Tanggapan terhadap pembantaian orang-orang Tionghoa juga ditunjukkan oleh Pakubuwono II. Banyak yang menganggap bahwa Keraton Mataram ini memanfaatkan konflik VOC dengan Tionghoa. Namun jelas bahwa dalam konteks keberanian melawan penjajah, respons Pakubuwono II ini merupakan langkah positif. Dan ini mungkin juga salah satu bentuk solidaritas Raja Mataram terhadap kelompok Tionghoa.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Sebenarnya di kalangan istana sendiri telah berkembangan dua pendapat yang bersifat pro dan kontra terhadap rencana Pakubuwono II menyerang VOC bergabung dengan komunitas Tionghoa. Pandangan pertama seperti diutarakan kelompok Patih Natakusuma memilih melawan VOC sebagai sebuah langkah strategis dengan jalan bergabung dengan komunitas Tionghoa.
Kelompok lain dipimpin oleh penguasa daerah pesisir yang berpendapat bahwa dalam peperangan VOC dan Tionghoa, pada akhirnya akan dimenangkan oleh VOC. Maka mereka menganjurkan tidak perlu tergesa-gesa, sebaiknya menunggu sampai VOC terdesak dan meminta bantuan Mataram.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Dua pertimbangan itu menyebabkan Pakubuwono II sempat ragu-ragu. Namun pada akhir Raja Mataram ini lebih memilih pandangan yang pertama yakni segera melakukan penyerangan kepada VOC. Pada November 1741, Pakubuwono II mengirim pasukan dan artileri ke Semarang sebanyak 20.000 orang dan 30 pucuk meriam yang bergabung 3.500 orang Tionghoa mengepung Markas Besar VOC di Semarang.
Selain itu, Pakubuwono II juga menyerang pos VOC di Kartasura yang berhasil membunuh Kapten Johansen van Nelsen dan menghancurkan markas itu.
Dalam posisi sulit, akhirnya VOC mendatangkan bala tentaranya dari Batavia dan meminta bantuan Cakraningrat IV dari Madura. Mereka berhasil memukul mundur kepungan Tionghoa yang dibantu Mataram di Markas VOC Semarang. Bahkan Cakraningrat IV berhasil mengalahkan para pejuang Tionghoa di wilayah timur.
Setelah kekalahan itu, Pakubuwono II baru menyadari bahwa pilihannya untuk mendukung komunitas Tionghoa melawan VOC adalah sebuah tindakan yang keliru. Untuk itu Pakubuwono segera memohon ampun kepada VOC. VOC mengabulkan dan mengirim utusan yang dipimpin Kapten Van Hohendorff ke Kartasura untuk melakukan perundingan. Sementara, Pakubuwono II mengirim juru runding yang dipimpin oleh Patih Natakusuma ke VOC Semarang, namun VOC menangkap Patih itu dan membuang ke luar negeri. Penangkapan dan pembuangan Patih Natakusuma ini atas seizin Pakubuwono II.
Perubahan sikap Pakubuwono II menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Para pejuang anti VOC baik dari kalangan Jawa maupun Tionghoa merasa telah dikhianati oleh Raja. Situasi ini memunculkan perlawanan pejuang yang lebih hebat baik kepada VOC maupun Pakubuwono II. Bahkan beberapa pangeran istana yang tidak puas dengan Pakubuwono II pun bergabung dalam makar ini. Di antara mereka adalah Pangeran Mangkubumi (kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono I) dan Raden Mas Said (kelak menjadi Pangeran Adipati Mangkunegara).
Isu perlawanan pun berubah dari anti VOC menjadi anti Pakubuwono, maka sasaran penyerangannya adalah Keraton Pakubuwono II di Kartasura. Pada tahun awal 1742, para pemberontak itu mengangkat salah seorang pangeran cucu laki-laki dari Amangkurat III yang baru berusia 12 tahun yang bernama Mas Gerendi yang bergelar Amangkurat V atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Sunan Kuning adalah sebutan sunan yang diangkat oleh komunitas Tionghoa.
Pemberontakan ini berhasil merebut Keraton Kartasura pada bulan Juli 1742, dan Pakubuwono II lari ke Ponorogo.
Kenaikan Mas Garendi sebagai Raja Pemberontak yang diangkat oleh Komunitas Tionghoa dan berhasil merebut Keraton Kartosuro telah mengguncangkan sendi-sendi kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Tidak saja dari sudut politik, tetapi juga dapat dipandang dari sudut budaya.
Bahkan kenaikan Mas Garendi itu dihubungkan dengan keyakinan orang Jawa terhadap Ramalan Jayabaya. Ramalan Jayabaya pernah meramalkan bahwa nanti “orang asing” akan memimpin Jawa “seumur Jagung”. Bahkan seorang intelektual Indonesia yang cukup rasional pun seperti Tan Malaka percaya dengan itu.
(Catatan: Pendapat masyarakat tentang penguasaan Jawa oleh orang Tionghoa yang diwakili oleh Mas Garendi seperti dalam buku Tan Malaka “Aksi Massa” yang terbit pertama kali pada tahun 1920-an, mewakili suasana kebatinan masyarakat pada masa itu. Namun pada tahun 1940-an, terjadi perubahan tafsir ”Ramalan Jayabaya” itu di kalangan masyarakat, karena yang dianggap menguasai Jawa ”seumur jagung” adalah Jepang selama pendudukan dari tahun 1942-1945. Buku Tan Malaka ”Aksi Massa” itu diterbitkan kembali pada tahun 2000.)
(Bersambung)
Sumber: Laporan penelitian Evolusi Ekonomi Kota Solo, PPEP FE UNS
Pernah saya kirim untuk wikimu