ditunda pemberangkatannya sampai dinilai aman dan tidak berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, dengan ketentuan :
a. terhadap semua jenis hewan yang rentan terhadap penyakit tersebut diberikan perlakuan; atau
b. jika perlakuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak berhasil, tidak dapat atau tidak mungkin dilakukan, maka terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada yang tertular, harus dilakukan pemusnahan atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku.
(5) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan yang bersifat individual dan atau penyakit hewan menular selain penyakit hewan karantina, maka :
a. pemilik dapat meminta jasa dokter hewan lain untuk memberikan pengobatan atau perlakuan lain; dan
b. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus diberitahukan kepada dokter hewan karantina.
(6) Jika hewan telah menjalani masa karantina, tidak tertular dan bebas dari gejala hama penyakit hewan karantina, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat kesehatan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan.
Pasal 47
(1) Dalam melakukan pembebasan terhadap hewan, dokter hewan karantina selain telah mendeteksi bebas hama penyakit hewan karantina, juga harus mempertimbangkan kelayakan kondisi fisik untuk diberangkatkan sebelum dimuat ke alat angkut.
(2) Dokter hewan karantina wajib menolak pemberangkatan hewan apabila kondisi fisik tidak layak diberangkatkan.
(3) Pelaksanaan pengangkutan hewan dari instalasi karantina ke alat angkut harus dilakukan secara langsung di bawah pengawasan petugas karantina.
Pasal 48
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain di tempat pengeluaran, instalasi karantina, atau tempat asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan segera setelah bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain tersebut diserahkan oleh pemiliknya.
(2) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain :
a. yang berasal dari area atau tempat dari mana dilarang pengeluarannya, berasal dari area atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut, atau produknya termasuk yang pengeluarannya dilarang, maka ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku; atau
b. yang sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh, terjadi perubahan sifat, terkontaminasi, atau membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka diberikan perlakuan dan apabila tidak berhasil, tidak dapat, atau tidak mungkin dilakukan, maka dilakukan pemusnahan di tempat pengeluaran, di instalasi karantina, atau di tempat asal.
(3) Terhadap bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain yang berhasil diberikan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, dapat dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat sanitasi setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal 49
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) ditemukan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain :
a. yang bukan berasal dari area atau tempat dari mana dilarang pengeluarannya, bukan berasal dari area atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut, produknya bukan termasuk yang pengeluarannya dilarang; dan
b. yang sanitasinya baik, kemasannya utuh, tidak terjadi perubahan sifat, tidak terkontaminasi, dinilai tidak membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat sanitasi setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal 50
(1) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), belum memenuhi persyaratan teknis, dan atau belum memenuhi persyaratan negara tujuan, maka dapat dilakukan penahanan di tempat asal, di instalasi karantina, atau di tempat pengeluaran.
(2) Jika dalam pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan hama penyakit yang dapat membahayakan kesehatan hewan dan atau kesehatan manusia, maka dilakukan pemusnahan.
(3) Jika persyaratan teknis dan atau persyaratan negara tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dipenuhi, maka ditolak pengeluarannya dan dikembalikan kepada pemiliknya.
Pasal 51
(1) Orang, alat angkut, bahan atau peralatan, kemasan serta muatan lain yang pernah berhubungan dengan atau terkontaminasi oleh media pembawa yang ditolak atau dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2), juga diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
(2) Tindakan perlakuan, penahanan, pemusnahan, penolakan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 49, serta Pasal 50 menurut pertimbangan dokter hewan karantina dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian dari media pembawa yang akan dikirim.
Bagian Kelima
Tindakan Karantina terhadap Alat Angkut
Pasal 52
(1) Dalam pelaksanaan tindakan karantina, penanggung jawab alat angkut wajib memberitahukan kedatangan alat angkut kepada petugas karantina di tempat pemasukan, dengan ketentuan :
a. untuk alat angkut perairan, paling singkat 12 (dua belas) jam sebelum alat angkut tiba di tempat pemasukan;
b. untuk alat angkut udara, paling singkat 2 (dua) jam sebelum alat angkut tiba di tempat pemasukan; atau
c. untuk alat angkut darat dan kereta api yang secara khusus digunakan mengangkut media pembawa, pada saat alat angkut tiba di tempat pemasukan.
(2) Pada saat alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tiba di tempat pemasukan, penanggung jawab alat angkut harus menyampaikan keterangan muatan dan jalur yang dilalui kepada petugas karantina di tempat pemasukan.
Pasal 53
(1) Jika laporan penanggung jawab alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), dan atau dari hasil pemeriksaan alat angkut tersebut diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, maka petugas karantina dapat melakukan tindakan perlakuan.
(2) Tindakan perlakuan terhadap alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga dikenakan terhadap penumpang dan muatan lainnya.
(3) Tata cara perlakuan terhadap alat angkut, penumpang dan muatan lainnya, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 54
(1) Penanggung jawab alat angkut yang akan memuat media pembawa, harus terlebih dahulu memeriksa telah dipenuhinya ketentuan dan persyaratan karantina media pembawa tersebut.
(2) Penanggung jawab alat angkut dilarang mengangkut media pembawa yang belum memenuhi ketentuan dan persyaratan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 55
(1) Untuk mencegah kemungkinan terjadinya rudapaksa, stres dan terganggunya kesejahteraan hewan; kerusakan dan pencemaran pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain; dan atau penularan hama penyakit hewan karantina sebagai akibat pengangkutan, diperlukan persyaratan teknis alat angkut dan kemasan media pembawa.
(2) Petugas karantina wajib melakukan pemeriksaan kelayakan alat angkut dan kemasan media pembawa sesuai persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebelum dimuat di tempat pengeluaran.
(3) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditemukan alat angkut dan atau kemasan media pembawa yang tidak memenuhi persyaratan teknis, maka pemuatan media pembawa harus dibatalkan atau ditunda sampai dengan persyaratan teknisnya dipenuhi.
(4) Persyaratan teknis alat angkut dan kemasan media pembawa, ditetapkan dengan Keputusan Menteri, setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan.
Bagian Keenam
Tindakan Karantina terhadap Media Pembawa Lain
Pasal 56
(1) Media pembawa lain berupa sampah, sisa makanan penumpang, kotoran, sisa pakan dan bangkai hewan serta barang atau bahan yang pernah berhubungan dengan hewan yang diturunkan dari alat angkut di tempat pemasukan atau tempat transit, harus dimusnahkan oleh penanggung jawab alat angkut di bawah pengawasan petugas karantina.
(2) Media pembawa lain berupa sisa makanan atau produk yang tidak memenuhi persyaratan karantina yang terlanjur dibawa oleh penumpang ke tempat pemasukan, harus dibuang pada kotak sampah karantina.
(3) Pemusnahan sampah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), harus dilakukan di dalam wilayah tempat pemasukan.
(4) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan melalui koordinasi dan bantuan penanggung jawab tempat pemasukan.
(5) Media pembawa lain berupa peralatan bekas dan peralatan orang yang diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, diberikan perlakuan.
Bagian Ketujuh
Tindakan Karantina di Luar Tempat
Pemasukan dan Pengeluaran
Pasal 57
(1) Untuk memberikan kemudahan pelayanan dan kelancaran arus barang di tempat pemasukan dan atau pengeluaran, maka tindakan karantina dapat dilakukan di luar tempat pemasukan dan atau di luar tempat pengeluaran maupun di luar instalasi karantina, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip karantina hewan dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
(2) Tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperhitungkan sebagai bagian dari proses pelaksanaan tindakan karantina di instalasi karantina, tempat pemasukan, atau tempat pengeluaran berdasarkan analisis risiko hama penyakit hewan karantina.
Pasal 58
(1) Dalam hal pemasukan, pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dapat dilakukan di negara, area, atau tempat asal, di negara atau area transit, di atas alat angkut media pembawa selama dalam perjalanan menuju ke tempat pemasukan atau area tujuan, dan atau di tempat tujuan.
(2) Dalam hal pengeluaran, pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dapat dilakukan di area atau tempat asal, dan atau di atas alat angkut media pembawa selama dalam perjalanan menuju ke tempat pengeluaran.
(3) Pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat dilakukan atas persetujuan Menteri atau menurut persyaratan teknis yang ditetapkan.
(4) Pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan atas dasar pertimbangan dokter hewan karantina sepanjang area atau tempat asal telah dinyatakan bebas dari hama penyakit karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut.
Pasal 59
(1) Tindakan karantina terhadap hewan bibit, bahan biologik reproduksi dan hewan hasil penangkaran dapat diberikan kemudahan di tempat pemasukan dan atau pengeluaran, melalui penilaian status kesehatan dan situasi hama penyakit hewan karantina tempat asal, menurut tata cara karantina.
(2) Tindakan karantina terhadap bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain dapat diberikan kemudahan di tempat pemasukan dan atau pengeluaran, melalui penilaian status sanitasi dan situasi hama penyakit hewan karantina tempat asal, menurut tata cara karantina.
(3) Tata cara penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 60
(1) Untuk mendukung pelaksanaan tindakan karantina di luar tempat pemasukan, di luar tempat pengeluaran dan atau di luar instalasi karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal 59, maka pihak lain dapat membantu pelaksanaan tindakan karantina.
(2) Pelaksanaan tindakan karantina oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaporkan kepada dokter hewan karantina.
(3) Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dengan memperhatikan kewenangan profesi dokter hewan.
Pasal 61
(1) Untuk mencegah masuknya hama penyakit hewan karantina ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, penilaian status atau situasi hama penyakit hewan karantina dan atau pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan persyaratan teknis dapat dilakukan di negara asal atau transit yang memiliki risiko tinggi.
(2) Pejabat yang berwenang di negara asal atau transit harus diberitahukan sebelum menugaskan dokter hewan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Tata cara pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 62
(1) Penilaian terhadap status atau situasi hama penyakit hewan karantina dan atau pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan persyaratan teknis di seluruh atau sebagian wilayah negara Republik Indonesia, dapat dilakukan oleh pejabat dari negara tujuan untuk memenuhi persyaratan teknis dan analisis risiko terhadap terbawanya hama penyakit hewan karantina.
(2) Pejabat dari negara tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memberitahukan Menteri sebelum melakukan penilaian.
Bagian Kedelapan
Tindakan Karantina terhadap
Pengiriman melalui Pos
Pasal 63
(1) Pengiriman media pembawa melalui pos atau usaha jasa titipan harus mencantumkan secara jelas jumlah, jenis, atau nama media pembawa serta negara atau area asal sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(2) Tata cara pengiriman media pembawa melalui pos dan usaha jasa titipan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri, setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang pos.
Bagian Kesembilan
Tindakan Karantina dalam
Keadaan Darurat
Pasal 64
(1) Jika alat angkut perairan, udara, atau darat dan kereta api yang memuat media pembawa karena keadaan darurat sandar atau mendarat atau berhenti di tempat-tempat yang tidak ditetapkan sebagai tempat pemasukan atau pengeluaran, maka penanggung jawab alat angkut atau orang yang mengetahui peristiwa tersebut harus melaporkan dengan segera kepada petugas karantina, dokter hewan atau pejabat pemerintah terdekat.
(2) Dokter hewan atau pejabat Pemerintah yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus segera melaporkannya kepada petugas karantina terdekat.
(3) Media pembawa, bahan atau peralatan dan muatan lain yang pernah berhubungan dengan media pembawa tersebut, dilarang diturunkan dari alat angkut sebelum diizinkan oleh petugas karantina, kecuali karena alasan-alasan yang terpaksa.
(4) Dalam hal alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat meneruskan perjalanannya, maka terhadap media pembawa dilakukan tindakan karantina sesuai dengan ketentuan tentang pemasukan.
(5) Dalam hal alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat meneruskan perjalanannya, maka terhadap media pembawa dilakukan tindakan karantina sesuai dengan ketentuan tentang transit.
Bagian Kesepuluh
Tindakan Karantina terhadap
Penolakan Negara Tujuan
Pasal 65
(1) Pemasukan kembali media pembawa yang ditolak di luar negeri karena tidak memenuhi persyaratan karantina, persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan, penularan hama penyakit hewan karantina dan atau alasan lain, dilakukan tindakan karantina sesuai dengan ketentuan tentang pemasukan.
(2) Pemasukan kembali media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disertai surat keterangan penolakan dari negara tujuan yang menerangkan alasan penolakan.
(3) Sertifikat kesehatan yang menyertai media pembawa pada waktu pengeluaran dapat dipergunakan lagi sebagai persyaratan karantina.
(4) Pemasukan kembali media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) karena alasan tidak memenuhi persyaratan karantina pada waktu pengeluaran, dimusnahkan di tempat pemasukan atau instalasi karantina.
(5) Menteri dapat mempertimbangkan tindakan pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), apabila media pembawa termasuk yang dilindungi Undang-undang.
Bagian Kesebelas
Tindakan Karantina terhadap Barang yang Ditahan
Pasal 66
(1) Petugas karantina hewan berwenang melaksanakan tindakan karantina terhadap media pembawa yang berstatus sebagai barang yang ditahan atau barang bukti dalam suatu perkara peradilan, sebelum diserahkan kepada pejabat atau instansi yang berwenang untuk mencegah menyebarnya hama penyakit hewan karantina.
(2) Dalam hal tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa tindakan pemusnahan, maka berita acara pemusnahan dapat dijadikan sebagai barang bukti oleh pejabat atau instansi yang berwenang.
Pasal 67
(1) Petugas karantina juga berwenang melaksanakan tindakan karantina terhadap media pembawa yang dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai, yang dikuasai negara dan yang menjadi milik negara, mengingat media pembawa termasuk jenis barang yang sifatnya tidak tahan lama, mudah rusak, atau mudah busuk serta dapat membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia.
(2) Dalam hal media pembawa telah menjadi milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pertimbangan dokter hewan karantina disampaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 68
(1) Petugas karantina dapat mengunci, menyegel dan atau melekatkan tanda pengaman terhadap media pembawa untuk menghindari perbuatan yang dapat mempersulit atau menghambat proses pelaksanaan tindakan karantina.
(2) Dilarang membuka, melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda pengaman yang telah terpasang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum selesai proses tindakan karantina, tanpa persetujuan dokter hewan karantina.
Bagian Kedua Belas
Tindakan Karantina terhadap Barang Penumpang
Pasal 69
(1) Media pembawa dari negara, area, atau tempat yang tidak terlarang, dapat dibawa sebagai barang bawaan untuk dipergunakan sendiri.
(2) Media pembawa yang dibawa sebagai barang bawaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diberikan pembebasan karantina setelah melalui pemeriksaan kesehatan dan mempertimbangkan risiko penyebaran hama penyakit hewan karantina menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai jumlah, jenis, dan tata cara pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga Belas
Tindakan Karantina Khusus
Pasal 70
Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku bagi pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa yang dibawa atau dikirim sebagai barang diplomatik.
Pasal 71
(1) Hewan organik dapat dikecualikan terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah ini, sepanjang mengikuti persyaratan :
a. pengiriman hewan organik untuk keperluan tugas dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Republik Indonesia, harus dikonsultasikan dengan dokter hewan karantina;
b. hewan organik sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dilarang dikembangbiakan selama bertugas di luar kesatuan atau tempat asalnya; dan
c. pengiriman hewan organik untuk keperluan perpindahan kesatuan atau untuk dikembangbiakan, hanya dapat dilakukan ke area yang tidak terlarang bagi pemasukan jenis hewan tersebut.
(2) Tata cara tindakan karantina khusus bagi hewan organik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB IV
PUNGUTAN JASA KARANTINA
Pasal 72
(1) Pungutan jasa karantina terdiri atas biaya penggunaan sarana atau prasarana milik pemerintah dan biaya jasa pelaksanaan tindakan karantina terhadap hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, benda lain, media pembawa lain dan alat angkut.
(2) Penerimaan yang berasal dari pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan pendapatan negara bukan pajak dan harus disetor ke Kas Negara.
BAB V
KAWASAN KARANTINA
Pasal 73
(1) Penetapan area-area di dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan berdasarkan status, situasi dan epidemiologi hama penyakit hewan karantina dengan memperhatikan sosioekonomi dan budaya masyarakat setempat.
(2) Area-area sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipergunakan sebagai dasar kebijaksanaan, pengaturan dan pengawasan lalu lintas media pembawa.
(3) Area-area sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 74
(1) Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya suatu hama penyakit hewan karantina di suatu lokasi yang semula diketahui bebas dari hama penyakit tersebut, maka lokasi tersebut termasuk dalam pengertian atau merupakan salah satu dari kategori penetapan daerah wabah penyakit hewan menular.
(2) Dalam hal timbulnya wabah penyakit hewan menular sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka area atau sebagian dari area sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) dapat dinyatakan untuk sementara waktu sebagai kawasan karantina.
(3) Pengaturan mengenai pemasukan dan atau pengeluaran media pembawa dari dan ke daerah wabah, ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dan dipergunakan sebagai persyaratan teknis bagi pelaksanaan tindakan karantina.
(4) Petugas karantina di seluruh kawasan karantina wajib melakukan pengawasan maksimum di setiap tempat pemasukan dan tempat pengeluaran serta berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab menangani wabah penyakit hewan.
(5) Untuk mencegah meluasnya daerah wabah, kawasan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB VI
JENIS HAMA PENYAKIT HEWAN KARANTINA
DAN MEDIA PEMBAWA
Bagian Pertama
Jenis Hama Penyakit Hewan Karantina
Pasal 75
(1) Hama penyakit hewan karantina digolongkan menjadi hama penyakit hewan karantina golongan I dan hama penyakit hewan karantina golongan II, berdasarkan daya epidemis dan patogenitas penyakit, dampak sosioekonomi serta status dan situasinya di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Penggolongan hama penyakit hewan karantina golongan I dan golongan II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta penetapan jenis hewan yang peka, cara penularan, masa inkubasi, masa pengamatan, masa karantina, standarisasi pengujian dan perlakuan, ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 76
(1) Kebijaksanaan karantina dan pembatasan lalu lintas media pembawa diatur berdasarkan penggolongan hama penyakit hewan karantina dan pemetaan hama penyakit hewan karantina
(2) Pemetaan hama penyakit hewan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menggambarkan status suatu negara, area, atau tempat yang diperoleh melalui kegiatan pengamatan.
(3) Kegiatan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan secara langsung di tempat pemasukan, transit, pengeluaran, instalasi karantina, dan alat angkut atau secara tidak langsung di tempat lainnya dengan melibatkan atau memperoleh informasi dari pihak yang berwenang dalam kegiatan tersebut.
Bagian Kedua
Jenis Media Pembawa
Pasal 77
(1) Media pembawa dapat digolongkan berdasarkan kerentanan, cara penularan dan cara mendeteksi hama penyakit hewan karantina.
(2) Penggolongan media pembawa untuk tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
(1) Dilarang memasukkan atau mengeluarkan jenis media pembawa atau transit di negara atau area yang masih tertular hama penyakit hewan karantina golongan I, dan atau sedang terjadi wabah hama penyakit hewan karantina golongan II.
