Solo adalah sebuah kota yang unik. Secara geografis, nama Solo menunjuk pada nama sebuah kota madya di Jawa Tengah seluas 44 km2. Namun Solo juga diklaim sebagai sebuah teritori budaya oleh masyarakat kabupaten di sekelilingnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sukoharjo, Klaten, Wonogiri, dan Sragen. Budaya Solo, yang disebut surakartan, bahkan melingkupi wilayah bekas kerajaan Mataram Islam.
Dibanding kota atau daerah lain, Solo tergolong unik. Keunikan Solo dimulai dari aneka ragam “ideologi” yang berkembang di sana. Tidak ada kawasan lain yang mencuat namanya bahkan ke seantero dunia karena keharumannya sekaligus juga “kekelamannya”. Di Solo, segala warna “ideologi” tumbuh dan berkembang bersama. Bahkan secara gurauan, sering dikatakan bahwa Solo adalah sarang segala “ekstrimis”. Ekstrim hijau, untuk menunjuk kepada kelompok garis keras Islam, ada di Solo.
Dalam kaitan ini, pada berbagai kasus, Solo malah sering disebut sebagai sarang teroris. Tetapi justru di wilayah “hijau garis keras” ini, tumbuh aneka “budaya” ekstrim lainnya yang secara ideologis berseberangan. Di Solo misalnya, PKI pernah berkembang pesat dan pernah memegang tampuk kekuasaan lokal. Sementara saat ini, marhaensime juga mengakar kuat yang tercermin dari dominasi PDIP di wilayah eks Karesidenan Surakarta atau yang kini populer dengan sebutan Soloraya.
Dengan beragamnya ideologi dan kepentingan, Solo terkenal syarat intrik. Manifestasinya adalah rentetan kerusuhan yang menelan korban harta dan jiwa. Mengapa dan bagaimana Solo penuh intrik? Banyak referensi untuk mengetahui hal itu. Salah satunya adalah laporan hasil penelitian PPEP Fakultas Ekonomi UNS mengenai Evolusi Ekonomi Kota Solo.
Berdasar laporan itu, saya tertarik untuk menuliskan sejumlah bagian yang berkaitan dengan fenomena intrik dari generasi ke generasi di wilayah Solo dan sekitarnya. Dalam bagian mengenai sejarah Solo, laporan itu didasarkan pada sejumlah studi pernah dilakukan sejumlah sejarawan. Dalam rangkaian tulisan saya mengenai The Solo Intrigue ini, beberapa sumber referensi yang dikutip dalam laporan tidak saya sebutkan. Kalau ada pihak yang berkepentingan mendapatkan laporan secara lengkap, bisa menghubungi saya.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Dimulai dari intrik Mataram
Sejarah Solo dimulai dari Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati Ing Alogo (berkuasa dari 1584 sampai 1601) dengan pusat kerajaan di Kota Gede Yogyakarta. Pada masa Senopati ini telah dimulai penaklukan kerajaan-kerajaan yang lain seperti Pajang dan Demak.
Pengganti Penambahan Senopati adalah Panembahan Seda ing Krapyak (1601-1613). Panembahan Krapyak meneruskan usaha penaklukan wilayah sampai ke Jawa Timur. Namun usaha ini belum berhasil, sampai beliau meninggal dunia dan digantikan oleh putranya, Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyakrokusumo (1613-1646).
Sultan Agung merupakan raja terbesar dalam sejarah Mataram Islam. Sultan Agung meneruskan penaklukan daerah sekitarnya yakni Madura (1624) dan Surabaya (1625). Sultan Agung juga berusaha untuk merebut Batavia dari tangan VOC pada tahun 1628 dan 1629, namun semunya berakhir dengan kegagalan.
Sepeninggal Sultan Agung pada tahun 1646, Keraton Mataram Islam dipimpin oleh Amangkurat I. Amangkurat I (1646-1677) memindahkan istana barunya di Plered, tepat di sebelah timur laut ibukota sebelumunya. Raja ini oleh para ahli sejarah dianggap sebagai raja yang buruk perangai. Semua kelompok yang tidak mendukungnya akan dibunuhnya. Tidak ada prestasi yang dapat diukir dalam regim pemerintahan Amangkurat I ini, yang menyebabkan kewibawaan Kerajaan Mataram Islam mulai merosot. Konspirasi untuk menggulingkan raja diprakarsai oleh putra mahkota sendiri, Amangkurat II, yang memerintahkan Trunojoyo untuk memberontak. Pada akhirnya Amangkurat I kalah dan meninggal dunia di Tegal.

Sejak itu, Amangkurat II (1677-1703) menjadi Raja Mataram. Atas bantuan VOC, pada akhirnya Amangkurat II berhasil mengalahkan Trunojoyo. Pada September 1680, Amangkurat II memindah ibu kota negara di sekitar daerah Pajang yang diberi nama Kartasura.
Pada tahun 1703, Amangkurat II mangkat dan digantikan oleh putranya Amangkurat III. Namun tidak semua kerabat istana menyetujui pengangkatan Amangkurat III. Salah satunya adalah pamannya sendiri, Pangeran Puger. Konflik antara putra mahkota dengan paman ini memang sudah berlangsung lama sebelum Amangkurat II meninggal dunia. Ketika itu, untuk melicinkan jalan menjadi raja, Amangkurat II berkerja sama dengan Untung Surapati, musuh besar VOC.
Setelah Amangkurat III naik tahta, Pangeran Puger menghubungi VOC di Semarang dan menceritakan konspirasi Amangkurat III dengan Surapati. Diplomasi Pangeran Puger berhasi meyakinkan VOC dan pada Juni 1704, VOC mengakuinya Pangeran Puger sebagai Raja Mataram yang baru yang bergelar Susuhunan Pakubuwono I (1704-1719). Bulan September 1705, Susuhunan Pakubuwono I berhasil mengalahkan Amangkurat III yang lari bersama dengan Surapati ke Jawa Timur.
Setelah Pakubuwonao I meninggal, ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat IV (1719-1726). Pada masa ini muncul pemberontakan dari kalangan pangeran. Lagi-lagi VOC berhasil membantu dan mempertahankan raja. Pada Maret 1726, Amangkurat IV jatuh sakit dan mangkat yang kemudian digantikan putranya yang bergelar Pakubuwono II (1726-1749). Pada masa Pakubuwono II terjadi kerusuhan besar yang dikenal sabagai ”Geger Pecinan” yang menjadi penyebab utama kepindahan Keraton Kartosura ke Keraton Surakarta.
(Bersambung)
Sumber: Laporan penelitian Evolusi Ekonomi Kota Solo, PPEP FE UNS

Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...

–pernah saya kirim untuk wikimu

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.