Tiada yang tahu sampai kapan pembicaraan tentang bencana tsunami akan berhenti. Kalau bencana itu diandaikan suara petir, maka itu adalah gelegar petir yang meledak di tengah-tengah ngarai. Suaranya bertalu-talu dan bergema. Memantul dari satu sisi dinding ngarai ke sisi lainnya. Memantul lagi dan terus memantul seakan tak berkesudahan.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Jika petir itu diandaikan lecutan cambuk penggembala, maka penggembalanya pastilah bertenaga raksasa. Sedemikian kuat lecutan cambuknya, sehingga gelegar pucuk cambuk bukan sekadar sangat memekakkan tetapi bahkan memecahkan gendang telinga. Sedemikian kuat lecutan cambuk sampai-sampai kilatan cahaya petir yang dihasilkan bukan sekadar sangat menyilaukan tetapi nyaris membutakan mata.
Namun suara petir sedahsyat apapun, tidak pernah membuat orang tuli terusik dari keasyikan tidurnya. Sekuat apapun kilatan cahaya petir, tak akan membuat orang buta menghentikan langkahnya. Dan memang itulah kejadiannya. Ketika berita jerit tangis manusia yang terkena bencana tersebar, ada saja dari kita yang tetap berkutat dengan keasyikan diri sendiri. Ketika datang warta keputusasaan manusia dari daerah bencana, ada saja dari kita yang berlenggang kaki semata-mata mengejar kepentingan diri pribadi.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Bukan kita tidak punya telinga atau menderita gangguan pendengaran tetapi kita sering sengaja menutup telinga sampai tidak bisa mendengarkan apa-apa kecuali suara sendiri. Juga bukan kita tidak punya mata atau menderita gangguan penglihatan tetapi kita sering sengaja menutup mata sehingga tidak bisa melihat apa-apa kecuali melihat jalan mencapai kepuasan pribadi. Kita memang sering membutakan hati. Kita juga kerap kali menulikan nurani.
***
Hanya saja memang, ketika kita merasa peduli, bersimpati dan berempati terhadap sesuatu hal, kita sering memaksa orang lain merasa harus peduli, bersimpati dan berempati dengan cara sebagaimana yang kita tempuh. Kalau mereka berlaku lain, maka kita pun menilai mereka sebagai tidak pedulian dan berhati bebal. Bahkan karena kita menganggap bencana tsunami adalah bencana nasional yang seharusnya membuat seluruh komponen bangsa ini berduka, kita mencela si penjaja terompet tahun baru sebagai manusia yang tidak tahu diri.
Penjaja terompet, tahukah kita bahwa mereka juga telah mengeluarkan uang untuk kulakan? Bisa jadi sedikit rupiah yang mereka keluarkan, tetapi sedikit rupiah itulah tumpuan hidup mereka hari ini dan pijakan harapan di masa mendatang. Pada hari-hari ini pula, isteri dan anak-anak mereka perlu makan. Barangkali memang dengan cara seperti itulah mereka bisa mengumpulkan rezeki untuk hidup dan juga beramal menyediakan derma bagi siapa saja yang membutuhkan.
Sesungguhnyalah tidak ada beda antara penjual terompet tahun baru dengan para artis yang tetap manggung dalam acara-acara perayaan tahun baru lalu, atau para tukang becak yang bedangdutan di pinggir jalan. Para artis juga pedagang. Itulah cara mereka bertahan hidup. Kalau artis mengemas jasa yang mereka perdagangkan dengan label “peduli bencana” dan sejenisnya, mengapa kita harus bercuriga sekadar sebagai kepura-puraan? Kalau tukang becak berjoget di pinggir jalan, mengapa kita tidak melihatnya sebagai upaya menutupi rasa pedih karena mereka pun orang yang teraniaya dan tiada punya rezeki untuk beramal.
Bencana nasional tsunami tidak seharusnya membuat kita saling bercuriga sehingga menciptakan sekat pemisah siapa kawan siapa lawan. Tidak pula seharusnya membuat kita berbeda kelompok; ini pahlawan, ini pecundang. Kalau itu yang terjadi, maka kita telah menyia-nyiakan nikmat bencana dan hikmah dari kemarahan alam.
***
Sebagaimana halnya dengan kematian yang tidak mengenal kematian besar atau kematian kecil, bencana yang menimpa manusia pun sesungguhnya tiada bisa disekat dan dipilah sebagai bencana besar dan bencana kecil. Tetapi sekat itu toh tetap ada atau diadakan. Akibat dari penyekatan seperti itu, kita menjadi bisa sangat peduli dengan bencana “besar” dan tidak peduli dengan bencana “kecil”.
Perasaan kehilangan atas keluarga, harta dan benda, serta rasa kesepian, kesakitan, bingung dan linglung adalah sekian akibat dari bencana. Hanya saja, saat ini perasaan demikian nyaris merata dirasakan para korban tsunami dan itu kita sebut sebagai bencana besar. Oleh karena itu, besar pula perhatian dan kepedulian kita. Tetapi bencana “kecil”, apakah selama ini kita sempat menengoknya?
Di sekitar kita, tidak kurang orang yang terampas hak-haknya. Banyak di antara mereka yang hidup dalam kesakitan, kedinginan, kehilangan orang-orang terkasihnya dan diserobot penghidupannya. Mereka juga bingung dan linglung. Tetapi itu semua kita sebut bencana “kecil” dan bahkan kita menganggapnya bukanlah bencana. Jangankan tergerak untuk menolong atau sekadar bersimpati, kita bahkan tidak peduli.
Bencana “kecil”, meski toh juga bencana, tidak pernah menjadi perhatian dan kepedulian kita. Selama ini pula kita telah membutakan hati dan menulikan nurani. Seandainya kita selalu peduli dengan bencana-bencana “kecil”, barangkali alam tidak perlu lagi mengirim bencana “besar” hanya untuk membuka hati dan nurani kita.
(Duto Sri Cahyono, dimuat di SOLOPOS, 3 Januari 2005)
Penting: Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.