(2) Ketentuan larangan pemasukan, transit, atau pengeluaran jenis media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB VII
TEMPAT PEMASUKAN DAN PENGELUARAN
Pasal 79
(1) Tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa di dalam wilayah negara Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan status dan situasi hama penyakit hewan karantina untuk tujuan impor, antar area, dan ekspor.
(2) Tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan keputusan Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan.
BAB VIII
INSTALASI KARANTINA
Pasal 80
(1) Untuk mencegah masuk, tersebar, atau keluarnya hama penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain dapat menyediakan instalasi karantina di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran sesuai dengan persyaratan teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tindakan karantina.
(2) Penetapan persyaratan teknis instalasi karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memperhatikan risiko penyebaran hama penyakit, kesejahteraan hewan atau keamanan produk, sosial budaya dan lingkungan.
(3) Penetapan instalasi karantina di luar tempat pemasukan atau pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain memperhatikan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), juga harus dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah setempat.
(4) Persyaratan teknis karantina dan Instalasi karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 81
(1) Jika kapasitas dalam instalasi karantina yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) tidak dapat menampung keseluruhan media pembawa, dokter hewan karantina dapat menyetujui perluasan dan penambahan sementara bangunan atau fasilitas yang tersedia atas beban pemilik media pembawa.
(2) Jika pelaksanaan tindakan karantina tidak dapat dilakukan di instalasi karantina pemerintah yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) karena kapasitasnya tidak mencukupi, sedang dipergunakan atau tidak layak dipergunakan, maka Menteri dapat menunjuk instalasi karantina pihak lain yang sifatnya sementara dan pemakaiannya hanya satu kali atau beberapa kali untuk pengiriman bertahap.
(3) Jika pelaksanaan tindakan karantina tidak dapat dilakukan karena fasilitas instalasi karantina pemerintah untuk jenis media pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) belum tersedia atau tidak mungkin tersedia, maka Menteri dapat menunjuk instalasi karantina pihak lain yang sifatnya diakui secara permanen selama masih memenuhi persyaratan teknis.
Pasal 82
(1) Media pembawa yang berpotensi menularkan hama penyakit hewan karantina dan mempunyai sifat penularan serta cara mendeteksinya memerlukan masa pengamatan relatif lebih lama, dilakukan tindakan karantina di instalasi karantina pasca masuk.
(2) Instalasi karantina pasca masuk dan pelaksanaan tindakan karantinanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 83
(1) Khusus bagi pelaksanaan tindakan karantina terhadap satwa liar yang dipelihara atau ditangkarkan secara in situ dan eks situ, tindakan karantina pasca masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), dilakukan secara rutin dan berkelanjutan pada wilayah tempat pemeliharaan atau penangkarannya.
(2) Seluruh wilayah tempat pemeliharaan dan penangkaran satwa liar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan sebagai instalasi karantina pasca masuk permanen dengan Keputusan Menteri.
Pasal 84
(1) Untuk memenuhi kepentingan nasional, dapat dimasukkan jenis hewan yang rentan dari negara, area, atau tempat yang masih tertular hama penyakit hewan karantina dengan melaksanakan metode pengamanan maksimum pada suatu tempat yang memiliki batas yang dapat dipertanggungjawabkan menurut aturan internasional sebagai instalasi karantina pengamanan maksimum.
(2) Instalasi karantina pengamanan maksimum dan metode pengamanannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 85
(1) Pemasukan media pembawa yang memiliki risiko tinggi bagi masuknya hama penyakit hewan karantina ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, dapat ditetapkan kewajiban berupa persetujuan instalasi karantina di negara asal atau transit setelah mendapat pertimbangan berdasarkan penilaian dokter hewan karantina.
(2) Penilaian dokter hewan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus berdasarkan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2).
(3) Pejabat yang berwenang di negara asal atau transit harus diberitahukan sebelum menugaskan dokter hewan karantina melakukan penilaian.
(4) Persetujuan instalasi karantina di negara asal atau transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT DAN
KERJA SAMA ANTARNEGARA
Pasal 86
Untuk meningkatkan kesadaran dan mengembangkan peran serta masyarakat dalam bidang karantina hewan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan penyebarluasan informasi secara terencana dan berkelanjutan, dengan melibatkan organisasi profesi, organisasi fungsional dan lembaga swadaya masyarakat.
Pasal 87
(1) Dalam melaksanakan strategi untuk mencegah masuknya media pembawa yang diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina dan atau kegiatan karantina hewan, dapat melibatkan peran serta masyarakat seluas mungkin.
(2) Peran serta masyarakat dalam melaksanakan strategi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 88
Kerjasama dengan negara lain di bidang karantina hewan dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama bilateral, regional, dan atau multilateral. Kerjasama dengan negara lain di bidang karantina hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri, setelah berkonsultasi dengan Menteri lain yang terkait.
BAB X
PETUGAS DAN SARANA KARANTINA
Pasal 89
Pelaksanaan tindakan karantina dilakukan oleh petugas karantina. Petugas karantina terdiri dari dokter hewan karantina dan paramedik karantina yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Petugas karantina merupakan pejabat fungsional yang syarat-syaratnya ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Petugas karantina dapat mendukung kelancaran pelayanan media pembawa yang terkait dengan tugas perkarantinaan melalui penugasan khusus oleh Menteri atau Menteri lain yang terkait.
Pasal 90
Dalam melaksanakan tindakan karantina, petugas karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) juga berwenang untuk :
a. memasuki dan memeriksa alat angkut, gudang, kade, apron, ruang keberangkatan dan kedatangan penumpang di tempat pemasukan atau pengeluaran, untuk mengetahui ada tidaknya media pembawa yang dilalulintaskan;
b. melarang setiap orang yang tidak berkepentingan memasuki instalasi dan atau alat angkut serta tempat-tempat di mana sedang dilakukan tindakan karantina tanpa persetujuan dokter hewan karantina;
c. melarang setiap orang untuk menurunkan atau memindahkan media pembawa yang sedang dikenakan tindakan karantina dari alat angkut;
d. melarang setiap orang untuk memelihara, menyembelih, atau membunuh hewan di tempat pemasukan, pengeluaran, atau di instalasi karantina, kecuali atas persetujuan dokter hewan karantina;
e. melarang setiap orang untuk menurunkan atau membuang bangkai hewan, sisa pakan, sampah, bahan, atau barang yang pernah berhubungan dengan hewan dari alat angkut; dan atau
f. menetapkan cara perawatan dan pemeliharaan media pembawa yang sedang dikenakan tindakan karantina.
Selain kewenangan dalam bidang karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petugas karantina yang dokter hewan karantina juga berwenang dalam bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di atas alat angkut, instalasi karantina, atau tempat-tempat di dalam lingkungan wilayah tempat pemasukan atau pengeluaran.
Pasal 91
Penyidikan tindak pidana di bidang karantina hewan, dapat dilakukan oleh petugas karantina yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
Perintah dan putusan dokter hewan karantina atau pelaksanaan tindakan karantina, harus dilakukan secara tertulis dalam bentuk dokumen karantina. Ketentuan mengenai dokumen karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Untuk menunjang kelancaran arus barang di tempat pemasukan atau pengeluaran, dokumen karantina dapat disampaikan langsung oleh petugas karantina yang menerbitkannya melalui fasilitas elektronik.
Pasal 93
(1) Perawatan dan atau pemeliharaan media pembawa selama masa karantina atau penahanan menjadi urusan dan tanggung jawab pemilik.
(2) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina terjadi kerusakan di dalam instalasi karantina oleh pemakai jasa karantina, maka perbaikannya menjadi beban dan tanggung jawab pemakai.
(3) Jika pelaksanaan tindakan karantina di luar tempat kedudukan petugas karantina, maka setiap keperluan untuk menunjang kelancaran tugasnya menjadi beban dan tanggung jawab pemilik media pembawa.
Pasal 94
Dalam melaksanakan tugasnya, dokter hewan karantina juga harus memperhatikan kode etik dokter hewan karantina. Jika dokter hewan karantina telah melaksanakan tugas sebagaimana mestinya sesuai tanggung jawab profesi sebagai dokter hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), maka kerugian yang ditimbulkan akibat pelaksanaan tindakan karantina, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pemerintah atau dokter hewan karantina. Jika dokter hewan karantina tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya yang dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik dan atau pelanggaran profesi, maka Menteri dapat menjatuhkan sanksi kepada dokter hewan karantina setelah mendengar pertimbangan organisasi profesi dengan tidak menutup kemungkinan dapat dikenakan sanksi perdata atau pidana.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 95
Semua peraturan pelaksanaan di bawah Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan karantina hewan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibuat yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 96
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan sepanjang mengatur penolakan dan karantina hewan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 97
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 161
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2000
TENTANG
KARANTINA HEWAN
UMUM
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan pada tanggal 8 Juni 1992, penyelenggaraan kegiatan karantina hewan, ikan dan tumbuhan di Indonesia telah mempunyai landasan hukum baru yang lengkap dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Sebagaimana umumnya suatu Undang-undang, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan-ketentuan yang lebih operasional dalam suatu Peraturan Pemerintah yang lebih spesifik sifatnya, khusus mengatur mengenai pelaksanaan karantina hewan. Ada dua masalah dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 yang secara tegas diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, yaitu masalah jasa karantina dan masalah transit alat angkut yang mengangkut media pembawa. Namun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan untuk mengatur lebih lanjut masalah-masalah lain di luar kedua masalah tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah, mengingat masalah yang akan diatur mempunyai implikasi yang luas terhadap kepentingan umum atau menyangkut kompetensi dalam berbagai departemen sehingga pelaksanaannya memerlukan koordinasi antar departemen. Selain itu sebagian dari masalah tersebut merupakan materi baru atau yang tidak secara jelas diatur dalam Undang-undang tersebut. Dengan tertuangnya materi tentang karantina dalam Peraturan Pemerintah ini, maka pelaksanaan karantina hewan akan memiliki landasan hukum yang lebih pasti. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini juga dikaitkan dan diselaraskan hubungan antara pelaksanaan karantina hewan dengan kebijaksanaan bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner sebagai kesatuan dalam mata rantai kesisteman pengamanan/perlindungan sumber daya hayati hewan. Begitu pula dengan kesepakatan, rekomendasi, peraturan ataupun konvensi internasional yang menyangkut bidang karantina hewan, juga diperhatikan sebagai acuan agar ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah ini harmonis dengan aturan main global. Atas pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, selain masalah jasa karantina dan transit alat angkut, dalam Peraturan Pemerintah ini juga diatur lebih lanjut masalah persyaratan karantina, tindakan karantina terhadap pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa, tindakan karantina hewan terhadap alat angkut, tindakan karantina hewan terhadap media pembawa lain, tindakan karantina hewan di luar tempat pemasukan dan pengeluaran, kawasan karantina, jenis hama penyakit hewan karantina dan media pembawa, penetapan tempat pemasukan dan pengeluaran, instalasi karantina hewan serta pengembangan peran serta masyarakat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Angka 16
Cukup jelas
Angka 17
Cukup jelas
Angka 18
Cukup jelas
Angka 19
Cukup jelas
Angka 20
Cukup jelas
Angka 21
Yang dimaksud dengan:
desinfeksi adalah upaya yang dilakukan untuk membebaskan media pembawa dari jasad renik secara fisik atau kimia, antara lain seperti pemberian desinfektan, alkohol, NaOH, dll;
desinsektasi adalah upaya yang dilakukan untuk membebaskan media pembawa dari hama insekta, antara lain seperti pemberian insektisida, DDT dll;
fumigasi adalah upaya yang dilakukan untuk membebaskan media pembawa dari jasad renik dengan cara pemberian uap fumigan, antara lain seperti KMnO4, dll.
Angka 22
Cukup jelas
Angka 23
Cukup jelas
Angka 24
Penanggung jawab alat angkut adalah termasuk pilot, nakhoda, masinis atau pengemudi.
Angka 25
Cukup jelas
Angka 26
Cukup jelas
Angka 27
Cukup jelas
Angka 28
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Sertifikat kesehatan dari negara asal dan dari negara transit yang diterbitkan pejabat yang berwenang sesuai dengan kebijaksanaan masing-masing negara yang pada beberapa negara tertentu, sertifikasi bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan dapat diterbitkan oleh pemeriksa (belum tentu dokter hewan) di tempat asal media pembawa dan tidak perlu disertifikasi ulang oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran.
Huruf b
Surat keterangan asal bagi media pembawa yang tergolong benda lain dapat diterbitkan oleh produsen, tempat pengumpulan, atau pengolahan sehingga tidak harus memerlukan surat keterangan dari instansi pemerintah.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Sertifikat sanitasi terhadap bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini diperuntukkan bagi media pembawa yang belum diolah. Khusus untuk teknis pemeriksaan bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan bagi keperluan konsumsi manusia, selain berpedoman pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 juga berpedoman pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1993 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Sedangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan merupakan payung dari pelaksanaan pengawasan sanitasi secara umum bagi bahan pangan yang belum diolah maupun yang telah diolah, baik dari segi keamanan maupun dari segi mutu dan gizi.
Ayat (2)
Ektoparasit adalah parasit yang terdapat pada permukaan tubuh hewan, antara lain pinjal, caplak, kutu, dan jamur. Selain itu ektoparasit juga dapat berperan sebagai vektor yang dapat memindahkan hama penyakit hewan karantina.
Ayat (3)
Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kesehatan manusia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Maksud penundaan pemeriksaan oleh dokter hewan karantina pada ayat ini semata-mata hanya karena alasan teknis seperti misalnya pemeriksaan pada malam hari ditunda keesokan harinya, menungggu instalasi karantina yang masih dipakai, atau ketidaksiapan petugas karantina karena bertepatan dengan hari libur. Namun tetap tidak mengurangi pengamanan terhadap resiko masuk, menyebar dan keluarnya hama penyakit hewan karantina.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud “dalam hal tertentu” dalam ayat ini merupakan suatu keadaan yang dinilai memiliki potensi penyebaran penyakit yang dapat ditimbulkan oleh lalu lintas media pembawa, melalui suatu metoda penilaian dan manajemen risiko (risk analysis).
Ayat (2)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini merupakan prosedur dasar karantina yang harus diikuti oleh setiap pemakai jasa karantina. Bagi media pembawa yang berisiko tinggi dapat ditetapkan kewajiban tambahan selain prosedur dasar tersebut di atas sebelum pengeluaran dan atau pada waktu pemasukan, antara lain seperti pemeriksaan kausa penyakit, vaksinasi, pengobatan, penetapan daerah asal, daerah transit, daerah tujuan, pelabuhan dan instalasi karantina. Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan zoonosis dalam ayat ini adalah hama penyakit hewan yang dapat ditularkan kepada manusia atau sebaliknya.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemeriksaan kesehatan secara fisik disebut juga sebagai pemeriksaan pendahuluan atau pemeriksaan tahap awal, apabila dilakukan secara umum terhadap pengiriman media pembawa (shipment). Istilah organoleptik dimaksudkan sebagai pemeriksaan dengan mempergunakan panca indra manusia antara lain seperti bau, rasa, dan lain-lain.
Ayat (3)
Pengertian “dalam keadaan tertentu” dalam ayat ini adalah keadaan di mana kondisi media pembawa dan situasi lingkungannya tidak mengganggu proses pengukuhan diagnosa oleh dokter hewan karantina.
Ayat (4)
Pemeriksaan yang dimaksud dalam ayat ini ditujukan untuk mengukuhkan diagnosa melalui pemeriksaan terhadap penyebab penyakit atau kausa penyakit, apabila pada pemeriksaan tahap awal belum dapat dikukuhkan. Pemeriksaan kausa penyakit tersebut selain melalui pemeriksaan laboratoris, dapat juga dilakukan melalui pemeriksaan patologi yaitu pemeriksaan terhadap bangkai atau organ, dan uji biologis yaitu pengujian dengan mempergunakan hewan hidup, serta uji diagnostika yaitu pengujian yang telah memiliki alat, bahan, dan penilaian yang mempunyai standar baku.
Ayat (5)
Laboratorium yang ditunjuk dalam ayat ini adalah laboratorium yang telah diakreditasi oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Pengamatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah observasi, sedangkan sistem semua-masuk semua-keluar (all in all out) bertujuan untuk mencegah penularan hama penyakit hewan karantina melalui kelompok media pembawa dengan pengertian bahwa putusan pembebasan tidak boleh didasarkan atas hasil pengamatan dan pemeriksaan individu atau sebagian dari kelompok media pembawa yang masuk ke dalam instalasi karantina pada periode yang sama. Ayat (2)
Pengamatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah surveillance yaitu kegiatan penyidikan penyakit yang bertujuan untuk menetapkan status penyakit suatu negara, area, atau tempat atau pemetaan hama penyakit hewan karantina.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian masa inkubasi adalah lamanya waktu yang diperlukan agen penyakit sejak dari waktu menginfeksi sampai timbulnya gejala penyakit pada media pembawa.
Sifat subklinis adalah sifat penyakit yang tidak menunjukkan gejala secara klinis atau tanda-tanda penyakit pada fisik media pembawa dari luar.
Sifat pembawa (carrier) adalah hewan yang mengandung agen penyakit, tetapi tidak menimbulkan penyakit pada hewan yang bersangkutan namun dapat menularkannya ke media pembawa lain. Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Penyakit hewan karantina yang belum diketahui masa inkubasinya, antara lain seperti Bovine Spongioform Encephalomyelitis (Mad Cow), Penyakit Nipah Virus, Penyakit Keluron Menular (Brucellosis).
Pasal 12
Ayat (1)
Pengertian preventif dalam ayat ini ditujukan untuk pencegahan penyakit antara lain seperti vaksinasi.
Pengertian kuratif ditujukan untuk penyembuhan antara lain seperti pengobatan melalui pemberian antibiotika.
Pengertian promotif ditujukan untuk pemulihan kondisi dan memacu pertumbuhan antara lain seperti pemberian imbuhan pakan (feed supplement).
Ayat (2)
Tindakan perlakuan dalam ayat ini dapat dilakukan apabila tidak mengganggu proses pemeriksaan selanjutnya antara lain seperti pemberian antibiotika dapat mengganggu proses pengujian jenis bakteri tertentu.
Pasal 13
Ayat (1)
Mengingat fungsi karantina yang sifatnya lintas sektoral maka dalam melaksanakan tindakan karantina, kebijaksanaan dan pengaturan Menteri lain selain Menteri yang bertanggung jawab di bidang perkarantinaan, juga harus diperhatikan sebagai salah satu persyaratan tindakan karantina.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan karantina lain dalam ayat ini adalah tindakan karantina selain penahanan, seperti pemeriksaan laboratorium, pengamatan, perlakuan, dan lain-lain.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Tindakan penolakan umumnya berkaitan dengan masalah kesiapan dan ketersediaan sarana alat angkut. Oleh karena itu penolakan dilakukan pada kesempatan pertama, agar instansi terkait lainnya ikut membantu pengiriman kembali media pembawa tersebut setelah diputuskan untuk ditolak dan menjadikan pengiriman kembali tersebut sebagai prioritas utama.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelaksanaan pemusnahan media pembawa, dapat juga disaksikan oleh pemilik atau kuasanya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dokter hewan yang berwenang dalam ayat ini adalah dokter hewan pemerintah yang memiliki kewenangan dalam bidang kesehatan hewan secara umum.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Tanggung jawab dokter hewan karantina secara berkelanjutan adalah tanggung jawab dokter hewan karantina terhadap sertifikat yang diberikannya walaupun media pembawa yang bersangkutan sudah dibebaskan.
