Politik, selama ini dicitrakan banyak orang lebih sebagai permainan kotor ketimbang sebagai sebuah cara untuk merengkuh kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu untuk kemaslahatan bersama. Politik juga dicitrakan sebagai cara mencari kekayaan, ketenaran dan kemasyhuran ketimbang sebagai seni pengabdian. Oleh karena itu, ketika dengan berpolitik seseorang berhasil menggapai kekuasaan, dia akan habis-habisan mempertahankan kekuasaan agar dirinya tidak kehilangan kekayaan, ketenaran ataupun kemasyhuran.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Citra seperti itu telah mendarah daging dalam masyakarat kita sekarang ini. Karena itu tidak mengherankan kalau citra politisi adalah citra manusia yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Politisi pun dilihat sebagai manusia yang suka menginjak-injak etika sosial. Sampai-sampai mereka dicap sebagai orang yang tidak peduli terhadap matinya hak, rasa keadilan serta martabat kemanusiaan, baik di dalam dirinya sendiri maupun pada diri orang lain, demi memperoleh dan mempertahankan kekuasaan.

Citra dunia politik, dengan demikian, adalah citra dunia yang penuh dengan kelicikan, keculasan dan kepura-puraan. Oleh karena itu, adagium homo homini lopus (manusia adalah serigala bagi yang lain) dari Thomas Hobbes, merupakan adagium yang diyakini banyak pihak sebagai pas menjadi label dunia politik.

Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...

***

Ketika seratus hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berlalu, banyak pihak ribut tentang pemenuhan janji yang diucapkan Presiden RI itu ketika berkampanye dulu. Citra tentang dunia politik sebagai dunia serigala pun dimunculkan. Dengan citra seperti itu pula penilaian terhadap pemerintahan SBY diletakkan. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau SBY dianggap sebagai pembohong karena mengobral janji sekadar untuk menggapai kuasa.

Janji-janji SBY, demikian antara lain para pengkritik itu berkata, sekadar sebagai penghimpun suara agar orang memilihnya. Semboyan “bersama kita bisa” yang dulu demikian populer, dipersalahkan sebagai upaya pembohongan publik. Maka seruan-seruan ketidakpuasan beredar di mana-mana. Sebagai penutup kritik, mereka dengan lantang berkata, “SBY tak beda dengan para penguasa sebelumnya”.

***

Thomas Hobbes mengakui manusia bukanlah sebuah mesin, bukan pula serigala. Dan, karena itu, bukan naluri keegoisan yang menjadi penentu tindakan mereka. Meskipun demikian Hobbes mencoba meyakinkan kita bahwa sifat kebinatangan manusia mendominasi perilaku sehari-hari karena adanya sifat egois di dalam diri kita. Egoisme, kata Hobbes, adalah sifat negatif yang sudah melekat pada manusia itu sendiri.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Dengan asumsi seperti itu, Hobbes meyakinkan kita bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kecenderungan buruk. Oleh karenanya, manusia hanya mau memperjuangkan kepentingan diri sendiri. Toh asumsi dan keyakinan Hobbes ini cukup merasuk di benak kita selama ini. Buktinya, banyak dari kita yang selalu saja berprasangka kepada para politis bahwa mereka mampu dan tega berbuat apa saja demi meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Apa demikian pula halnya dengan SBY, presiden kita?

***

Berkali-kali SBY mengatakan dirinya tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan rakyat. Artinya, semboyan “bersama kita bisa” seharusnyalah bukan semboyan SBY pribadi. Kalau itu semboyan pribadi, memang pantas dipertanyakan dengan “siapa” dia bersama, dan hal “apa” yang mereka bisa lakukan.

Kita bukanlah hewan. Demikian pula sesungguhnya dunia politik kita. Itu bukanlah dunia hewan apalagi dunia serigala. Maka sudah tidak pada tempatnya kita meletakkan dunia politik dalam pencitraan sebagai dunia hewan.

Kalaupun pemikiran Hobbes selama ini memengaruhi kita dalam melihat dunia politik, hal itu tidaklah terlalu salah. Pengalaman menunjukkan kepada kita, Indonesia hancur karena ada permainan politik; permainan para politisi yang kental naluri kehewanannya.

Politisi yang kental dengan naluri kehewanan, mungkin masih ada. Tetapi kita pun seharusnya yakin, sebagaimana dikatakan Aristoteles, bahwa manusia bukanlah hewan. Manusia adalah makhluk yang berpikir (animal rationale). Dengan daya pikir itulah manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam tindakan mereka.

Dengan pikiran mereka pula, manusia bisa mengatasi naluri kebinatangan dan bertindak menusiawi. Perbuatan mereka bukan semata-mata actus hominis yang disetir hukum biologi, tetapi adalah actus humanus karena sarat dengan pertimbangan akal dan budi. Manusia juga bukan makhluk yang penyendiri, karena dia adalah makhluk yang harus hidup bersama dengan yang lain (zoon politikon).

Maka, ketika seratus hari pemerintahan SBY berlalu, kita akan melihatnya sebagai seratus hari pemerintahan manusia yang berakal dan budi. Ada evaluasi ada kritik, tentu wajar. Lantas ketika SBY tetap juga mengatakan “bersama kita bisa”, anggap saja itu sebagai cermin kesadarannya bahwa manusia adalah zoon politikon; mutlak harus bekerja sama dengan yang lainnya.

Dan hanya dengan kebersamaanlah, kita bisa mewujudkan cita-cita.

(Duto Sri Cahyono, SOLOPOS, 31 Januari 2005)

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.