Secara kebudayaan, kemenangan politik Tionghoa di Kartosuro itu semakin menorehkan luka bagi orang Jawa. Raja dan Kerajaan merupakan simbol penting masyarakat Jawa pada masa itu yang berhasil dikalahkan oleh orang Tionghoa.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Kemenangan Mas Garendi merupakan pengulangan sejarah di mana muncul raja yang didukung oleh orang-orang Tionghoa. Sebelumnya pernah ada raja dari keturunan Tionghoa-Jawa yang bernama Raden Patah yang berhasil mendirikan Kerajaan Demak dan mengalahkan Kerajaan Majapahit.
Dalam pelariannya, Pakubuwono II meminta bantuan kepada VOC dengan memberikan konsesi. Jika bisa kembali menjadi raja, maka dia akan memberikan wilayah pesisir Pulau Jawa kepada VOC. VOC menyetujui dan meminta bantuan kepada Cakraningrat IV untuk melawan para pemberontak. Bersama dengan lasykar Madura, Cakraningrat IV berhasil mengalahkan pemberontak. Dan atas permintaan VOC, Cakraningrat IV menyerahkan Keraton Kartosura kepada Pakubuwono II.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
(Catatan: Jasa orang-orang Madura dalam merebut kembali Keraton Kartosuro ini yang menjadi salah satu sebab berkembangnya etnis Madura di Surakarta. Bahkan nanti pada masa Pakubuwono III, orang-orang Madura banyak mengabdi Keraton sebagai prajurit bergabung dengan Lasykar Keraton Lombok Abang. Sebagian besar dari etnis Madura ini bermukim di kampung Madura yang disebut sebagai Kampung Sampangan).
Setelah Pakubuwono II kembali berkuasa, dia segera merealisasi konsesi-konsesi kepada VOC. Di antaranya adalah(1) kedaulatan penuh atas Madura Barat, Surabaya, Rembang, Jepara; (2) Raja menyerahkan 5000 koyan (sekitar 8.600 metrik ton) beras setiap tahun untuk selama-lamanya; (3) Patih hanya dapat dipilih dengan persetujuan VOC; (4) ada sebuah garnisun VOC di istana; (5) orang Jawa tidak boleh berlayar ke mana pun di luar Jawa, Madura dan Bali.
Ketika kembali ke Kartasura, pada 21 Desember 1742 Pakubuwono II, mendapati istana dalam keadaan rusak parah. Yasadipura –Pujangga Istana- dalam Babad Giyanti menceritakan suasana memilukan ketika raja kembali ke istananya yang telah rusak. “Raja tampak kelihatan seperti biasanya ketika istana masih kaya raya dan jaya. Tetapi dalam hati sangat bersedih memikirkan keadaan istana beserta segala isinya porak poranda, laksana hilang dibakar oleh musuh yaitu Cina…” Maka, Raja meminta kepada Patih Pringgalaya dan Sindureja serta Van Hohendorf (VOC) segera mencari tempat untuk membangun keraton baru.
Keinginan untuk membangun keraton baru, setelah Karaton Kartosuro rusak parah, bagi Pakubuwono II bukan perkara mudah. Terutama sejak beliau sempat tersingkir dari Keraton Kartosura dan atas bantuan VOC bertahta kembali di Keraton Katosura. Yang jelas mulai saat itu setiap tindakan dan langkah Raja harus mendapatkan izin dari VOC. Beberapa alternatif tempat yang baru telah disampaikan Raja kepada VOC salah satunya adalah kawasan Tingkir Salatiga.
Van Hohendorff melaporkan kepada Kantor Pusat VOC di Batavia tentang keinginan Raja untuk memindahkan Ibu Kotanya pada tahun 1742. Setahun kemudian ada surat dari Gubernur Jenderal Johanes Thedens yang isinya: “Raja berkehendak memindahkan istana: wilayah Tingkir di daerah Salatiga yang direncanakan Raja, sepertinya sangat sesuai dengan yang diharapkan”.
Namun wacana untuk pindah ke wilayah utara Kartosura tidak terwujud, kendati pun mungkin di daerah itu juga terdapat sungai besar yang mengalir dari selatan ke utara yakni Sungai Tuntang yang mengalir dari Salatiga ke Demak. Namun rupanya Pakubuwono II masih ragu-ragu dengan alternatif tempat di kawasan Tingkir Salatiga itu. Justru beliau pada akhirnya meminta Patih Pringgalaya dan Sindureja serta Van Hohendorf mencari tempat ke daerah selatan. Akhirnya Ketiga orang itu mencoba mencari alternatif daerah ke wilayah selatan. Ada tiga tempat yang menjadi alternatif keraton yang baru yakni Desa Kadipolo, Sonosewu dan Sala.
Menurut Tumenggung Honggowongsi jika karaton dibangun di Desa Kadipolo dikemudian hari akan makmur, namun karaton akan cepat rusak dan banyak perang saudara. Bahkan Tumenggung Honggowongso meramalkan, jika karaton berdiri di Kadipolo hanya akan berusia maksimal 100 tahun. Sebaliknya jika karaton didirikan di Desa Sonosewu yang berada di sebelah timur Bengawan Sala, menurut Honggowongso tempat ini kurang cocok dan diramalkan hanya akan berusia 120 tahun, banyak perang dan akan kembali ke Agama Hindu Budha. Sementara, kalau keraton didirikan di Desa Sala, menurut Honggowongso akan menjadi keraton besar dan dapat berumur lebih dari 200 tahun.
(Bersambung)
Sumber: Laporan penelitian Evolusi Ekonomi Kota Solo, PPEP FE UNS
Pernah saya kirim untuk wikimu
Penting:Â Burung Anda kurang joss dan mudah gembos? Baca dulu yang ini.