Pasal 17
Ayat (1)
Pengertian “menugaskan” dalam ayat ini tidak termasuk wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan tindakan karantina serta hak profesi dokter hewan antara lain seperti pengukuhan diagnosa dan penentuan terapi. Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
Rencana pemasukan media pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah berupa laporan dalam bentuk formulir sebagai rangkaian prosedur karantina hewan yang baku.
Pasal 19
Ayat (1)
Pengertian “sebelum diturunkan” dalam ayat ini dimaksudkan bahwa alat angkutan yang dipergunakan mengangkut media pembawa terbatas pada angkutan perairan meliputi angkutan laut, angkutan sungai dan danau; angkutan penyeberangan; dan angkutan barang sebagai sarana lalu lintas jalan berupa mobil barang.
Ayat (2)
Pengertian “pemeriksaan pendahuluan” dapat dilihat pada penjelasan Pasal 9 ayat (2). Sedangkan pengertian “hewan yang berstatus sebagai barang muatan” dalam ayat ini adalah hewan yang pengirimannya tercantum dalam dokumen pengangkutan (cargo manifest, bill of loading, airway bill) dan pada umumnya pemilik hewan tidak ikut dalam alat angkut yang sama, serta penanganannya memerlukan pengamanan khusus (liar, ganas, dan lain-lain).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Mutasi media pembawa adalah penambahan atau pengurangan jumlah semula media pembawa dari tempat asal dalam perjalanan menuju ke tempat tujuan.
Huruf b
Pengertian dokumen lain antara lain berupa dokumen yang diwajibkan pada setiap pengiriman media pembawa yang dikenakan pembatasan dari Menteri lain.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Perpanjangan waktu yang dimaksud dalam Pasal ini adalah kelonggaran waktu menunggu tersedianya alat angkut tanpa mengurangi kualitas tindakan karantina yang dilakukan. Sehingga batas jangka waktu kelonggarannya sangat ditentukan oleh tingkat risiko dan penularan hama penyakit hewan karantina dan kemungkinan tersedianya alat angkut.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pengertian “yang dianggap aman” dalam ayat ini diputuskan setelah berkonsultasi dengan penanggung jawab tempat pemasukan atau pengeluaran dan instansi terkait.
Pedoman pengendalian penyakit hewan menular dipergunakan sebagai pegangan setiap petugas teknis dalam menangani kasuskasus penyakit hewan menular yang telah disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Pengertian intensif dalam huruf ini biasanya dipergunakan bagi pengamatan yang dilakukan secara individual dan terus menerus selama masa karantina, namun pengertian ini dapat juga dipergunakan dalam tindakan karantina lainnya antara lain seperti pemeriksaan, pengasingan dan perlakuan.
Huruf b
Pengertian “untuk disembelih” dalam huruf ini yaitu tidak melewati proses, waktu dan tempat lain sebelum disembelih.
Huruf c
Media pembawa sebagai komoditas yang dilalulintaskan dengan sendirinya dapat terkait dengan peraturan perundang-undangan lain, sehingga juga harus memperhatikan peraturan perundang-undangan lain yang terkait antara lain seperti ketentuan kepabeanan atau konvensi-konvensi internasional.
Huruf d
Kewajiban lain adalah kewajiban yang ditetapkan selain persyaratan karantina dan tindakan karantina, antara lain seperti pungutan jasa karantina.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian “diperpanjang sampai dinilai aman” dalam ayat ini adalah murni merupakan pertimbangan profesi yang didasarkan pada masa inkubasi suatu penyakit. Dalam prakteknya perpanjangan ini dihitung mulai dari hari terakhir ditemukannya kematian dan atau ditemukannya gejala klinis penyakit, ditambah masa inkubasi penyakit tersebut. Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “gejala penyakit hewan yang bersifat individual” adalah penyakit yang spesifik terjadi pada individu hewan tertentu atau penyakit yang bersifat degeneratif, antara lain seperti tetanus, milk fever, colic, dan lain-lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan “penyakit hewan menular selain penyakit hewan karantina”, antara lain seperti penyakit cacing, colibaccilosis, dan lain-lain.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “produk” dalam ayat ini adalah jenis dari bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain, antara lain seperti limpa, keju, pakan ternak.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Transit media pembawa yang berasal dari dan atau pernah transit sebelumnya di negara yang masih tertular penyakit golongan I dapat ditolak oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Lokasi transit langsung dalam ayat ini, merupakan lokasi yang telah disetujui dan di bawah pengawasan dokter hewan karantina dalam wilayah tempat transit yang secara khusus disiapkan guna memenuhi persyaratan transit lalu lintas internasional media pembawa. Tindakan karantina biasanya hanya perlakuan berupa desinsektisasi untuk mencegah penularan hama penyakit hewan karantina melalui serangga (sebagai vektor).
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud “dokter hewan yang berwenang” dalam ayat ini lihat penjelasan Pasal 16 ayat (2) sehingga yang lebih penting dijiwai adalah semangat dan pengertian pemeriksaan berkesinambungan (in line inspection) yang menghubungkan fungsi-fungsi profesi tanpa harus selalu melalui jalur birokrasi dalam pemerintahan. Pengertian “dokter hewan yang ditunjuk Menteri” dalam ayat ini dimaksudkan untuk memberikan istilah tersendiri kepada dokter hewan yang bekerja secara penuh (fulltime) dan atau bertanggung jawab atas program kesehatan atau sanitasi media pembawa pada suatu tempat asal yang secara rutin melakukan pengeluaran media pembawa antara lain seperti perusahaan pembibitan, penangkaran satwa, industri pengolahan, balai inseminasi buatan. Penunjukan dokter hewan oleh Menteri dilakukan sesuai prosedur akreditasi. Yang penting diperhatikan adalah bahwa sertifikasi dari tempat atau daerah asal seperti diterangkan di atas sudah cukup sebagai dokumen pendukung/pengantar media pembawa ke dokter hewan karantina tanpa perlu lagi keterangan atau sertifikasi ulang oleh pejabat instansi teknis setempat.
Ayat (3)
Istilah penangkaran biasanya dipergunakan sebagai tempat mengembang-biakkan hewan yang termasuk satwa liar. Ayat (4)
Pengertian dokter hewan dalam ayat ini adalah dokter hewan praktek/ mandiri.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hewan kesayangan” adalah hewan yang dipelihara secara intensif, dianggap sebagai bagian dari keluarga oleh pemiliknya (pet animal).
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Perlakuan terhadap orang biasanya dilakukan dengan cara penyucihamaan terutama bagi orang-orang yang sehari-harinya berhubungan dengan hewan antara lain seperti perawat hewan atau petugas karantina.
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian “sampai dinilai aman” dalam ayat ini, dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 29 ayat (4)
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kelayakan kondisi fisik” dalam ayat ini adalah layak untuk diangkut (fit for travel), yang merupakan penerapan peraturan kesejahteraan hewan (Animal Welfare) dan merupakan persyaratan serta dicantumkan dalam sertifikasi hewan hidup. Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Penahanan di tempat asal dalam ayat ini merupakan penahanan di tempat pengumpulan, pengolahan, dan atau pengawetan antara lain seperti di rumah potong hewan pada waktu tindakan karantina dan pemenuhan semua ketentuan sebelum diberangkatkan dilakukan pada tempat tersebut dengan maksud agar media pembawa yang bersangkutan terjamin isolasinya dari kontaminasi atau pencemaran, sesuai persyaratan dan atau permintaan negara tujuan. Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Tata cara perlakuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mengatur cara desinsektisasi dan atau desinfeksi alat angkut serta desinfeksi penumpang dan atau muatan.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rudapaksa” dalam ayat ini adalah eksploitasi atau penyiksaan terhadap hewan yang berlebihan di luar batas kewajaran.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Persyaratan teknis alat angkut dan kemasan dalam ayat ini hanya mengatur aspek kesejahteraan hewan untuk keselamatan hewan selama dalam perjalanan antara lain seperti ventilasi, penyediaan pakan dan air, kapasitas tampung, serta ukuran kemasan.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kotak sampah karantina (quarantine garbage box) dipergunakan sebagai tempat membuang media pembawa yang biasanya disiapkan pada terminal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Media pembawa lain berupa peralatan bekas dan peralatan orang yang diduga dalam ayat ini merupakan peralatan bekas pakai media pembawa antara lain seperti pelana, brongsong dan bekas kemasan daging, sedangkan peralatan orang antara lain berupa sepatu, alas kaki, pakaian kerja peternak atau perawat hewan atau orang yang sehariharinya berhubungan dengan media pembawa.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud “kemudahan pelayanan dan kelancaran arus barang di tempat pemasukan dan pengeluaran” dalam ayat ini bukan mengenai persyaratan dan prosedur dasar tindakan karantina, akan tetapi ditujukan bagi kemudahan persyaratan teknis berdasarkan penilaian tempat asal sesuai prosedur akreditasi, guna menunjang kelancaran arus barang di tempat pemasukan dan pengeluaran. Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Hewan bibit adalah hewan yang diperoleh melalui serangkaian proses seleksi untuk dikembangbiakkan.
Bahan biologik reproduksi adalah bahan yang diperoleh dari hewan bibit untuk diproses lebih lanjut menjadi hewan.
Sedangkan yang dimaksud “kemudahan” dalam ayat ini adalah kemudahan persyaratan teknis karantina, dengan pertimbangan bahwa kemudahan terhadap hewan bibit, bahan biologik reproduksi dan hewan hasil penangkaran adalah karena adanya jaminan cara pemeriksaan status kesehatan dan sanitasi yang lebih intensif. Ayat (2)
Metode sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1), juga diterapkan terhadap media pembawa berupa bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain, yang diutamakan pada aspek sanitasi tempat asal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dengan “pihak lain” dalam Pasal ini adalah orang atau badan usaha berbadan hukum ataupun tidak, yang telah diakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri untuk membantu tindakan karantina dan atau penyediaan instalasi karantina, antara lain seperti bantuan tindakan desinfektasi, pembuatan kandang, dan lain-lain. Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Penilaian status atau situasi hama penyakit hewan karantina dan atau pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan persyaratan teknis dapat dilakukan di negara asal atau transit, sesuai dengan ketentuan Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “alasan yang terpaksa” dalam ayat ini adalah alasan yang menyangkut alat angkut itu sendiri antara lain seperti kapal akan tenggelam, kebakaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “alasan lain” dalam ayat ini dapat berupa alasan-alasan yang tidak berdasarkan teknis perkarantinaan antara lain seperti kualitas produk, barang yang dilarang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian tidak memenuhi persyaratan karantina dalam ayat ini merupakan tindak pidana karena tidak dilaporkan, tidak diperiksa, tidak melalui tempat yang ditetapkan dan atau diselundupkan pada waktu pengeluarannya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan Menteri” dalam ayat ini adalah agar memperhatikan peraturan perundangan lain apabila akan melakukan tindakan pemusnahan, seperti antara lain pemusnahan terhadap orang utan yang tergolong hewan yang dilindungi/dilestarikan.
Pasal 66
Ayat (1)
Barang yang ditahan adalah barang yang belum memenuhi persyaratan karantina dan dilakukan tindakan penahanan oleh karantina. Sedangkan barang bukti adalah barang yang dijadikan bukti atau barang yang ditahan dan telah menjadi barang bukti untuk proses pemeriksaan di pengadilan. Ayat (2)
Pelaksanaan pemusnahan dalam ayat ini harus juga disaksikan oleh jaksa penuntut umum.
Pasal 67
Ayat (1)
Pengertian “barang yang dinyatakan tidak dikuasai, dikuasai Negara dan yang menjadi milik Negara” dalam Pasal ini merupakan pengertian dari aspek kepabeanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang juga berhubungan dengan tugas fungsi perkarantinaan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992, dengan maksud untuk menghubungkan antara dua tugas fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud di atas agar dalam pelaksanaannya terjadi koordinasi yang lebih harmonis. Ayat (2)
Khusus terhadap media pembawa yang telah dinyatakan telah menjadi milik negara, pertimbangan dokter hewan karantina disampaikan kepada Menteri Keuangan, berdasarkan kewenangannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Pengertian “hewan organik” dalam ayat ini adalah hewan-hewan yang dilatih dan dipelihara secara intensif guna membantu tugas-tugas kedinasan milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian, juga bagi hewan milik instansi pemerintah lainnya antara lain seperti Bea Cukai, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Pengertian “area-area” dalam ayat ini dapat berupa satu atau beberapa daerah adminstratif dalam suatu pulau, atau kelompok pulau di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 74
Ayat (1)
Wabah adalah kejadian penyakit luar biasa yang dapat berupa timbulnya suatu penyakit hewan menular baru di suatu daerah atau kenaikan kasus penyakit hewan menular mendadak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Penetapan kawasan karantina merupakan penetapan yang bersifat teknis berdasarkan atas kejadian penyakit pada satu atau beberapa daerah yang semula diketahui bebas dari hama penyakit hewan karantina, sehingga kejadian seperti itu dapat saja melintasi satu atau beberapa batas wilayah administratif. Penetapan kawasan karantina ini dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan penutupan daerah kabupaten atau kota oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 75
Ayat (1)
Daya epidemis adalah daya penyebaran penyakit, sedangkan daya patogenitas adalah kemampuan suatu agen penyakit untuk dapat menimbulkan derajat kesakitan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud “pihak yang berwenang” dalam ayat ini adalah pihakpihak yang tugas dan fungsi utamanya melakukan penyidikan hama penyakit hewan, antara lain seperti Balai Penyidikan Penyakit Hewan, Dinas Peternakan, OIE, FAO.
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam menetapkan tempat pemasukan, transit atau pengeluaran perlu mempertimbangkan kelancaran perekonomian dan alasan-alasan yang berasaskan kelestarian sumber daya alam hayati hewan.
Pasal 80
Ayat (1)
Pada prinsipnya penyediaan fasilitas instalasi karantina menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun dalam kondisi keuangan negara tidak memungkinkan, pihak lain dapat menyediakan fasilitas tersebut demi kelancaran pelaksanaan tindakan karantina (lihat juga penjelasan Pasal 60 ayat (1)). Dalam perkembangannya selain Pemerintah Pusat, penyediaan fasilitas instalasi karantina tersebut dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Daerah, atau Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Penetapan persyaratan teknis karantina dan instalasi karantina yang dimaksud dalam ayat ini adalah untuk menjamin terpenuhinya standar persyaratan teknis instalasi karantina yang dipergunakan sebagai acuan oleh pihak pemerintah dan pihak lain. Dalam penetapan ini juga harus mendengar pertimbangan dokter hewan karantina.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemakaian instalasi karantina pihak lain seperti yang dimaksud dalam ayat ini dapat dipergunakan oleh pihak lain sepanjang untuk keperluan pelaksanaan tindakan karantina.
Pasal 82
Ayat (1)
Metode Karantina Pasca Masuk (KPM) yang dulunya belum diterapkan pada karantina hewan, dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran hewan, juga telah diimplementasikan pada jenis media pembawa yang cara pendeteksian penyakitnya belum dapat dilakukan menunggu pertumbuhan dan atau perkembangan media pembawa yang bersangkutan, antara lain seperti pada bibit hewan, biologik reproduksi dan satwa liar. Metode ini sangat erat hubungannya dengan penyakit yang bersifat maternal dan atau manajemen kesehatan yang tidak jelas sejarahnya. Pada keadaan yang situasi penyakit dan manajemen kesehatannya sudah maju dan dianggap tidak terlalu berisiko, metode KPM tidak perlu diterapkan sepenuhnya, cukup dengan melakukan akreditasi dan pemantauan (monitoring). Akan tetapi dalam keadaan sebaliknya seperti pengamatan penyakit pada jenis satwa liar, metode KPM ditetapkan tanpa batas waktu pengamatan, malah termasuk keturunannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Pengertian “in situ” adalah pemeliharaan atau penangkaran satwa liar di habitat alam atau aslinya, seperti jenis hewan Badak di Taman Nasional Ujung Kulon. Sedangkan “eks situ” adalah pemeliharaan atau penangkaran satwa liar di habitat buatan atau tiruan, seperti jenis hewan Jerapah di Taman Safari atau Kebun Binatang.
Adapun pengertian “tindakan karantina pasca masuk” dalam ayat ini, dapat dilihat pada penjelasan Pasal 84 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepentingan nasional” antara lain digunakan untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan serta peningkatan mutu genetik ternak.
Sedangkan yang dimaksud “instalasi karantina pengamanan maksimum” dalam ayat ini adalah instalasi yang terdiri atas suatu tempat atau lokasi yang terisolasi dari wilayah pengembangan budi daya ternak dan dipergunakan sebagai pelaksanaan tindakan karantina bagi hewan impor yang tertular hama penyakit hewan karantina yang menurut hasil analisis memiliki risiko tinggi. Metode ini biasanya diterapkan oleh negara-negara besar yang memiliki pulau yang lokasinya terisolasi antara lain seperti Australia, Amerika Serikat dan Selandia Baru. Tindakan karantina seperti ini dilaksanakan secara maksimum yang artinya semua tindakan karantina termasuk berbagai pengujian dan pengamatan dilakukan per individu dan berulang kali hingga dianggap benar bebas dari kausa penyebab penyakit dan tidak membahayakan kesehatan manusia. Kecurigaan terhadap jenis penyakit yang dapat ditularkan melalui induk (maternal), tindakan karantinanya juga dilakukan terhadap keturunannya, sehingga bibit impor baru dapat dibebaskan setelah menghasilkan keturunan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Kerja sama dengan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini antara lain meliputi : kelancaran tindakan karantina, penilaian status negara, area atau tempat, informasi situasi hama penyakit, harmonisasi protokol dan peraturan, standarisasi pengujian dan produk, rekomendasi, referensi dan konsultasi teknis, pertemuan ilmiah serta kerja sama yang saling menguntungkan.
Ayat (2)
Kerja sama dengan negara lain dilakukan melalui atau oleh Menteri Luar Negeri, namun dalam pelaksanaannya kerja sama teknis sering melibatkan menteri lain yang terkait seperti Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Mengingat bahwa semua pelaksanaan tindakan karantina harus dilaksanakan oleh petugas yang memiliki profesi dokter hewan karantina dan dibantu petugas yang memiliki ketrampilan sebagai paramedik karantina, maka petugas karantina tersebut dapat diberi kewenangan untuk memangku jabatan sebagai pejabat fungsional. Ayat (4)
Pengertian “tindakan yang mendukung kelancaran pelayanan media pembawa” dalam Pasal ini berkaitan dengan kewenangan Menteri atau Menteri lain yang juga dilaksanakan oleh karantina hewan, antara lain seperti pengawasan pembatasan lalu lintas satwa liar (fauna) yang menjadi wewenang Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang konservasi sumber daya alam hayati.
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud “fasilitas elektronik” dalam ayat ini antara lain seperti:
faksimile, e-mail, EDI (Electronic Data Interchange) dan lain-lain, tetapi tetap tidak mengurangi kewajiban pemilik untuk melengkapi dokumen karantina aslinya.
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2000
TENTANG
KARANTINA HEWAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
1. bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkarantinaan hewan yang melindungi dan melestarikan sumber daya alam hayati hewan, sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi serta perkembangan hukum nasional dan internasional;
2. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 27 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Karantina Hewan;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KARANTINA HEWAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan :
1. Media pembawa hama penyakit hewan karantina yang selanjutnya disebut media pembawa adalah hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan atau benda lain yang dapat membawa hama penyakit hewan karantina.
2. Hewan adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar.
3. Bahan asal hewan adalah bahan yang berasal dari hewan yang dapat diolah lebih lanjut.
4. Hasil bahan asal hewan adalah bahan asal hewan yang telah diolah.
5. Benda lain adalah media pembawa yang bukan tergolong hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang mempunyai potensi penyebaran penyakit hama dan penyakit hewan karantina.
6. Area adalah daerah dalam suatu pulau, pulau, atau kelompok pulau di dalam negara Republik Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama penyakit hewan karantina.
7. Pemasukan adalah kegiatan memasukkan media pembawa dari luar ke dalam wilayah negara Republik Indonesia atau ke suatu area dari area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
8. Transit adalah singgah sementara alat angkut di suatu pelabuhan dalam perjalanan yang membawa hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, dan benda lain sebelum sampai di pelabuhan yang dituju.
9. Pengeluaran adalah kegiatan mengeluarkan media pembawa ke luar dari wilayah Negara Republik Indonesia atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
10. Tempat pemasukan dan tempat pengeluaran adalah pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain dan tempat-tempat lain yang ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan dan atau mengeluarkan media pembawa.
11. Tempat asal adalah tempat di mana hewan dibudidayakan, dipelihara, ditangkar atau habitatnya dan tempat-tempat pengumpulan, pengolahan atau pengawetan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan atau benda lain.
12. Dokumen karantina hewan yang selanjutnya disebut dokumen karantina adalah semua formulir resmi yang ditetapkan oleh Menteri dalam rangka tertib administrasi pelaksanaan tindakan karantina.
13. Dokumen lain adalah surat yang diterbitkan Menteri lain yang terkait atau oleh pejabat yang ditunjuk olehnya sebagai persyaratan utama dan atau pendukung untuk setiap pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa.
14. Hama dan penyakit hewan karantina yang selanjutnya disebut hama penyakit hewan karantina adalah semua hama, hama penyakit, dan penyakit hewan yang berdampak sosio-ekonomi nasional dan perdagangan internasional serta menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat veteriner yang dapat digolongkan menurut tingkat risikonya.
15. Hama penyakit hewan karantina golongan I adalah hama penyakit hewan karantina yang mempunyai sifat dan potensi penyebaran penyakit yang serius dan cepat, belum diketahui cara penanganannya, belum terdapat di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.
16. Hama penyakit hewan karantina golongan II adalah hama penyakit hewan karantina yang potensi penyebarannya berhubungan erat dengan lalu lintas media pembawa, sudah diketahui cara penanganannya dan telah dinyatakan ada di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.
17. Tindakan karantina hewan yang selanjutnya disebut tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk ke, tersebar di, dan atau keluar dari wilayah negara Republik Indonesia.
18. Instalasi karantina hewan yang selanjutnya disebut instalasi karantina adalah suatu bangunan berikut peralatan dan lahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina.
19. Alat angkut adalah alat angkutan dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang langsung berhubungan dengan media pembawa.
20. Kemasan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus media pembawa baik yang bersentuhan langsung maupun tidak.
21. Sucihama adalah tindakan membersihkan dari hama atau hama penyakit seperti antara lain desinfeksi, desinsektisasi, dan fumigasi.
22. Pemilik media pembawa adalah orang atau badan hukum yang memiliki media pembawa dan atau yang bertanggung jawab atas pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa.
23. Penanggung jawab tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran adalah pimpinan instansi yang bertanggung jawab untuk mengelola tempat pemasukan, transit atau pengeluaran.
24. Penanggung jawab alat angkut adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas kedatangan, keberangkatan, atau transit alat angkut.
25. Petugas karantina hewan yang selanjutnya disebut petugas karantina adalah pegawai negeri tertentu yang diberi tugas untuk melakukan tindakan karantina.
26. Dokter hewan petugas karantina yang selanjutnya disebut dokter hewan karantina adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh Menteri untuk melaksanakan tindakan karantina.
27. Paramedik karantina hewan yang selanjutnya disebut paramedik karantina adalah petugas teknis yang ditunjuk oleh Menteri untuk membantu pelaksanaan tindakan karantina.
28. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan karantina hewan.
BAB II
PERSYARATAN KARANTINA
Pasal 2
Media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia, wajib :
1. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di negara asal dan negara transit;
2. dilengkapi surat keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda lain;
3. melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditetapkan; dan
4. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 3
Media pembawa yang dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, wajib :
1. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh dokter hewan karantina dari tempat pengeluaran dan tempat transit;
2. dilengkapi surat keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda lain;
3. melalui tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan; dan
4. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pemasukan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 4
Media pembawa yang akan dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia, wajib :
1. dilengkapi sertifikat kesehatan yang diterbitkan oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran;
2. dilengkapi surat keterangan asal dari tempat asalnya bagi media pembawa yang tergolong benda lain;
3. melalui tempat-tempat pengeluaran yang telah ditetapkan; dan
4. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina di tempat pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c untuk keperluan tindakan karantina.
Pasal 5
(1) Sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Pasal 3 huruf a dan Pasal 4 huruf a, dapat berbentuk sertifikat kesehatan hewan yang diperuntukkan bagi jenis hewan atau sertifikat sanitasi yang diperuntukkan bagi jenis bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan.
(2) Sertifikat kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang- kurangnya memuat keterangan tentang :
a. asal negara, area, atau tempat yang dalam kurun waktu tertentu tidak berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui jenis hewan tersebut; dan
b. saat pemberangkatan tidak menunjukan gejala hama penyakit hewan menular, bebas ektoparasit, dalam keadaan sehat dan layak diberangkatkan.
(3) Sertifikat sanitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurangkurangnya memuat keterangan tentang :
a. asal negara, area, atau tempat yang dalam kurun waktu tertentu tidak berjangkit hama penyakit hewan karantina;
b. berasal dari jenis hewan yang sehat;
c. bebas dari hama dan penyakit yang dapat ditularkan melalui jenis bahan asal hewan atau hasil bahan asal hewan tersebut; dan
d. khusus bagi keperluan konsumsi manusia telah sesuai dengan ketentuan teknis mengenai kesehatan masyarakat veteriner serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Surat keterangan asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, Pasal 3 huruf b, dan Pasal 4 huruf b diperuntukkan bagi benda lain, yang sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang : produk, negara, area, atau tempat asal dan perlakuan sanitasi.
(5) Kurun waktu tertentu tidak berjangkitnya hama penyakit hewan karantina pada negara, area, atau tempat asal media pembawa yang harus dicantumkan pada sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 6
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, Pasal 3 huruf d dan Pasal 4 huruf d, bagi hewan disampaikan paling singkat 2 (dua) hari sebelum pemasukan atau pengeluaran, sedangkan bagi bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain disampaikan paling singkat 1(satu) hari sebelum pemasukan atau pengeluaran.
(2) Khusus bagi pemasukan media pembawa yang dibawa oleh penumpang, jangka waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada saat pemasukan.
(3) Pemilik media pembawa yang tidak mengikuti ketentuan waktu pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atas pertimbangan teknis pemeriksaan, kesiapan petugas, dan atau sarana prasarana yang diperlukan, dokter hewan karantina dapat menunda pemeriksaan.
(4) Terhadap media pembawa yang tidak dilaporkan kepada petugas karantina pada saat pemasukan atau pengeluaran, dilakukan penahanan.
Pasal 7
(1) Selain persyaratan yang diwajibkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4, dalam hal tertentu Pemerintah dapat menetapkan kewajiban tambahan.
(2) Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa persyaratan teknis dan atau manajemen penyakit berdasarkan disiplin ilmu kedokteran hewan.
(3) Kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB III
TINDAKAN KARANTINA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 8
(1) Media pembawa yang dimasukkan ke dalam, dibawa, atau dikirim dari suatu area ke area lain, transit di dalam, dan atau dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia dikenakan tindakan karantina.
(2) Tindakan karantina berupa pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan.
(3) Pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa yang membahayakan kesehatan manusia, dikoordinasikan dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang kesehatan masyarakat veteriner dan zoonosis.
Pasal 9
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen dan mendeteksi hama penyakit hewan karantina, status kesehatan dan sanitasi media pembawa, atau kelayakan sarana prasarana karantina dan alat angkut.
(2) Pemeriksaan kesehatan atau sanitasi media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan secara fisik dengan cara :
a. pemeriksaan klinis pada hewan; atau
b. pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan pada siang hari, kecuali dalam keadaan tertentu menurut pertimbangan dokter hewan karantina dapat dilaksanakan pada malam hari.
(4) Jika pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum dapat dikukuhkan diagnosanya, maka dokter hewan karantina dapat melanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium, patologi, uji biologis, uji diagnostika, atau teknik dan metoda pemeriksaan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi.
(5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dilakukan pada laboratorium yang ditunjuk. Pasal 10
(1) Pengasingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap sebagian atau seluruh media pembawa untuk diadakan pengamatan, pemeriksaan dan perlakuan dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan penularan hama penyakit hewan karantina.
(2) Lamanya waktu pengasingan sangat tergantung pada lamanya waktu yang dibutuhkan bagi pengamatan, pemeriksaan, dan atau perlakuan terhadap media pembawa.
(3) Lamanya waktu pengasingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dipergunakan sebagai dasar penetapan masa karantina.
(4) Masa karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), terhitung sejak media pembawa diserahkan oleh pemiliknya kepada petugas karantina sampai dengan selesainya pelaksanaan tindakan karantina terhadap media pembawa.
Pasal 11
(1) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan untuk mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina dengan cara mengamati timbulnya gejala hama penyakit hewan karantina pada media pembawa selama diasingkan dengan mempergunakan sistem semua masuk-semua keluar.
(2) Selain pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengamatan juga dapat dilakukan untuk mengamati situasi hama penyakit hewan karantina pada suatu negara, area, atau tempat.
(3) Lamanya waktu pengamatan atau masa pengamatan terhitung sejak dimulai sampai dengan selesainya pelaksanaan tindakan pengamatan.
(4) Masa pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri berdasarkan lamanya masa inkubasi, dan sifat subklinis penyakit serta sifat pembawa dari suatu jenis media pembawa.
(5) Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. untuk pemasukan dari luar negeri dilakukan di instalasi karantina atau pada tempat atau area pemasukan;
b. untuk pengangkutan antar area, diutamakan pada area pengeluaran; atau
c. untuk pengeluaran ke luar negeri pengamatan disesuaikan dengan permintaan negara tujuan.
(6) Penyakit-penyakit yang belum diketahui masa inkubasi, sifat hama penyakit dan cara penularannya, belum pernah ada, atau sudah bebas di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia, masa pengamatannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 12
(1) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) merupakan tindakan untuk membebaskan dan menyucihamakan media pembawa dari hama penyakit hewan karantina, atau tindakan lain yang bersifat preventif, kuratif dan promotif.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurang-kurangnya hanya dapat dilakukan setelah media pembawa terlebih dahulu diperiksa secara fisik dan dinilai tidak mengganggu proses pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya.
Pasal 13
(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang belum memenuhi persyaratan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7, atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh Menteri lain yang terkait pada waktu pemasukan, transit, atau pengeluaran di dalam wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik terhadap media pembawa dan diduga tidak berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina.
(3) Selama masa penahanan dapat dilakukan tindakan karantina lain yang bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan adanya hama penyakit hewan karantina dan penyakit hewan lainnya dan atau mencegah kemungkinan penularannya, menurut pertimbangan dokter hewan karantina.
Pasal 14
(1) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam atau dimasukkan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, apabila ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri, busuk, rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya;
b. persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 tidak seluruhnya dipenuhi;
c. setelah dilakukan penahanan dan keseluruhan persyaratan yang harus dilengkapi dalam batas waktu yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi; atau
d. setelah diberikan perlakuan di atas alat angkut, tidak dapat disembuhkan dan atau disucihamakan dari hama penyakit hewan karantina.
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan terhadap media pembawa yang transit dan akan dikeluarkan dari satu area ke area lain atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dilakukan oleh atau berkoordinasi dengan penanggung jawab tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran segera setelah memperoleh saran dari dokter hewan karantina.
(4) Jika penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditetapkan batas waktunya secara khusus, maka penolakannya dilakukan pada kesempatan pertama.
Pasal 15
(1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dan atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, apabila ternyata:
a. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut dan dilakukan pemeriksaan, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri, busuk, rusak, atau merupakan jenis-jenis yang dilarang pemasukannya;
b. media pembawa yang ditolak tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu yang ditetapkan;
c. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan, tertular hama penyakit hewan karantina tertentu yang ditetapkan oleh Menteri; atau
d. setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat angkut dan diberi perlakuan, tidak dapat disembuhkan dan atau disucihamakan dari hama penyakit hewan karantina.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan terhadap media pembawa yang diturunkan pada waktu transit atau akan dikeluarkan dari satu area ke area lain atau ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), harus disaksikan oleh petugas kepolisian dan petugas instansi lain yang terkait.
(4) Pemusnahan media pembawa yang dilakukan di luar instalasi karantina tempat pemasukan dan atau tempat pengeluaran, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 16
(1) Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dan atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat pelepasan apabila ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina;
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina;
c. setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan karantina; atau
d. setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat dipenuhi.
(2) Pemberian sertifikat pelepasan terhadap media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditujukan kepada dokter hewan yang berwenang di daerah tujuan.
(3) Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dilakukan terhadap media pembawa yang akan dikeluarkan dari dalam atau dikeluarkan dari satu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan diberikan sertifikat kesehatan apabila ternyata :
a. setelah dilakukan pemeriksaan tidak tertular hama penyakit hewan karantina;
b. setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tidak tertular hama penyakit hewan karantina;
c. setelah dilakukan perlakuan dapat disembuhkan dari hama penyakit hewan karantina; atau
d. setelah dilakukan penahanan seluruh persyaratan yang diwajibkan dapat dipenuhi.
(4) Pemberian sertifikat kesehatan terhadap media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ditujukan kepada petugas karantina di tempat pemasukan di negara atau area tujuan.
(5) Sertifikat pelepasan dan sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4), diterbitkan oleh dokter hewan karantina dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam dari saat pembebasan.
(6) Sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), merupakan tanggung jawab dokter hewan karantina secara berkelanjutan.
Pasal 17
(1) Dalam melaksanakan tindakan karantina, dokter hewan karantina dapat dibantu oleh atau dapat menugaskan kepada paramedik karantina.
(2) Wewenang dan tanggung jawab tindakan karantina berada pada dokter hewan karantina.
(3) Pelaksanaan tindakan karantina oleh dokter hewan karantina harus berdasarkan tanggung jawab profesi sebagai dokter hewan.
(4) Paramedik karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada dokter hewan karantina.
Bagian Kedua
Pemasukan
Pasal 18
Rencana pemasukan media pembawa oleh pemilik disampaikan kepada petugas karantina.
Pasal 19
(1) Media pembawa yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia dari luar negeri atau ke dalam suatu area dari area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen karantina serta kesehatannya oleh dokter hewan karantina di atas alat angkut sebelum diturunkan atau melewati tempat pemasukan.
(2) Jika pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan di atas alat angkut, pemeriksaan dapat dilakukan setelah media pembawa diturunkan atau melewati tempat pemasukan dengan ketentuan pemeriksaan pendahuluan telah selesai dilakukan, kecuali untuk hewan yang berstatus sebagai barang muatan.
(3) Khusus untuk media pembawa yang dibawa oleh penumpang, pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan setelah diturunkan dari alat angkut atau melewati tempat pemasukan.
Pasal 20
Selain persyaratan dokumen karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b, Pasal 3 huruf a dan b, serta Pasal 7, pemasukan media pembawa harus dilengkapi :
a. keterangan mutasi muatan untuk hewan, keterangan tidak terjadi kontaminasi selama dalam perjalanan atau catatan suhu untuk bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan yang dipersyaratkan diangkut dalam suhu tertentu dari penanggung jawab alat angkut ; dan atau
b. dokumen lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
(1) Jika pemasukan media pembawa tidak disertai sertifikat kesehatan, sertifikat sanitasi, atau surat keterangan asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b serta Pasal 3 huruf a dan b, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
(2) Media pembawa yang ditolak pemasukannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan penahanan, apabila :
a. pemiliknya menjamin sertifikat kesehatan hewan, sertifikat sanitasi, atau surat keterangan asal, dapat ditunjukkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari;
b. media pembawa tersebut bukan berasal dari negara, area, atau tempat yang pemasukannya dilarang; dan
c. pada pemeriksaan di atas alat angkut menurut pertimbangan dokter hewan tidak ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan I dan risiko penularan hama penyakit hewan karantina golongan II.
(3) Jika pemilik tidak dapat menunjukkan sertifikat kesehatan hewan, sertifikat sanitasi, atau surat keterangan asal dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
(4) Jika media pembawa yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam (1) dan ayat (3), tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam, maka dilakukan pemusnahan.
Pasal 22
(1) Jika pemasukan media pembawa tidak dilengkapi dengan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, maka dilakukan penahanan dengan ketentuan :
a. untuk hewan apabila tidak ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I; atau
b. untuk bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, dan benda lain apabila tidak ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh, terjadi perubahan sifat, terkontaminasi, atau membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia.
(2) Tindakan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dilanjutkan dengan tindakan pengasingan, pengamatan dan pemeriksaan yang lebih intensif, disamping persyaratan teknis yang ditetapkan.
(3) Jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
(4) Lamanya penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tergantung dari lamanya waktu pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(5) Jika media pembawa yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam bagi hewan, dan 3 (tiga) hari bagi bahan asal hewan atau hasil bahan asal hewan, maka dilakukan pemusnahan.
Pasal 23
(1) Jika pemasukan media pembawa tidak memenuhi kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, maka dilakukan penahanan dan pemiliknya diberikan waktu untuk melengkapinya paling lama 7 (tujuh) hari.
(2) Selama masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat dilakukan tindakan karantina lain sesuai dengan persyaratan teknis yang ditetapkan.
(3) Jika ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi, maka media pembawa tersebut ditolak pemasukannya.
Pasal 24
Dalam hal pemilik tidak dapat menyediakan alat angkut dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dan Pasal 22 ayat (5), Menteri dapat memberikan perpanjangan waktu dengan mempertimbangkan tingkat risiko masuk dan menyebarnya hama penyakit hewan karantina.
Pasal 25
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di atas alat angkut perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan sebelum alat angkut yang bersangkutan sandar.
(2) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina; berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan tersebut dilarang atau di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina golongan I; atau ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka :
a. dalam hal pemasukan dari luar negeri, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, ditolak pemasukannya dan dilarang diturunkan, sedangkan alat angkut perairan yang bersangkutan harus segera meninggalkan pelabuhan;
b. dalam hal pemasukan dari area lain dalam wilayah negara Republik Indonesia, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, diturunkan dari alat angkut dan segera dimusnahkan pada perairan yang dianggap aman oleh dokter hewan karantina atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku; atau
c. dalam hal ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka atas pertimbangan dokter hewan karantina tindakan penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, dapat dilakukan terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada hewan yang tertular saja.
(3) Terhadap alat angkut perairan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b, dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. disucihamakan sebelum sandar kembali; dan
b. orang, bahan atau peralatan dan muatan lain yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut, diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 26
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di atas alat angkut udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan segera setelah alat angkut yang bersangkutan mendarat.
(2) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina; berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan tersebut dilarang; berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina golongan I; atau ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka :
a. dalam hal pemasukan dari luar negeri, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, ditolak pemasukannya dan dilarang diturunkan, dan alat angkut udara yang bersangkutan harus segera meninggalkan bandar udara atau apabila tidak memungkinkan, maka dilakukan pengamatan sampai alat angkut udara tersebut meninggalkan bandar udara;
b. dalam hal pemasukan dari area lain dalam wilayah negara Republik Indonesia, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, diturunkan dari alat angkut udara dan dibawa ke tempat yang dianggap aman dalam wilayah bandar udara untuk dimusnahkan atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku; atau
c. dalam hal ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka atas pertimbangan dokter hewan karantina tindakan penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, dapat dilakukan terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada hewan yang tertular saja.
(3) Terhadap alat angkut udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b, dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. disucihamakan sebelum diberangkatkan kembali; dan
b. orang, bahan atau peralatan dan muatan lainnya yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 27
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di atas alat angkut darat dan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan segera setelah alat angkut yang bersangkutan tiba di tempat pemasukan.
(2) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina; berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan tersebut dilarang; berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina golongan I; atau ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka :
a. dalam hal pemasukan dari luar negeri, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, ditolak pemasukannya dan dilarang diturunkan, sedangkan alat angkut darat dan kereta api yang bersangkutan harus segera kembali meninggalkan tempat pemasukan;
b. dalam hal pemasukan dari area lain dalam wilayah negara Republik Indonesia, semua hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, diturunkan dari alat angkut darat dan kereta api untuk dimusnahkan atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku; atau
c. dalam hal ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka atas pertimbangan dokter hewan karantina tindakan penolakan atau pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, dapat dilakukan terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada hewan yang tertular saja.
(3) Terhadap alat angkut darat dan kereta api sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a dan b, dilakukan tindakan sebagai berikut :
a. disucihamakan sebelum masuk kembali atau melanjutkan perjalanan; dan
b. orang, bahan atau peralatan dan muatan lainnya yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 28
(1) Jika dalam pemeriksaan di atas alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) tidak ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan I dan risiko penularan hama penyakit hewan karantina golongan II; tidak terdapat hewan yang berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukan hewan tersebut dilarang atau di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina golongan I; atau tidak ditemukan mutasi yang diduga sebagai akibat dari penularan hama penyakit hewan karantina golongan I, maka setelah dibersihkan dari ektoparasit, hewan tersebut :
a. diangkut langsung ke instalasi karantina apabila harus menjalani tindakan karantina secara intensif;
b. diangkut langsung ke rumah pemotongan apabila untuk disembelih sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku;
c. dibebaskan dengan memberikan persyaratan untuk menjalani tindakan pengasingan, pengamatan, dan atau perlakuan di tempat pemilik, apabila tindakan tersebut tidak diharuskan secara intensif, sepanjang sehat, tidak menunjukkan gejala hama penyakit hewan karantina dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; atau
d. dibebaskan tanpa persyaratan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan sepanjang sehat, tidak menunjukkan gejala hama penyakit hewan karantina dan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(2) Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b, dilaksanakan di bawah pengawasan petugas karantina.
Pasal 29
(1) Selama hewan menjalani tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a dan c, dapat dilanjutkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) untuk mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina.
(2) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya hama penyakit hewan karantina golongan I, maka semua hewan yang rentan dan bahan atau peralatan yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut harus dimusnahkan.
(3) Terhadap bahan atau peralatan yang tidak mungkin dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan terhadap orang, dilakukan penyucihamaan.
(4) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka hewan yang sakit diasingkan, yang mati dimusnahkan dan masa karantinanya diperpanjang sampai dinilai aman dan tidak lagi berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, dengan ketentuan :
a. semua jenis hewan yang rentan terhadap penyakit tersebut diberikan perlakuan;
b. jika perlakuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak berhasil, tidak dapat atau tidak mungkin dilakukan, maka terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada yang sakit dan tertular, harus dilakukan pemusnahan; atau
c. tindakan karantina terhadap hewan yang dimasukkan dari area lain dalam wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dapat disesuaikan dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku.
(5) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan gejala penyakit hewan yang bersifat individual, dan atau penyakit hewan menular selain penyakit hewan karantina, maka :
a. pemilik dapat meminta jasa dokter hewan lain memberikan pengobatan atau perlakuan lain; dan
b. semua kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus diberitahukan kepada dokter hewan karantina.
(6) Jika hewan telah menjalani masa karantina, tidak tertular dan bebas dari gejala hama penyakit hewan karantina, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat pelepasan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan.
Pasal 30
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain di atas alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dilakukan setelah alat angkut sandar, mendarat, atau tiba di tempat pemasukan.
(2) Jika pemeriksaan kesehatan di atas alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memungkinkan, maka dapat dilakukan setelah diturunkan di tempat pemasukan atau pada instalasi karantina, setelah dinilai aman dan tidak berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina.
(3) Jika dalam pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), ditemukan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain:
a. yang berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukannya dilarang; berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut; atau produknya termasuk yang pemasukannya dilarang, maka ditolak pemasukannya; atau
b. yang sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh, terjadi perubahan sifat, terkontaminasi, atau membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka diberikan perlakuan dan apabila tidak berhasil atau tidak mungkin dilakukan, maka ditolak pemasukannya.
(4) Jika penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a dan huruf b, tidak dapat atau tidak mungkin dilakukan, maka bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, dan benda lain tersebut dimusnahkan.
(5) Bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain yang berhasil diberikan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat pelepasan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal 31
Jika dalam pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) dan ayat (2) ditemukan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain:
a. yang bukan berasal dari negara, area, atau tempat dari mana pemasukannya dilarang; bukan berasal dari negara, area, atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut; produknya bukan termasuk yang pemasukannya dilarang; dan
b. yang sanitasinya baik, kemasannya utuh, tidak terjadi perubahan sifat, tidak terkontaminasi, dinilai tidak membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat pelepasan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat(4).
Pasal 32
(1) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) dan atau tidak memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, maka dilakukan penahanan di tempat pemasukan atau di instalasi karantina.
(2) Jika dalam pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditemukan hama penyakit yang membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka dilakukan pemusnahan.
(3) Jika persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak dapat dipenuhi, maka dilakukan penolakan.
(4) Jika dalam pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak ditemukan hama penyakit yang dapat membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat pelepasan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan.
Pasal 33
(1) Orang, alat angkut, bahan atau peralatan, kemasan serta muatan lain yang pernah berhubungan dengan atau terkontaminasi oleh media pembawa yang ditolak atau dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 32 ayat (2) dan ayat (3), juga diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
(2) Tindakan perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), Pasal 31, dan Pasal 32 menurut pertimbangan dokter hewan karantina dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian dari media pembawa yang dimasukkan.
Bagian Ketiga
Transit
Pasal 34
(1) Untuk mencegah masuknya hama penyakit hewan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia melalui transit alat angkut yang membawa hewan dari luar negeri, transit hanya dapat disetujui pada tempat-tempat yang telah ditetapkan.
(2) Persetujuan transit pada tempat-tempat transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri harus mempertimbangkan situasi hama penyakit hewan karantina di negara asal dan atau di tempat-tempat transit sebelumnya dan kemungkinan penularannya melalui jenis hewan tersebut.
(4) Media pembawa yang transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memenuhi ketentuan :
a. dilengkapi sertifikat kesehatan hewan dan harus selalu berada di bawah pengawasan dokter hewan karantina selama transit;
b. dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dokter hewan karantina harus melakukan pemeriksaan secara umum di atas alat angkut;
c. jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan I atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka alat angkut yang bersangkutan diperintahkan segera meninggalkan tempat transit oleh penanggung jawab tempat transit atas saran dokter hewan karantina;
d. hewan dan pemeliharanya dilarang turun selama transit, kecuali untuk keperluan pemuatan kembali ke alat angkut lain atas persetujuan dokter hewan karantina;
e. dalam hal hewan terlanjur diturunkan atau diturunkan untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam huruf d, maka :
(1) jika memperlihatkan gejala hama penyakit hewan karantina golongan I, maka hewan tersebut harus segera dimusnahkan dan alat angkutnya disucihamakan; atau
(2) jika memperlihatkan gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka hewan tersebut diperintahkan untuk segera meninggalkan wilayah negara Republik Indonesia oleh penanggung jawab tempat transit atas saran dokter hewan karantina;
f. bahan atau peralatan yang pernah berhubungan dengan hewan, sisa pakan, kotoran dan lain-lain yang diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, harus dimusnahkan;
g. terhadap bahan atau peralatan sebagaimana dimaksud dalam huruf f yang tidak mungkin dimusnahkan dan terhadap orang, dilakukan penyucihamaan.
(5) Pemindahan hewan transit ke tempat pengeluaran di luar tempat transit harus mendapat persetujuan Menteri dengan pengawalan petugas karantina.
(6) Dalam hal ditemukan hama penyakit hewan karantina dan tindakan karantina yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c dan huruf e, harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang di negara asal dan negara tujuan.
Pasal 35
(1) Untuk mencegah masuknya hama penyakit hewan karantina dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia melalui transit alat angkut yang membawa bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan atau benda lain dari luar negeri, transit hanya dapat dilakukan pada tempat-tempat yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan :
a. dilengkapi sertifikat sanitasi atau surat keterangan asal, harus tetap dijaga keutuhannya dan di bawah pengawasan petugas karantina selama transit;
b. dilarang diturunkan selama transit, kecuali untuk keperluan pemuatan kembali ke alat angkut lain dan dilakukan secara utuh atas persetujuan dokter hewan karantina;
c. dalam hal terlanjur diturunkan dari alat angkut dan dari hasil pemeriksaan ternyata sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh, terjadi perubahan sifat, terkontaminasi atau membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka diperintahkan segera dimuat kembali ke alat angkut oleh dokter hewan karantina;
d. bahan atau peralatan yang pernah berhubungan dengan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain yang diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, harus dimusnahkan;
e. terhadap bahan atau peralatan sebagaimana dimaksud dalam huruf d yang tidak mungkin dimusnahkan dan terhadap orang, dilakukan penyucihamaan; dan
f. pemindahan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan atau benda lain transit ke tempat pengeluaran di luar tempat transit harus mendapat persetujuan dokter hewan karantina dengan pengawalan petugas karantina.
(2) Dalam hal sanitasi yang tidak memenuhi persyaratan dan tindakan karantina yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang di negara asal dan negara tujuan.
Pasal 36
(1) Untuk menjamin terisolasinya media pembawa yang sedang ditransitkan, penanggung jawab tempat transit dapat menetapkan lokasi dan menyediakan fasilitas bagi keperluan transit media pembawa yang berasal dari luar negeri dan akan dimuat ke alat angkut lain atas persetujuan dokter hewan karantina.
(2) Jika dalam lalu lintas internasional dipersyaratkan penyediaan fasilitas lokasi transit langsung, maka dalam memenuhi persyaratan tersebut penanggung jawab tempat transit mempertimbangkan saran dokter hewan karantina yang bertujuan mencegah penularan hama penyakit hewan karantina terutama yang ditularkan melalui serangga.
Pasal 37
(1) Jika negara tujuan mempersyaratkan surat keterangan transit, dokter hewan karantina dapat memberikan surat keterangan transit dimaksud.
(2) Surat keterangan transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sekurangkurangnya
menerangkan status kesehatan atau sanitasi media pembawa, tindakan karantina dan pengamanan yang pernah dilakukan selama transit di wilayah negara Republik Indonesia dan keterangan lain yang diperlukan oleh negara tujuan.
Pasal 38
(1) Untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina melalui transit alat angkut yang membawa media pembawa dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, transit hanya dapat dilakukan pada tempat-tempat atau area-area yang telah ditetapkan.
(2) Tempat-tempat transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan areaarea yang dilarang transit, ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri harus mempertimbangkan peta situasi hama penyakit hewan karantina, jalur perjalanan, analisis risiko dan kesiapan petugas serta sarana dan prasarana yang ada.
(4) Jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), penanggung jawab tempat transit menolak alat angkut tersebut melakukan transit atas saran dokter hewan karantina.
(5) Jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) di tempat pengeluaran pada area terlarang transit atau di tempat pemasukan area tujuan, maka dilakukan penahanan dan ditindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keempat
Pengeluaran
Pasal 39
Rencana pengeluaran media pembawa disampaikan oleh pemilik kepada petugas karantina.
Pasal 40
(1) Media pembawa yang dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia ke luar negeri atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, harus diperiksa kelengkapan, kebenaran isi dan keabsahan dokumen karantina serta kesehatannya oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran, instalasi karantina, atau tempat asal sebelum dimuat ke alat angkut yang mengangkutnya dari tempat pengeluaran.
(2) Jika media pembawa harus menjalani tindakan karantina secara intensif maka pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan di instalasi karantina.
Pasal 41
(1) Media pembawa yang dikeluarkan dari area asal ke tempat pengeluaran harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan hewan, sertifikat sanitasi atau surat keterangan asal dan dokumen lain.
(2) Sertifikat kesehatan hewan atau sertifikat sanitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain diterbitkan oleh dokter hewan yang berwenang juga dapat diterbitkan oleh dokter hewan yang ditunjuk Menteri setelah mendengar pertimbangan organisasi profesi.
(3) Dalam penunjukan dokter hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri harus mempertimbangkan situasi hama penyakit hewan karantina di area atau tempat asal, metode pengamanan penyakit, teknologi budidaya, penangkaran, atau pengolahan produk sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(4) Hewan kesayangan yang secara rutin kesehatannya diawasi oleh dokter hewan atau kelompok dokter hewan, sertifikat kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diberikan oleh dokter hewan atau kelompok dokter hewan yang bersangkutan.
Pasal 42
(1) Jika pengeluaran media pembawa tidak disertai sertifikat kesehatan, sertifikat sanitasi, atau surat keterangan asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), maka ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya.
(2) Hewan kesayangan, bahan asal hewan atau hasil bahan asal hewan bukan untuk konsumsi yang akan dibawa oleh penumpang, dapat diberikan sertifikat kesehatan atau sertifikat sanitasi setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran, dengan ketentuan:
a. bukan berasal dari area atau tempat dari mana pengeluarannya dilarang atau dari daerah di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut; atau
b. tidak termasuk yang pengeluarannya dilarang.
Pasal 43
Jika pengeluaran media pembawa tidak memenuhi kewajiban tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan dokumen lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1), maka :
a. yang pengeluarannya dilarang, dilakukan penahanan dan ditindaklanjuti sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. yang belum memenuhi persyaratan administrasi, ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya; atau
c. yang belum memenuhi persyaratan teknis, ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya atau dimasukkan ke instalasi karantina untuk memenuhi persyaratan teknis.
Pasal 44
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap hewan di tempat pengeluaran, instalasi karantina, atau tempat asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan segera setelah diserahkan oleh pemiliknya.
(2) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina, berasal dari area atau tempat dari mana pengeluaran hewan tersebut dilarang, atau berasal dari area di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina, maka :
a. semua jenis hewan yang rentan terhadap hama penyakit hewan karantina tersebut, ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku;
b. alat angkut yang membawa hewan tersebut dari tempat asalnya harus disucihamakan di tempat pengeluaran atau instalasi karantina; atau
c. terhadap orang, bahan atau peralatan dan muatan lain yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Pasal 45
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) tidak ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina, tidak berasal dari area atau tempat dari mana pengeluaran hewan tersebut dilarang, atau tidak berasal dari area atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina, maka:
a. dimasukkan langsung ke instalasi karantina apabila harus menjalani tindakan karantina secara intensif; atau
b. dibebaskan dan diberikan sertifikat kesehatan apabila tidak diharuskan menjalani tindakan karantina secara intensif sepanjang sehat, tidak menunjukkan gejala hama penyakit hewan karantina dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 46
(1) Selama hewan menjalani tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, dapat dilanjutkan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) untuk mendeteksi lebih lanjut hama penyakit hewan karantina.
(2) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan I, maka semua hewan yang rentan dan bahan atau peralatan yang pernah berhubungan dengan hewan tersebut harus dimusnahkan.
(3) Terhadap bahan atau peralatan yang tidak mungkin dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan terhadap orang, dilakukan penyucihamaan.
(4) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan karantina golongan II, maka hewan yang mati dimusnahkan, yang sakit diasingkan dan masa karantinanya diperpanjang atau ditunda pemberangkatannya sampai dinilai aman dan tidak berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, dengan ketentuan :
a. terhadap semua jenis hewan yang rentan terhadap penyakit tersebut diberikan perlakuan; atau
b. jika perlakuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak berhasil, tidak dapat atau tidak mungkin dilakukan, maka terhadap semua hewan yang rentan atau terbatas pada yang tertular, harus dilakukan pemusnahan atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku.
(5) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan adanya gejala hama penyakit hewan yang bersifat individual dan atau penyakit hewan menular selain penyakit hewan karantina, maka :
a. pemilik dapat meminta jasa dokter hewan lain untuk memberikan pengobatan atau perlakuan lain; dan
b. kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, harus diberitahukan kepada dokter hewan karantina.
(6) Jika hewan telah menjalani masa karantina, tidak tertular dan bebas dari gejala hama penyakit hewan karantina, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat kesehatan setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan.
Pasal 47
(1) Dalam melakukan pembebasan terhadap hewan, dokter hewan karantina selain telah mendeteksi bebas hama penyakit hewan karantina, juga harus mempertimbangkan kelayakan kondisi fisik untuk diberangkatkan sebelum dimuat ke alat angkut.
(2) Dokter hewan karantina wajib menolak pemberangkatan hewan apabila kondisi fisik tidak layak diberangkatkan.
(3) Pelaksanaan pengangkutan hewan dari instalasi karantina ke alat angkut harus dilakukan secara langsung di bawah pengawasan petugas karantina.
Pasal 48
(1) Pemeriksaan kesehatan terhadap bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain di tempat pengeluaran, instalasi karantina, atau tempat asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), dilakukan segera setelah bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain tersebut diserahkan oleh pemiliknya.
(2) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain :
a. yang berasal dari area atau tempat dari mana dilarang pengeluarannya, berasal dari area atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut, atau produknya termasuk yang pengeluarannya dilarang, maka ditolak pengeluarannya dan diserahkan kembali kepada pemiliknya atau dilakukan tindakan sesuai dengan pedoman pengendalian penyakit hewan menular yang berlaku; atau
b. yang sanitasinya tidak baik, kemasannya tidak utuh, terjadi perubahan sifat, terkontaminasi, atau membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka diberikan perlakuan dan apabila tidak berhasil, tidak dapat, atau tidak mungkin dilakukan, maka dilakukan pemusnahan di tempat pengeluaran, di instalasi karantina, atau di tempat asal.
(3) Terhadap bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain yang berhasil diberikan perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, dapat dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat sanitasi setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal 49
Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) ditemukan bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain :
a. yang bukan berasal dari area atau tempat dari mana dilarang pengeluarannya, bukan berasal dari area atau tempat di mana sedang berjangkit hama penyakit hewan karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut, produknya bukan termasuk yang pengeluarannya dilarang; dan
b. yang sanitasinya baik, kemasannya utuh, tidak terjadi perubahan sifat, tidak terkontaminasi, dinilai tidak membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia, maka dilakukan pembebasan dan diberikan sertifikat sanitasi setelah memenuhi kewajiban lain yang ditetapkan, sepanjang tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
Pasal 50
(1) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) memerlukan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), belum memenuhi persyaratan teknis, dan atau belum memenuhi persyaratan negara tujuan, maka dapat dilakukan penahanan di tempat asal, di instalasi karantina, atau di tempat pengeluaran.
(2) Jika dalam pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditemukan hama penyakit yang dapat membahayakan kesehatan hewan dan atau kesehatan manusia, maka dilakukan pemusnahan.
(3) Jika persyaratan teknis dan atau persyaratan negara tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dipenuhi, maka ditolak pengeluarannya dan dikembalikan kepada pemiliknya.
Pasal 51
(1) Orang, alat angkut, bahan atau peralatan, kemasan serta muatan lain yang pernah berhubungan dengan atau terkontaminasi oleh media pembawa yang ditolak atau dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 50 ayat (2), juga diberikan perlakuan dan atau tindakan karantina yang bertujuan untuk mencegah penyebaran hama penyakit hewan karantina.
(2) Tindakan perlakuan, penahanan, pemusnahan, penolakan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 49, serta Pasal 50 menurut pertimbangan dokter hewan karantina dapat dilakukan terhadap seluruh atau sebagian dari media pembawa yang akan dikirim.
Bagian Kelima
Tindakan Karantina terhadap Alat Angkut
Pasal 52
(1) Dalam pelaksanaan tindakan karantina, penanggung jawab alat angkut wajib memberitahukan kedatangan alat angkut kepada petugas karantina di tempat pemasukan, dengan ketentuan :
a. untuk alat angkut perairan, paling singkat 12 (dua belas) jam sebelum alat angkut tiba di tempat pemasukan;
b. untuk alat angkut udara, paling singkat 2 (dua) jam sebelum alat angkut tiba di tempat pemasukan; atau
c. untuk alat angkut darat dan kereta api yang secara khusus digunakan mengangkut media pembawa, pada saat alat angkut tiba di tempat pemasukan.
(2) Pada saat alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tiba di tempat pemasukan, penanggung jawab alat angkut harus menyampaikan keterangan muatan dan jalur yang dilalui kepada petugas karantina di tempat pemasukan.
Pasal 53
(1) Jika laporan penanggung jawab alat angkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), dan atau dari hasil pemeriksaan alat angkut tersebut diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, maka petugas karantina dapat melakukan tindakan perlakuan.
(2) Tindakan perlakuan terhadap alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga dikenakan terhadap penumpang dan muatan lainnya.
(3) Tata cara perlakuan terhadap alat angkut, penumpang dan muatan lainnya, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 54
(1) Penanggung jawab alat angkut yang akan memuat media pembawa, harus terlebih dahulu memeriksa telah dipenuhinya ketentuan dan persyaratan karantina media pembawa tersebut.
(2) Penanggung jawab alat angkut dilarang mengangkut media pembawa yang belum memenuhi ketentuan dan persyaratan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 55
(1) Untuk mencegah kemungkinan terjadinya rudapaksa, stres dan terganggunya kesejahteraan hewan; kerusakan dan pencemaran pada bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain; dan atau penularan hama penyakit hewan karantina sebagai akibat pengangkutan, diperlukan persyaratan teknis alat angkut dan kemasan media pembawa.
(2) Petugas karantina wajib melakukan pemeriksaan kelayakan alat angkut dan kemasan media pembawa sesuai persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebelum dimuat di tempat pengeluaran.
(3) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditemukan alat angkut dan atau kemasan media pembawa yang tidak memenuhi persyaratan teknis, maka pemuatan media pembawa harus dibatalkan atau ditunda sampai dengan persyaratan teknisnya dipenuhi.
(4) Persyaratan teknis alat angkut dan kemasan media pembawa, ditetapkan dengan Keputusan Menteri, setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan.
Bagian Keenam
Tindakan Karantina terhadap Media Pembawa Lain
Pasal 56
(1) Media pembawa lain berupa sampah, sisa makanan penumpang, kotoran, sisa pakan dan bangkai hewan serta barang atau bahan yang pernah berhubungan dengan hewan yang diturunkan dari alat angkut di tempat pemasukan atau tempat transit, harus dimusnahkan oleh penanggung jawab alat angkut di bawah pengawasan petugas karantina.
(2) Media pembawa lain berupa sisa makanan atau produk yang tidak memenuhi persyaratan karantina yang terlanjur dibawa oleh penumpang ke tempat pemasukan, harus dibuang pada kotak sampah karantina.
(3) Pemusnahan sampah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), harus dilakukan di dalam wilayah tempat pemasukan.
(4) Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan melalui koordinasi dan bantuan penanggung jawab tempat pemasukan.
(5) Media pembawa lain berupa peralatan bekas dan peralatan orang yang diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina, diberikan perlakuan.
Bagian Ketujuh
Tindakan Karantina di Luar Tempat
Pemasukan dan Pengeluaran
Pasal 57
(1) Untuk memberikan kemudahan pelayanan dan kelancaran arus barang di tempat pemasukan dan atau pengeluaran, maka tindakan karantina dapat dilakukan di luar tempat pemasukan dan atau di luar tempat pengeluaran maupun di luar instalasi karantina, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip karantina hewan dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
(2) Tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperhitungkan sebagai bagian dari proses pelaksanaan tindakan karantina di instalasi karantina, tempat pemasukan, atau tempat pengeluaran berdasarkan analisis risiko hama penyakit hewan karantina.
Pasal 58
(1) Dalam hal pemasukan, pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dapat dilakukan di negara, area, atau tempat asal, di negara atau area transit, di atas alat angkut media pembawa selama dalam perjalanan menuju ke tempat pemasukan atau area tujuan, dan atau di tempat tujuan.
(2) Dalam hal pengeluaran, pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dapat dilakukan di area atau tempat asal, dan atau di atas alat angkut media pembawa selama dalam perjalanan menuju ke tempat pengeluaran.
(3) Pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat dilakukan atas persetujuan Menteri atau menurut persyaratan teknis yang ditetapkan.
(4) Pelaksanaan tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan atas dasar pertimbangan dokter hewan karantina sepanjang area atau tempat asal telah dinyatakan bebas dari hama penyakit karantina yang dapat ditularkan melalui media pembawa tersebut.
Pasal 59
(1) Tindakan karantina terhadap hewan bibit, bahan biologik reproduksi dan hewan hasil penangkaran dapat diberikan kemudahan di tempat pemasukan dan atau pengeluaran, melalui penilaian status kesehatan dan situasi hama penyakit hewan karantina tempat asal, menurut tata cara karantina.
(2) Tindakan karantina terhadap bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain dapat diberikan kemudahan di tempat pemasukan dan atau pengeluaran, melalui penilaian status sanitasi dan situasi hama penyakit hewan karantina tempat asal, menurut tata cara karantina.
(3) Tata cara penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Pasal 60
(1) Untuk mendukung pelaksanaan tindakan karantina di luar tempat pemasukan, di luar tempat pengeluaran dan atau di luar instalasi karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, Pasal 58, dan Pasal 59, maka pihak lain dapat membantu pelaksanaan tindakan karantina.
(2) Pelaksanaan tindakan karantina oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilaporkan kepada dokter hewan karantina.
(3) Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dengan memperhatikan kewenangan profesi dokter hewan.
Pasal 61
(1) Untuk mencegah masuknya hama penyakit hewan karantina ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, penilaian status atau situasi hama penyakit hewan karantina dan atau pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan persyaratan teknis dapat dilakukan di negara asal atau transit yang memiliki risiko tinggi.
(2) Pejabat yang berwenang di negara asal atau transit harus diberitahukan sebelum menugaskan dokter hewan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Tata cara pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 62
(1) Penilaian terhadap status atau situasi hama penyakit hewan karantina dan atau pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan persyaratan teknis di seluruh atau sebagian wilayah negara Republik Indonesia, dapat dilakukan oleh pejabat dari negara tujuan untuk memenuhi persyaratan teknis dan analisis risiko terhadap terbawanya hama penyakit hewan karantina.
(2) Pejabat dari negara tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memberitahukan Menteri sebelum melakukan penilaian.
Bagian Kedelapan
Tindakan Karantina terhadap
Pengiriman melalui Pos
Pasal 63
(1) Pengiriman media pembawa melalui pos atau usaha jasa titipan harus mencantumkan secara jelas jumlah, jenis, atau nama media pembawa serta negara atau area asal sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(2) Tata cara pengiriman media pembawa melalui pos dan usaha jasa titipan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri, setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang pos.
Bagian Kesembilan
Tindakan Karantina dalam
Keadaan Darurat
Pasal 64
(1) Jika alat angkut perairan, udara, atau darat dan kereta api yang memuat media pembawa karena keadaan darurat sandar atau mendarat atau berhenti di tempat-tempat yang tidak ditetapkan sebagai tempat pemasukan atau pengeluaran, maka penanggung jawab alat angkut atau orang yang mengetahui peristiwa tersebut harus melaporkan dengan segera kepada petugas karantina, dokter hewan atau pejabat pemerintah terdekat.
(2) Dokter hewan atau pejabat Pemerintah yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus segera melaporkannya kepada petugas karantina terdekat.
(3) Media pembawa, bahan atau peralatan dan muatan lain yang pernah berhubungan dengan media pembawa tersebut, dilarang diturunkan dari alat angkut sebelum diizinkan oleh petugas karantina, kecuali karena alasan-alasan yang terpaksa.
(4) Dalam hal alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat meneruskan perjalanannya, maka terhadap media pembawa dilakukan tindakan karantina sesuai dengan ketentuan tentang pemasukan.
(5) Dalam hal alat angkut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat meneruskan perjalanannya, maka terhadap media pembawa dilakukan tindakan karantina sesuai dengan ketentuan tentang transit.
Bagian Kesepuluh
Tindakan Karantina terhadap
Penolakan Negara Tujuan
Pasal 65
(1) Pemasukan kembali media pembawa yang ditolak di luar negeri karena tidak memenuhi persyaratan karantina, persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan, penularan hama penyakit hewan karantina dan atau alasan lain, dilakukan tindakan karantina sesuai dengan ketentuan tentang pemasukan.
(2) Pemasukan kembali media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disertai surat keterangan penolakan dari negara tujuan yang menerangkan alasan penolakan.
(3) Sertifikat kesehatan yang menyertai media pembawa pada waktu pengeluaran dapat dipergunakan lagi sebagai persyaratan karantina.
(4) Pemasukan kembali media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) karena alasan tidak memenuhi persyaratan karantina pada waktu pengeluaran, dimusnahkan di tempat pemasukan atau instalasi karantina.
(5) Menteri dapat mempertimbangkan tindakan pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), apabila media pembawa termasuk yang dilindungi Undang-undang.
Bagian Kesebelas
Tindakan Karantina terhadap Barang yang Ditahan
Pasal 66
(1) Petugas karantina hewan berwenang melaksanakan tindakan karantina terhadap media pembawa yang berstatus sebagai barang yang ditahan atau barang bukti dalam suatu perkara peradilan, sebelum diserahkan kepada pejabat atau instansi yang berwenang untuk mencegah menyebarnya hama penyakit hewan karantina.
(2) Dalam hal tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa tindakan pemusnahan, maka berita acara pemusnahan dapat dijadikan sebagai barang bukti oleh pejabat atau instansi yang berwenang.
Pasal 67
(1) Petugas karantina juga berwenang melaksanakan tindakan karantina terhadap media pembawa yang dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai, yang dikuasai negara dan yang menjadi milik negara, mengingat media pembawa termasuk jenis barang yang sifatnya tidak tahan lama, mudah rusak, atau mudah busuk serta dapat membahayakan kesehatan hewan dan atau manusia.
(2) Dalam hal media pembawa telah menjadi milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pertimbangan dokter hewan karantina disampaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 68
(1) Petugas karantina dapat mengunci, menyegel dan atau melekatkan tanda pengaman terhadap media pembawa untuk menghindari perbuatan yang dapat mempersulit atau menghambat proses pelaksanaan tindakan karantina.
(2) Dilarang membuka, melepas, atau merusak kunci, segel atau tanda pengaman yang telah terpasang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum selesai proses tindakan karantina, tanpa persetujuan dokter hewan karantina.
Bagian Kedua Belas
Tindakan Karantina terhadap Barang Penumpang
Pasal 69
(1) Media pembawa dari negara, area, atau tempat yang tidak terlarang, dapat dibawa sebagai barang bawaan untuk dipergunakan sendiri.
(2) Media pembawa yang dibawa sebagai barang bawaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diberikan pembebasan karantina setelah melalui pemeriksaan kesehatan dan mempertimbangkan risiko penyebaran hama penyakit hewan karantina menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai jumlah, jenis, dan tata cara pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga Belas
Tindakan Karantina Khusus
Pasal 70
Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku bagi pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa yang dibawa atau dikirim sebagai barang diplomatik.
Pasal 71
(1) Hewan organik dapat dikecualikan terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah ini, sepanjang mengikuti persyaratan :
a. pengiriman hewan organik untuk keperluan tugas dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Republik Indonesia, harus dikonsultasikan dengan dokter hewan karantina;
b. hewan organik sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dilarang dikembangbiakan selama bertugas di luar kesatuan atau tempat asalnya; dan
c. pengiriman hewan organik untuk keperluan perpindahan kesatuan atau untuk dikembangbiakan, hanya dapat dilakukan ke area yang tidak terlarang bagi pemasukan jenis hewan tersebut.
(2) Tata cara tindakan karantina khusus bagi hewan organik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB IV
PUNGUTAN JASA KARANTINA
Pasal 72
(1) Pungutan jasa karantina terdiri atas biaya penggunaan sarana atau prasarana milik pemerintah dan biaya jasa pelaksanaan tindakan karantina terhadap hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, benda lain, media pembawa lain dan alat angkut.
(2) Penerimaan yang berasal dari pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan pendapatan negara bukan pajak dan harus disetor ke Kas Negara.
BAB V
KAWASAN KARANTINA
Pasal 73
(1) Penetapan area-area di dalam wilayah negara Republik Indonesia dilakukan berdasarkan status, situasi dan epidemiologi hama penyakit hewan karantina dengan memperhatikan sosioekonomi dan budaya masyarakat setempat.
(2) Area-area sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipergunakan sebagai dasar kebijaksanaan, pengaturan dan pengawasan lalu lintas media pembawa.
(3) Area-area sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 74
(1) Dalam hal ditemukan atau terdapat petunjuk terjadinya suatu hama penyakit hewan karantina di suatu lokasi yang semula diketahui bebas dari hama penyakit tersebut, maka lokasi tersebut termasuk dalam pengertian atau merupakan salah satu dari kategori penetapan daerah wabah penyakit hewan menular.
(2) Dalam hal timbulnya wabah penyakit hewan menular sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka area atau sebagian dari area sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) dapat dinyatakan untuk sementara waktu sebagai kawasan karantina.
(3) Pengaturan mengenai pemasukan dan atau pengeluaran media pembawa dari dan ke daerah wabah, ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dan dipergunakan sebagai persyaratan teknis bagi pelaksanaan tindakan karantina.
(4) Petugas karantina di seluruh kawasan karantina wajib melakukan pengawasan maksimum di setiap tempat pemasukan dan tempat pengeluaran serta berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab menangani wabah penyakit hewan.
(5) Untuk mencegah meluasnya daerah wabah, kawasan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB VI
JENIS HAMA PENYAKIT HEWAN KARANTINA
DAN MEDIA PEMBAWA
Bagian Pertama
Jenis Hama Penyakit Hewan Karantina
Pasal 75
(1) Hama penyakit hewan karantina digolongkan menjadi hama penyakit hewan karantina golongan I dan hama penyakit hewan karantina golongan II, berdasarkan daya epidemis dan patogenitas penyakit, dampak sosioekonomi serta status dan situasinya di suatu area atau wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Penggolongan hama penyakit hewan karantina golongan I dan golongan II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serta penetapan jenis hewan yang peka, cara penularan, masa inkubasi, masa pengamatan, masa karantina, standarisasi pengujian dan perlakuan, ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 76
(1) Kebijaksanaan karantina dan pembatasan lalu lintas media pembawa diatur berdasarkan penggolongan hama penyakit hewan karantina dan pemetaan hama penyakit hewan karantina
(2) Pemetaan hama penyakit hewan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menggambarkan status suatu negara, area, atau tempat yang diperoleh melalui kegiatan pengamatan.
(3) Kegiatan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat dilakukan secara langsung di tempat pemasukan, transit, pengeluaran, instalasi karantina, dan alat angkut atau secara tidak langsung di tempat lainnya dengan melibatkan atau memperoleh informasi dari pihak yang berwenang dalam kegiatan tersebut.
Bagian Kedua
Jenis Media Pembawa
Pasal 77
(1) Media pembawa dapat digolongkan berdasarkan kerentanan, cara penularan dan cara mendeteksi hama penyakit hewan karantina.
(2) Penggolongan media pembawa untuk tindakan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 78
(1) Dilarang memasukkan atau mengeluarkan jenis media pembawa atau transit di negara atau area yang masih tertular hama penyakit hewan karantina golongan I, dan atau sedang terjadi wabah hama penyakit hewan karantina golongan II.
(2) Ketentuan larangan pemasukan, transit, atau pengeluaran jenis media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB VII
TEMPAT PEMASUKAN DAN PENGELUARAN
Pasal 79
(1) Tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa di dalam wilayah negara Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan status dan situasi hama penyakit hewan karantina untuk tujuan impor, antar area, dan ekspor.
(2) Tempat pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan keputusan Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri yang bertanggung jawab di bidang perhubungan.
BAB VIII
INSTALASI KARANTINA
Pasal 80
(1) Untuk mencegah masuk, tersebar, atau keluarnya hama penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain dapat menyediakan instalasi karantina di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran sesuai dengan persyaratan teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tindakan karantina.
(2) Penetapan persyaratan teknis instalasi karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memperhatikan risiko penyebaran hama penyakit, kesejahteraan hewan atau keamanan produk, sosial budaya dan lingkungan.
(3) Penetapan instalasi karantina di luar tempat pemasukan atau pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selain memperhatikan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), juga harus dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah setempat.
(4) Persyaratan teknis karantina dan Instalasi karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 81
(1) Jika kapasitas dalam instalasi karantina yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) tidak dapat menampung keseluruhan media pembawa, dokter hewan karantina dapat menyetujui perluasan dan penambahan sementara bangunan atau fasilitas yang tersedia atas beban pemilik media pembawa.
(2) Jika pelaksanaan tindakan karantina tidak dapat dilakukan di instalasi karantina pemerintah yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) karena kapasitasnya tidak mencukupi, sedang dipergunakan atau tidak layak dipergunakan, maka Menteri dapat menunjuk instalasi karantina pihak lain yang sifatnya sementara dan pemakaiannya hanya satu kali atau beberapa kali untuk pengiriman bertahap.
(3) Jika pelaksanaan tindakan karantina tidak dapat dilakukan karena fasilitas instalasi karantina pemerintah untuk jenis media pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) belum tersedia atau tidak mungkin tersedia, maka Menteri dapat menunjuk instalasi karantina pihak lain yang sifatnya diakui secara permanen selama masih memenuhi persyaratan teknis.
Pasal 82
(1) Media pembawa yang berpotensi menularkan hama penyakit hewan karantina dan mempunyai sifat penularan serta cara mendeteksinya memerlukan masa pengamatan relatif lebih lama, dilakukan tindakan karantina di instalasi karantina pasca masuk.
(2) Instalasi karantina pasca masuk dan pelaksanaan tindakan karantinanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 83
(1) Khusus bagi pelaksanaan tindakan karantina terhadap satwa liar yang dipelihara atau ditangkarkan secara in situ dan eks situ, tindakan karantina pasca masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), dilakukan secara rutin dan berkelanjutan pada wilayah tempat pemeliharaan atau penangkarannya.
(2) Seluruh wilayah tempat pemeliharaan dan penangkaran satwa liar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan sebagai instalasi karantina pasca masuk permanen dengan Keputusan Menteri.
Pasal 84
(1) Untuk memenuhi kepentingan nasional, dapat dimasukkan jenis hewan yang rentan dari negara, area, atau tempat yang masih tertular hama penyakit hewan karantina dengan melaksanakan metode pengamanan maksimum pada suatu tempat yang memiliki batas yang dapat dipertanggungjawabkan menurut aturan internasional sebagai instalasi karantina pengamanan maksimum.
(2) Instalasi karantina pengamanan maksimum dan metode pengamanannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 85
(1) Pemasukan media pembawa yang memiliki risiko tinggi bagi masuknya hama penyakit hewan karantina ke dalam wilayah negara Republik Indonesia, dapat ditetapkan kewajiban berupa persetujuan instalasi karantina di negara asal atau transit setelah mendapat pertimbangan berdasarkan penilaian dokter hewan karantina.
(2) Penilaian dokter hewan karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus berdasarkan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2).
(3) Pejabat yang berwenang di negara asal atau transit harus diberitahukan sebelum menugaskan dokter hewan karantina melakukan penilaian.
(4) Persetujuan instalasi karantina di negara asal atau transit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT DAN
KERJA SAMA ANTARNEGARA
Pasal 86
Untuk meningkatkan kesadaran dan mengembangkan peran serta masyarakat dalam bidang karantina hewan dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan penyebarluasan informasi secara terencana dan berkelanjutan, dengan melibatkan organisasi profesi, organisasi fungsional dan lembaga swadaya masyarakat.
Pasal 87
(1) Dalam melaksanakan strategi untuk mencegah masuknya media pembawa yang diduga berpotensi membawa dan menyebarkan hama penyakit hewan karantina dan atau kegiatan karantina hewan, dapat melibatkan peran serta masyarakat seluas mungkin.
(2) Peran serta masyarakat dalam melaksanakan strategi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 88
Kerjasama dengan negara lain di bidang karantina hewan dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama bilateral, regional, dan atau multilateral. Kerjasama dengan negara lain di bidang karantina hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri, setelah berkonsultasi dengan Menteri lain yang terkait.
BAB X
PETUGAS DAN SARANA KARANTINA
Pasal 89
Pelaksanaan tindakan karantina dilakukan oleh petugas karantina. Petugas karantina terdiri dari dokter hewan karantina dan paramedik karantina yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Petugas karantina merupakan pejabat fungsional yang syarat-syaratnya ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Petugas karantina dapat mendukung kelancaran pelayanan media pembawa yang terkait dengan tugas perkarantinaan melalui penugasan khusus oleh Menteri atau Menteri lain yang terkait.
Pasal 90
Dalam melaksanakan tindakan karantina, petugas karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) juga berwenang untuk :
a. memasuki dan memeriksa alat angkut, gudang, kade, apron, ruang keberangkatan dan kedatangan penumpang di tempat pemasukan atau pengeluaran, untuk mengetahui ada tidaknya media pembawa yang dilalulintaskan;
b. melarang setiap orang yang tidak berkepentingan memasuki instalasi dan atau alat angkut serta tempat-tempat di mana sedang dilakukan tindakan karantina tanpa persetujuan dokter hewan karantina;
c. melarang setiap orang untuk menurunkan atau memindahkan media pembawa yang sedang dikenakan tindakan karantina dari alat angkut;
d. melarang setiap orang untuk memelihara, menyembelih, atau membunuh hewan di tempat pemasukan, pengeluaran, atau di instalasi karantina, kecuali atas persetujuan dokter hewan karantina;
e. melarang setiap orang untuk menurunkan atau membuang bangkai hewan, sisa pakan, sampah, bahan, atau barang yang pernah berhubungan dengan hewan dari alat angkut; dan atau
f. menetapkan cara perawatan dan pemeliharaan media pembawa yang sedang dikenakan tindakan karantina.
Selain kewenangan dalam bidang karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), petugas karantina yang dokter hewan karantina juga berwenang dalam bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di atas alat angkut, instalasi karantina, atau tempat-tempat di dalam lingkungan wilayah tempat pemasukan atau pengeluaran.
Pasal 91
Penyidikan tindak pidana di bidang karantina hewan, dapat dilakukan oleh petugas karantina yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
Perintah dan putusan dokter hewan karantina atau pelaksanaan tindakan karantina, harus dilakukan secara tertulis dalam bentuk dokumen karantina. Ketentuan mengenai dokumen karantina sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Untuk menunjang kelancaran arus barang di tempat pemasukan atau pengeluaran, dokumen karantina dapat disampaikan langsung oleh petugas karantina yang menerbitkannya melalui fasilitas elektronik.
Pasal 93
(1) Perawatan dan atau pemeliharaan media pembawa selama masa karantina atau penahanan menjadi urusan dan tanggung jawab pemilik.
(2) Jika dalam pelaksanaan tindakan karantina terjadi kerusakan di dalam instalasi karantina oleh pemakai jasa karantina, maka perbaikannya menjadi beban dan tanggung jawab pemakai.
(3) Jika pelaksanaan tindakan karantina di luar tempat kedudukan petugas karantina, maka setiap keperluan untuk menunjang kelancaran tugasnya menjadi beban dan tanggung jawab pemilik media pembawa.
Pasal 94
Dalam melaksanakan tugasnya, dokter hewan karantina juga harus memperhatikan kode etik dokter hewan karantina. Jika dokter hewan karantina telah melaksanakan tugas sebagaimana mestinya sesuai tanggung jawab profesi sebagai dokter hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), maka kerugian yang ditimbulkan akibat pelaksanaan tindakan karantina, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pemerintah atau dokter hewan karantina. Jika dokter hewan karantina tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya yang dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik dan atau pelanggaran profesi, maka Menteri dapat menjatuhkan sanksi kepada dokter hewan karantina setelah mendengar pertimbangan organisasi profesi dengan tidak menutup kemungkinan dapat dikenakan sanksi perdata atau pidana.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 95
Semua peraturan pelaksanaan di bawah Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan karantina hewan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibuat yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 96
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan sepanjang mengatur penolakan dan karantina hewan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 97
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 161
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2000
TENTANG
KARANTINA HEWAN
UMUM
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan pada tanggal 8 Juni 1992, penyelenggaraan kegiatan karantina hewan, ikan dan tumbuhan di Indonesia telah mempunyai landasan hukum baru yang lengkap dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Sebagaimana umumnya suatu Undang-undang, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat umum yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan-ketentuan yang lebih operasional dalam suatu Peraturan Pemerintah yang lebih spesifik sifatnya, khusus mengatur mengenai pelaksanaan karantina hewan. Ada dua masalah dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 yang secara tegas diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, yaitu masalah jasa karantina dan masalah transit alat angkut yang mengangkut media pembawa. Namun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan untuk mengatur lebih lanjut masalah-masalah lain di luar kedua masalah tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah, mengingat masalah yang akan diatur mempunyai implikasi yang luas terhadap kepentingan umum atau menyangkut kompetensi dalam berbagai departemen sehingga pelaksanaannya memerlukan koordinasi antar departemen. Selain itu sebagian dari masalah tersebut merupakan materi baru atau yang tidak secara jelas diatur dalam Undang-undang tersebut. Dengan tertuangnya materi tentang karantina dalam Peraturan Pemerintah ini, maka pelaksanaan karantina hewan akan memiliki landasan hukum yang lebih pasti. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini juga dikaitkan dan diselaraskan hubungan antara pelaksanaan karantina hewan dengan kebijaksanaan bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner sebagai kesatuan dalam mata rantai kesisteman pengamanan/perlindungan sumber daya hayati hewan. Begitu pula dengan kesepakatan, rekomendasi, peraturan ataupun konvensi internasional yang menyangkut bidang karantina hewan, juga diperhatikan sebagai acuan agar ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah ini harmonis dengan aturan main global. Atas pertimbangan-pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, selain masalah jasa karantina dan transit alat angkut, dalam Peraturan Pemerintah ini juga diatur lebih lanjut masalah persyaratan karantina, tindakan karantina terhadap pemasukan, transit, atau pengeluaran media pembawa, tindakan karantina hewan terhadap alat angkut, tindakan karantina hewan terhadap media pembawa lain, tindakan karantina hewan di luar tempat pemasukan dan pengeluaran, kawasan karantina, jenis hama penyakit hewan karantina dan media pembawa, penetapan tempat pemasukan dan pengeluaran, instalasi karantina hewan serta pengembangan peran serta masyarakat.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Angka 16
Cukup jelas
Angka 17
Cukup jelas
Angka 18
Cukup jelas
Angka 19
Cukup jelas
Angka 20
Cukup jelas
Angka 21
Yang dimaksud dengan:
desinfeksi adalah upaya yang dilakukan untuk membebaskan media pembawa dari jasad renik secara fisik atau kimia, antara lain seperti pemberian desinfektan, alkohol, NaOH, dll;
desinsektasi adalah upaya yang dilakukan untuk membebaskan media pembawa dari hama insekta, antara lain seperti pemberian insektisida, DDT dll;
fumigasi adalah upaya yang dilakukan untuk membebaskan media pembawa dari jasad renik dengan cara pemberian uap fumigan, antara lain seperti KMnO4, dll.
Angka 22
Cukup jelas
Angka 23
Cukup jelas
Angka 24
Penanggung jawab alat angkut adalah termasuk pilot, nakhoda, masinis atau pengemudi.
Angka 25
Cukup jelas
Angka 26
Cukup jelas
Angka 27
Cukup jelas
Angka 28
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Sertifikat kesehatan dari negara asal dan dari negara transit yang diterbitkan pejabat yang berwenang sesuai dengan kebijaksanaan masing-masing negara yang pada beberapa negara tertentu, sertifikasi bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan dapat diterbitkan oleh pemeriksa (belum tentu dokter hewan) di tempat asal media pembawa dan tidak perlu disertifikasi ulang oleh dokter hewan karantina di tempat pengeluaran.
Huruf b
Surat keterangan asal bagi media pembawa yang tergolong benda lain dapat diterbitkan oleh produsen, tempat pengumpulan, atau pengolahan sehingga tidak harus memerlukan surat keterangan dari instansi pemerintah.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Sertifikat sanitasi terhadap bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini diperuntukkan bagi media pembawa yang belum diolah. Khusus untuk teknis pemeriksaan bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan bagi keperluan konsumsi manusia, selain berpedoman pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 juga berpedoman pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1993 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. Sedangkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan merupakan payung dari pelaksanaan pengawasan sanitasi secara umum bagi bahan pangan yang belum diolah maupun yang telah diolah, baik dari segi keamanan maupun dari segi mutu dan gizi.
Ayat (2)
Ektoparasit adalah parasit yang terdapat pada permukaan tubuh hewan, antara lain pinjal, caplak, kutu, dan jamur. Selain itu ektoparasit juga dapat berperan sebagai vektor yang dapat memindahkan hama penyakit hewan karantina.
Ayat (3)
Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kesehatan manusia.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Maksud penundaan pemeriksaan oleh dokter hewan karantina pada ayat ini semata-mata hanya karena alasan teknis seperti misalnya pemeriksaan pada malam hari ditunda keesokan harinya, menungggu instalasi karantina yang masih dipakai, atau ketidaksiapan petugas karantina karena bertepatan dengan hari libur. Namun tetap tidak mengurangi pengamanan terhadap resiko masuk, menyebar dan keluarnya hama penyakit hewan karantina.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud “dalam hal tertentu” dalam ayat ini merupakan suatu keadaan yang dinilai memiliki potensi penyebaran penyakit yang dapat ditimbulkan oleh lalu lintas media pembawa, melalui suatu metoda penilaian dan manajemen risiko (risk analysis).
Ayat (2)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini merupakan prosedur dasar karantina yang harus diikuti oleh setiap pemakai jasa karantina. Bagi media pembawa yang berisiko tinggi dapat ditetapkan kewajiban tambahan selain prosedur dasar tersebut di atas sebelum pengeluaran dan atau pada waktu pemasukan, antara lain seperti pemeriksaan kausa penyakit, vaksinasi, pengobatan, penetapan daerah asal, daerah transit, daerah tujuan, pelabuhan dan instalasi karantina. Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan zoonosis dalam ayat ini adalah hama penyakit hewan yang dapat ditularkan kepada manusia atau sebaliknya.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemeriksaan kesehatan secara fisik disebut juga sebagai pemeriksaan pendahuluan atau pemeriksaan tahap awal, apabila dilakukan secara umum terhadap pengiriman media pembawa (shipment). Istilah organoleptik dimaksudkan sebagai pemeriksaan dengan mempergunakan panca indra manusia antara lain seperti bau, rasa, dan lain-lain.
Ayat (3)
Pengertian “dalam keadaan tertentu” dalam ayat ini adalah keadaan di mana kondisi media pembawa dan situasi lingkungannya tidak mengganggu proses pengukuhan diagnosa oleh dokter hewan karantina.
Ayat (4)
Pemeriksaan yang dimaksud dalam ayat ini ditujukan untuk mengukuhkan diagnosa melalui pemeriksaan terhadap penyebab penyakit atau kausa penyakit, apabila pada pemeriksaan tahap awal belum dapat dikukuhkan. Pemeriksaan kausa penyakit tersebut selain melalui pemeriksaan laboratoris, dapat juga dilakukan melalui pemeriksaan patologi yaitu pemeriksaan terhadap bangkai atau organ, dan uji biologis yaitu pengujian dengan mempergunakan hewan hidup, serta uji diagnostika yaitu pengujian yang telah memiliki alat, bahan, dan penilaian yang mempunyai standar baku.
Ayat (5)
Laboratorium yang ditunjuk dalam ayat ini adalah laboratorium yang telah diakreditasi oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Pengamatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah observasi, sedangkan sistem semua-masuk semua-keluar (all in all out) bertujuan untuk mencegah penularan hama penyakit hewan karantina melalui kelompok media pembawa dengan pengertian bahwa putusan pembebasan tidak boleh didasarkan atas hasil pengamatan dan pemeriksaan individu atau sebagian dari kelompok media pembawa yang masuk ke dalam instalasi karantina pada periode yang sama. Ayat (2)
Pengamatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah surveillance yaitu kegiatan penyidikan penyakit yang bertujuan untuk menetapkan status penyakit suatu negara, area, atau tempat atau pemetaan hama penyakit hewan karantina.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian masa inkubasi adalah lamanya waktu yang diperlukan agen penyakit sejak dari waktu menginfeksi sampai timbulnya gejala penyakit pada media pembawa.
Sifat subklinis adalah sifat penyakit yang tidak menunjukkan gejala secara klinis atau tanda-tanda penyakit pada fisik media pembawa dari luar.
Sifat pembawa (carrier) adalah hewan yang mengandung agen penyakit, tetapi tidak menimbulkan penyakit pada hewan yang bersangkutan namun dapat menularkannya ke media pembawa lain. Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Penyakit hewan karantina yang belum diketahui masa inkubasinya, antara lain seperti Bovine Spongioform Encephalomyelitis (Mad Cow), Penyakit Nipah Virus, Penyakit Keluron Menular (Brucellosis).
Pasal 12
Ayat (1)
Pengertian preventif dalam ayat ini ditujukan untuk pencegahan penyakit antara lain seperti vaksinasi.
Pengertian kuratif ditujukan untuk penyembuhan antara lain seperti pengobatan melalui pemberian antibiotika.
Pengertian promotif ditujukan untuk pemulihan kondisi dan memacu pertumbuhan antara lain seperti pemberian imbuhan pakan (feed supplement).
Ayat (2)
Tindakan perlakuan dalam ayat ini dapat dilakukan apabila tidak mengganggu proses pemeriksaan selanjutnya antara lain seperti pemberian antibiotika dapat mengganggu proses pengujian jenis bakteri tertentu.
Pasal 13
Ayat (1)
Mengingat fungsi karantina yang sifatnya lintas sektoral maka dalam melaksanakan tindakan karantina, kebijaksanaan dan pengaturan Menteri lain selain Menteri yang bertanggung jawab di bidang perkarantinaan, juga harus diperhatikan sebagai salah satu persyaratan tindakan karantina.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan karantina lain dalam ayat ini adalah tindakan karantina selain penahanan, seperti pemeriksaan laboratorium, pengamatan, perlakuan, dan lain-lain.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Tindakan penolakan umumnya berkaitan dengan masalah kesiapan dan ketersediaan sarana alat angkut. Oleh karena itu penolakan dilakukan pada kesempatan pertama, agar instansi terkait lainnya ikut membantu pengiriman kembali media pembawa tersebut setelah diputuskan untuk ditolak dan menjadikan pengiriman kembali tersebut sebagai prioritas utama.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelaksanaan pemusnahan media pembawa, dapat juga disaksikan oleh pemilik atau kuasanya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dokter hewan yang berwenang dalam ayat ini adalah dokter hewan pemerintah yang memiliki kewenangan dalam bidang kesehatan hewan secara umum.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Tanggung jawab dokter hewan karantina secara berkelanjutan adalah tanggung jawab dokter hewan karantina terhadap sertifikat yang diberikannya walaupun media pembawa yang bersangkutan sudah dibebaskan.
Pasal 17
Ayat (1)
Pengertian “menugaskan” dalam ayat ini tidak termasuk wewenang dan tanggung jawab pelaksanaan tindakan karantina serta hak profesi dokter hewan antara lain seperti pengukuhan diagnosa dan penentuan terapi. Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
Rencana pemasukan media pembawa sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah berupa laporan dalam bentuk formulir sebagai rangkaian prosedur karantina hewan yang baku.
Pasal 19
Ayat (1)
Pengertian “sebelum diturunkan” dalam ayat ini dimaksudkan bahwa alat angkutan yang dipergunakan mengangkut media pembawa terbatas pada angkutan perairan meliputi angkutan laut, angkutan sungai dan danau; angkutan penyeberangan; dan angkutan barang sebagai sarana lalu lintas jalan berupa mobil barang.
Ayat (2)
Pengertian “pemeriksaan pendahuluan” dapat dilihat pada penjelasan Pasal 9 ayat (2). Sedangkan pengertian “hewan yang berstatus sebagai barang muatan” dalam ayat ini adalah hewan yang pengirimannya tercantum dalam dokumen pengangkutan (cargo manifest, bill of loading, airway bill) dan pada umumnya pemilik hewan tidak ikut dalam alat angkut yang sama, serta penanganannya memerlukan pengamanan khusus (liar, ganas, dan lain-lain).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Mutasi media pembawa adalah penambahan atau pengurangan jumlah semula media pembawa dari tempat asal dalam perjalanan menuju ke tempat tujuan.
Huruf b
Pengertian dokumen lain antara lain berupa dokumen yang diwajibkan pada setiap pengiriman media pembawa yang dikenakan pembatasan dari Menteri lain.
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Perpanjangan waktu yang dimaksud dalam Pasal ini adalah kelonggaran waktu menunggu tersedianya alat angkut tanpa mengurangi kualitas tindakan karantina yang dilakukan. Sehingga batas jangka waktu kelonggarannya sangat ditentukan oleh tingkat risiko dan penularan hama penyakit hewan karantina dan kemungkinan tersedianya alat angkut.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pengertian “yang dianggap aman” dalam ayat ini diputuskan setelah berkonsultasi dengan penanggung jawab tempat pemasukan atau pengeluaran dan instansi terkait.
Pedoman pengendalian penyakit hewan menular dipergunakan sebagai pegangan setiap petugas teknis dalam menangani kasuskasus penyakit hewan menular yang telah disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Pengertian intensif dalam huruf ini biasanya dipergunakan bagi pengamatan yang dilakukan secara individual dan terus menerus selama masa karantina, namun pengertian ini dapat juga dipergunakan dalam tindakan karantina lainnya antara lain seperti pemeriksaan, pengasingan dan perlakuan.
Huruf b
Pengertian “untuk disembelih” dalam huruf ini yaitu tidak melewati proses, waktu dan tempat lain sebelum disembelih.
Huruf c
Media pembawa sebagai komoditas yang dilalulintaskan dengan sendirinya dapat terkait dengan peraturan perundang-undangan lain, sehingga juga harus memperhatikan peraturan perundang-undangan lain yang terkait antara lain seperti ketentuan kepabeanan atau konvensi-konvensi internasional.
Huruf d
Kewajiban lain adalah kewajiban yang ditetapkan selain persyaratan karantina dan tindakan karantina, antara lain seperti pungutan jasa karantina.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian “diperpanjang sampai dinilai aman” dalam ayat ini adalah murni merupakan pertimbangan profesi yang didasarkan pada masa inkubasi suatu penyakit. Dalam prakteknya perpanjangan ini dihitung mulai dari hari terakhir ditemukannya kematian dan atau ditemukannya gejala klinis penyakit, ditambah masa inkubasi penyakit tersebut. Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “gejala penyakit hewan yang bersifat individual” adalah penyakit yang spesifik terjadi pada individu hewan tertentu atau penyakit yang bersifat degeneratif, antara lain seperti tetanus, milk fever, colic, dan lain-lain.
Sedangkan yang dimaksud dengan “penyakit hewan menular selain penyakit hewan karantina”, antara lain seperti penyakit cacing, colibaccilosis, dan lain-lain.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “produk” dalam ayat ini adalah jenis dari bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain, antara lain seperti limpa, keju, pakan ternak.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Transit media pembawa yang berasal dari dan atau pernah transit sebelumnya di negara yang masih tertular penyakit golongan I dapat ditolak oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Lokasi transit langsung dalam ayat ini, merupakan lokasi yang telah disetujui dan di bawah pengawasan dokter hewan karantina dalam wilayah tempat transit yang secara khusus disiapkan guna memenuhi persyaratan transit lalu lintas internasional media pembawa. Tindakan karantina biasanya hanya perlakuan berupa desinsektisasi untuk mencegah penularan hama penyakit hewan karantina melalui serangga (sebagai vektor).
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud “dokter hewan yang berwenang” dalam ayat ini lihat penjelasan Pasal 16 ayat (2) sehingga yang lebih penting dijiwai adalah semangat dan pengertian pemeriksaan berkesinambungan (in line inspection) yang menghubungkan fungsi-fungsi profesi tanpa harus selalu melalui jalur birokrasi dalam pemerintahan. Pengertian “dokter hewan yang ditunjuk Menteri” dalam ayat ini dimaksudkan untuk memberikan istilah tersendiri kepada dokter hewan yang bekerja secara penuh (fulltime) dan atau bertanggung jawab atas program kesehatan atau sanitasi media pembawa pada suatu tempat asal yang secara rutin melakukan pengeluaran media pembawa antara lain seperti perusahaan pembibitan, penangkaran satwa, industri pengolahan, balai inseminasi buatan. Penunjukan dokter hewan oleh Menteri dilakukan sesuai prosedur akreditasi. Yang penting diperhatikan adalah bahwa sertifikasi dari tempat atau daerah asal seperti diterangkan di atas sudah cukup sebagai dokumen pendukung/pengantar media pembawa ke dokter hewan karantina tanpa perlu lagi keterangan atau sertifikasi ulang oleh pejabat instansi teknis setempat.
Ayat (3)
Istilah penangkaran biasanya dipergunakan sebagai tempat mengembang-biakkan hewan yang termasuk satwa liar. Ayat (4)
Pengertian dokter hewan dalam ayat ini adalah dokter hewan praktek/ mandiri.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hewan kesayangan” adalah hewan yang dipelihara secara intensif, dianggap sebagai bagian dari keluarga oleh pemiliknya (pet animal).
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Perlakuan terhadap orang biasanya dilakukan dengan cara penyucihamaan terutama bagi orang-orang yang sehari-harinya berhubungan dengan hewan antara lain seperti perawat hewan atau petugas karantina.
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian “sampai dinilai aman” dalam ayat ini, dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 29 ayat (4)
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kelayakan kondisi fisik” dalam ayat ini adalah layak untuk diangkut (fit for travel), yang merupakan penerapan peraturan kesejahteraan hewan (Animal Welfare) dan merupakan persyaratan serta dicantumkan dalam sertifikasi hewan hidup. Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Penahanan di tempat asal dalam ayat ini merupakan penahanan di tempat pengumpulan, pengolahan, dan atau pengawetan antara lain seperti di rumah potong hewan pada waktu tindakan karantina dan pemenuhan semua ketentuan sebelum diberangkatkan dilakukan pada tempat tersebut dengan maksud agar media pembawa yang bersangkutan terjamin isolasinya dari kontaminasi atau pencemaran, sesuai persyaratan dan atau permintaan negara tujuan. Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Tata cara perlakuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk mengatur cara desinsektisasi dan atau desinfeksi alat angkut serta desinfeksi penumpang dan atau muatan.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rudapaksa” dalam ayat ini adalah eksploitasi atau penyiksaan terhadap hewan yang berlebihan di luar batas kewajaran.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Persyaratan teknis alat angkut dan kemasan dalam ayat ini hanya mengatur aspek kesejahteraan hewan untuk keselamatan hewan selama dalam perjalanan antara lain seperti ventilasi, penyediaan pakan dan air, kapasitas tampung, serta ukuran kemasan.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kotak sampah karantina (quarantine garbage box) dipergunakan sebagai tempat membuang media pembawa yang biasanya disiapkan pada terminal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Media pembawa lain berupa peralatan bekas dan peralatan orang yang diduga dalam ayat ini merupakan peralatan bekas pakai media pembawa antara lain seperti pelana, brongsong dan bekas kemasan daging, sedangkan peralatan orang antara lain berupa sepatu, alas kaki, pakaian kerja peternak atau perawat hewan atau orang yang sehariharinya berhubungan dengan media pembawa.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud “kemudahan pelayanan dan kelancaran arus barang di tempat pemasukan dan pengeluaran” dalam ayat ini bukan mengenai persyaratan dan prosedur dasar tindakan karantina, akan tetapi ditujukan bagi kemudahan persyaratan teknis berdasarkan penilaian tempat asal sesuai prosedur akreditasi, guna menunjang kelancaran arus barang di tempat pemasukan dan pengeluaran. Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Hewan bibit adalah hewan yang diperoleh melalui serangkaian proses seleksi untuk dikembangbiakkan.
Bahan biologik reproduksi adalah bahan yang diperoleh dari hewan bibit untuk diproses lebih lanjut menjadi hewan.
Sedangkan yang dimaksud “kemudahan” dalam ayat ini adalah kemudahan persyaratan teknis karantina, dengan pertimbangan bahwa kemudahan terhadap hewan bibit, bahan biologik reproduksi dan hewan hasil penangkaran adalah karena adanya jaminan cara pemeriksaan status kesehatan dan sanitasi yang lebih intensif. Ayat (2)
Metode sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (1), juga diterapkan terhadap media pembawa berupa bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan dan benda lain, yang diutamakan pada aspek sanitasi tempat asal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dengan “pihak lain” dalam Pasal ini adalah orang atau badan usaha berbadan hukum ataupun tidak, yang telah diakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri untuk membantu tindakan karantina dan atau penyediaan instalasi karantina, antara lain seperti bantuan tindakan desinfektasi, pembuatan kandang, dan lain-lain. Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Penilaian status atau situasi hama penyakit hewan karantina dan atau pengawasan pelaksanaan tindakan karantina dan persyaratan teknis dapat dilakukan di negara asal atau transit, sesuai dengan ketentuan Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “alasan yang terpaksa” dalam ayat ini adalah alasan yang menyangkut alat angkut itu sendiri antara lain seperti kapal akan tenggelam, kebakaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “alasan lain” dalam ayat ini dapat berupa alasan-alasan yang tidak berdasarkan teknis perkarantinaan antara lain seperti kualitas produk, barang yang dilarang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengertian tidak memenuhi persyaratan karantina dalam ayat ini merupakan tindak pidana karena tidak dilaporkan, tidak diperiksa, tidak melalui tempat yang ditetapkan dan atau diselundupkan pada waktu pengeluarannya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan Menteri” dalam ayat ini adalah agar memperhatikan peraturan perundangan lain apabila akan melakukan tindakan pemusnahan, seperti antara lain pemusnahan terhadap orang utan yang tergolong hewan yang dilindungi/dilestarikan.
Pasal 66
Ayat (1)
Barang yang ditahan adalah barang yang belum memenuhi persyaratan karantina dan dilakukan tindakan penahanan oleh karantina. Sedangkan barang bukti adalah barang yang dijadikan bukti atau barang yang ditahan dan telah menjadi barang bukti untuk proses pemeriksaan di pengadilan. Ayat (2)
Pelaksanaan pemusnahan dalam ayat ini harus juga disaksikan oleh jaksa penuntut umum.
Pasal 67
Ayat (1)
Pengertian “barang yang dinyatakan tidak dikuasai, dikuasai Negara dan yang menjadi milik Negara” dalam Pasal ini merupakan pengertian dari aspek kepabeanan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang juga berhubungan dengan tugas fungsi perkarantinaan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992, dengan maksud untuk menghubungkan antara dua tugas fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud di atas agar dalam pelaksanaannya terjadi koordinasi yang lebih harmonis. Ayat (2)
Khusus terhadap media pembawa yang telah dinyatakan telah menjadi milik negara, pertimbangan dokter hewan karantina disampaikan kepada Menteri Keuangan, berdasarkan kewenangannya sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Pengertian “hewan organik” dalam ayat ini adalah hewan-hewan yang dilatih dan dipelihara secara intensif guna membantu tugas-tugas kedinasan milik Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian, juga bagi hewan milik instansi pemerintah lainnya antara lain seperti Bea Cukai, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Pengertian “area-area” dalam ayat ini dapat berupa satu atau beberapa daerah adminstratif dalam suatu pulau, atau kelompok pulau di dalam wilayah negara Republik Indonesia yang dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama penyakit hewan karantina.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 74
Ayat (1)
Wabah adalah kejadian penyakit luar biasa yang dapat berupa timbulnya suatu penyakit hewan menular baru di suatu daerah atau kenaikan kasus penyakit hewan menular mendadak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Penetapan kawasan karantina merupakan penetapan yang bersifat teknis berdasarkan atas kejadian penyakit pada satu atau beberapa daerah yang semula diketahui bebas dari hama penyakit hewan karantina, sehingga kejadian seperti itu dapat saja melintasi satu atau beberapa batas wilayah administratif. Penetapan kawasan karantina ini dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan penutupan daerah kabupaten atau kota oleh Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 75
Ayat (1)
Daya epidemis adalah daya penyebaran penyakit, sedangkan daya patogenitas adalah kemampuan suatu agen penyakit untuk dapat menimbulkan derajat kesakitan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud “pihak yang berwenang” dalam ayat ini adalah pihakpihak yang tugas dan fungsi utamanya melakukan penyidikan hama penyakit hewan, antara lain seperti Balai Penyidikan Penyakit Hewan, Dinas Peternakan, OIE, FAO.
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam menetapkan tempat pemasukan, transit atau pengeluaran perlu mempertimbangkan kelancaran perekonomian dan alasan-alasan yang berasaskan kelestarian sumber daya alam hayati hewan.
Pasal 80
Ayat (1)
Pada prinsipnya penyediaan fasilitas instalasi karantina menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun dalam kondisi keuangan negara tidak memungkinkan, pihak lain dapat menyediakan fasilitas tersebut demi kelancaran pelaksanaan tindakan karantina (lihat juga penjelasan Pasal 60 ayat (1)). Dalam perkembangannya selain Pemerintah Pusat, penyediaan fasilitas instalasi karantina tersebut dapat dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Daerah, atau Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Penetapan persyaratan teknis karantina dan instalasi karantina yang dimaksud dalam ayat ini adalah untuk menjamin terpenuhinya standar persyaratan teknis instalasi karantina yang dipergunakan sebagai acuan oleh pihak pemerintah dan pihak lain. Dalam penetapan ini juga harus mendengar pertimbangan dokter hewan karantina.
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemakaian instalasi karantina pihak lain seperti yang dimaksud dalam ayat ini dapat dipergunakan oleh pihak lain sepanjang untuk keperluan pelaksanaan tindakan karantina.
Pasal 82
Ayat (1)
Metode Karantina Pasca Masuk (KPM) yang dulunya belum diterapkan pada karantina hewan, dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran hewan, juga telah diimplementasikan pada jenis media pembawa yang cara pendeteksian penyakitnya belum dapat dilakukan menunggu pertumbuhan dan atau perkembangan media pembawa yang bersangkutan, antara lain seperti pada bibit hewan, biologik reproduksi dan satwa liar. Metode ini sangat erat hubungannya dengan penyakit yang bersifat maternal dan atau manajemen kesehatan yang tidak jelas sejarahnya. Pada keadaan yang situasi penyakit dan manajemen kesehatannya sudah maju dan dianggap tidak terlalu berisiko, metode KPM tidak perlu diterapkan sepenuhnya, cukup dengan melakukan akreditasi dan pemantauan (monitoring). Akan tetapi dalam keadaan sebaliknya seperti pengamatan penyakit pada jenis satwa liar, metode KPM ditetapkan tanpa batas waktu pengamatan, malah termasuk keturunannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Pengertian “in situ” adalah pemeliharaan atau penangkaran satwa liar di habitat alam atau aslinya, seperti jenis hewan Badak di Taman Nasional Ujung Kulon. Sedangkan “eks situ” adalah pemeliharaan atau penangkaran satwa liar di habitat buatan atau tiruan, seperti jenis hewan Jerapah di Taman Safari atau Kebun Binatang.
Adapun pengertian “tindakan karantina pasca masuk” dalam ayat ini, dapat dilihat pada penjelasan Pasal 84 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 84
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepentingan nasional” antara lain digunakan untuk kepentingan penelitian dan ilmu pengetahuan serta peningkatan mutu genetik ternak.
Sedangkan yang dimaksud “instalasi karantina pengamanan maksimum” dalam ayat ini adalah instalasi yang terdiri atas suatu tempat atau lokasi yang terisolasi dari wilayah pengembangan budi daya ternak dan dipergunakan sebagai pelaksanaan tindakan karantina bagi hewan impor yang tertular hama penyakit hewan karantina yang menurut hasil analisis memiliki risiko tinggi. Metode ini biasanya diterapkan oleh negara-negara besar yang memiliki pulau yang lokasinya terisolasi antara lain seperti Australia, Amerika Serikat dan Selandia Baru. Tindakan karantina seperti ini dilaksanakan secara maksimum yang artinya semua tindakan karantina termasuk berbagai pengujian dan pengamatan dilakukan per individu dan berulang kali hingga dianggap benar bebas dari kausa penyebab penyakit dan tidak membahayakan kesehatan manusia. Kecurigaan terhadap jenis penyakit yang dapat ditularkan melalui induk (maternal), tindakan karantinanya juga dilakukan terhadap keturunannya, sehingga bibit impor baru dapat dibebaskan setelah menghasilkan keturunan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Ayat (1)
Kerja sama dengan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini antara lain meliputi : kelancaran tindakan karantina, penilaian status negara, area atau tempat, informasi situasi hama penyakit, harmonisasi protokol dan peraturan, standarisasi pengujian dan produk, rekomendasi, referensi dan konsultasi teknis, pertemuan ilmiah serta kerja sama yang saling menguntungkan.
Ayat (2)
Kerja sama dengan negara lain dilakukan melalui atau oleh Menteri Luar Negeri, namun dalam pelaksanaannya kerja sama teknis sering melibatkan menteri lain yang terkait seperti Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Mengingat bahwa semua pelaksanaan tindakan karantina harus dilaksanakan oleh petugas yang memiliki profesi dokter hewan karantina dan dibantu petugas yang memiliki ketrampilan sebagai paramedik karantina, maka petugas karantina tersebut dapat diberi kewenangan untuk memangku jabatan sebagai pejabat fungsional. Ayat (4)
Pengertian “tindakan yang mendukung kelancaran pelayanan media pembawa” dalam Pasal ini berkaitan dengan kewenangan Menteri atau Menteri lain yang juga dilaksanakan oleh karantina hewan, antara lain seperti pengawasan pembatasan lalu lintas satwa liar (fauna) yang menjadi wewenang Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang konservasi sumber daya alam hayati.
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud “fasilitas elektronik” dalam ayat ini antara lain seperti:
faksimile, e-mail, EDI (Electronic Data Interchange) dan lain-lain, tetapi tetap tidak mengurangi kewajiban pemilik untuk melengkapi dokumen karantina aslinya.
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas