Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Ya memang, makin hari, protes dari peserta terhadap kinerja juri cenderung meningkat. “Peserta sekarang juga pinter-pinter, tolong jangan dibodohi,” begitu umumnya mereka melakukan komplain. Seperti apakah seharusnya pakem yang dipakai, benarkan persepsi antara juri dan peserta tak bisa disamakan?
Seperti apakah sebenarnya pakem memilih burung juara? Di dataran teori, secara umum kriteria burung juara di berbagai organiser ternyata hampir seragam. Prinsipnya, lomba adalah mencari yang TERBAIK di antara yang ada di lapangan saat itu.
Kriteria penilaian secara umum juga hampir sama, yaitu dari kualitas burung yang bisa dipilah lagi dalam kategori irama lagu, volume, gaya, dan fisik. Kriteria ini, awalnya secara-resmi adalah pakem yang dipakai oleh PBI. Sekarang, gaya dan terutama fisik cenderung diabaikan dalam penilaian, atau dianggap memiliki nilai sama.
Seperti kita tahu, organser-organiser lain penilaiannya memang mengacu pada kategori yang sebelum sudah dipakai oleh PBI, bahkan termasuk teknis pemberiari nilainya, meskipun kemudian coba dikembangkan atau dimodifikasi sedemikian rupa.
Organiser lain memang bermunculan sebagai bentuk “ketidakpuasan” terhadap PBI (waktu itu organiser lomba hanya PBI). Munculah LKMI, PBSI, IBI, dan lain-lainnya yang sekarang tinggal kenangan, dan kini muncul banyak nama yang jumlahnya bejibun. Bahkan, sekarang untuk membuat even tak harus memiliki bendera atau organiser.
Narna BC atau bahkan nama pribadi pun bisa menggelar lomba. Cukup meminta bantuan salah satu juri yang punya punya banyak jaringan, jadilah kita bisa bikin lomba. Kebanyakan organiser lomba di luar PBI memang hanya sekadar punya nama, tapi tak ada aturan yang mengikat secara ketat, misalnya mengatur juri-juri yang menjadi anggotanya.
Bahkan sekarang banyak juri satu lomba yang tak punya organisasi payung, mereka jadi juri bebas, sehingga muncul istilah juri independen, bebas menilai di mana saja yang meminta mereka. Kalau memiliki jaringan luas termasuk dengan sesama juri dari luar kota, biasanya menjadi modal awal agar bisa laris mendapatkan panggilan menjuri.
KUALITAS VS KUANTITAS
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Burung yang dahsyat pernah jadi primadona. Pengertian dari dahsyat bisa dijelaskan sebagai berikut. Kerja seperti kesetanan, untuk burung yang punya gaya (seperti anis merah teler, kacer menari, murai ngeplay, cucak hijau ngentrok, dan lainnya) akan disertai dengan gerakan yang cepat dan kuat, volume sangat tembus.
Burung yang dahsyat secara alami memiliki titik lemah, yaitu seringkali punya adat sulit nampil. Sekali nampil luar biasa, tapi kalau lagi sulit juga tidak manu nampil. Burung dahsyat umumnya juga tak kuat untuk beradu dalam waktu relatif lama, tak kuat diadu berkali-kali dalam satu hari.
Namun, jaman rupanya mulai berubah. Burung dahsyat mulai “ditinggalkan” penggemar. Kimpen yang dikenal sebagai raja anis merah misalnya, mulai memburu burung-burung yang “biasa-biasa” saja tapi jujur, stabil, dan kuat bunyi dari awal hingga juri mengakhiri penilaian, dan kuat ditarungkan berulang kali dalam satu hari.
“Punya burung dahsyat, hebat, dan kualitas di atas rata-rata percuma, sebab sekarang kebanyakan juri akan mengabaikan kehebatan dan kedahsyatan si burung kalau kurang beberapa menit bahkan detik burung berhenti atau lompat.”
Kimpen mengacu pada organiser yang memberikan waktu berlomba relatif lama, sehingga membutuhkan burung yang benar-benar kuat. “Burung yang kuat umumnya ya burung yang tak dahsyat. Burung istimewa yang sempat berhenti atau berhenti beberapa menit sebelumnya bisa kalah dengan burung asal bunyi yang masih tetap bunyi hingga lomba berakhir.”
Wawan, juri senior dari PBI Solo membenarkan sinyalemen Kimpen. “Bahkan pada even PBI di daerah yang pengaruh PBI-nya kurang kuat, juga ada kecenderungan lebih mengejar pada kuantitas pada kualitas. Tapi di daerah yang pengaruh PBI masih kuat, kencenderungan memilih kualitas masih kuat.”
Pendekatan pada kualitas, masih bisa mengabaikan kelemahan burung. “Burung telat bunyi, ada ngetem di tengah, atau berhenti dulu beberapa menit sebelum berakhir, asal secara keseluruhan prosentase kerjanya masih di atas 80an persen, masih bisa juara, dengan catatan kualitas atau materi si burung memang benar-benar istimewa, di atas rata rata peserta lainnya.”
Namun, diakui oleh Wawan, pakem awal seperli ini sekarang memang banyak yarig sudah luntur, bahkan termasuk di lingkungan PBI sendiri.
Menurut Wawan, di wilayah blok timur secara umum penilaian burung lebih cenderung pada pendekatan kuantitas ketimbang kualitas.
Pandangan Suwarjono yang lebih akrab dipanggil Warjo, juri independen asal Solo yang juga ketua Ikatan Keluarga Pedagang Burung Surakarta (IKPBS) kiranya bisa mewakili “pakem” jaman sekarang di kalangan organiser independen, sekaligus membenarkan sinyalemen Wawan.
Burung kurang power? Sudah loyo sebelum lomba selesai? Ini salah satu solusinya:
BirdPower
Menurut Warjo, burung yang sangat istimewa pun, seandainya berhenti sebelum waktunya, hampir tidak mungkin menjadi juara 1. “Burung istimewa tapi bunyi terlambat terlalu lama lebih dari separuh waktu, atau kurang beberapa menit oncling, saya rasa kita semua tak akan berani memberi koncer A. Paling maksimal ya koncer B atau C, jadi bisa juara 2 atau 3 sudah bagus.”
Namun, bunyi terlambat asal tidak terlalu lama cenderung diabaikan, asal sampai akhir tetap bunyi syukur-syukur pada saat kontrol-kontrol akhir semakin maksimal. Sementara itu, Solikhin dari PPBS Karimata Semarang mengaku sulit menteorikan pakem penilaian. “Sulit Mas. Kadang kala antara pakem dengan kenyataan di lapangan beda. Di lapangan kita mencari yang terbaik dari yang ada. Kalau mengikuti pakem secara ketat, bisa pada suatu ketika tidak ada burung yang memenuhi kriteria sehingga tidak ada juaranya.”
Kontrol mulai ditinggalkan?
Di PBI ada pakem yang bila kembali diikuti secata ketat sebenarnya bagus. Pada dataran teknis menjuri, awal menilai dimulai dengan memberikan nilai dasar. Pada kelas penyisihan, nilai dasarnya dimulai 34. Kemudian setelah mengontrol dan menganggap ada kemajuan, nilai ditambah menjadi 34,5. Kontrol terakhir, dan burung dianggap memiliki keistimewaan dipenuhkan atau dimentokkan menjadi 35.
Di PBI, ada ketentuan niiai mentok maksimal pada kelas penyisihan ada 20% dari peserta. Kalau peserta full 60, burung yang dinilai mentok maksimal hanya 12 ekor. Standar yarig berlaku umum, burung yang berhak masuk final adalah yang nilai mentoknya minimal 4. Kenyataannya, kalau mentok 4 jumlah terlalu sedikit, kadang diputuskan mentok 3 juga bisa masuk final.
Kalau juri terlalu bermurah dalam menilai dengan memberikan nilai mentok terlalu banyak (lebih dari 20 persen), maka jumlah burung yang masuk final akan terlalu banyak.
Pada lomba yang langsung final, nilai dasar adalah 37, selanjutnya pada kontrol berikut ada peluang untuk menaikkan nilai menjadi 37,5, berikutnya full 38. Dari yang nilai full, kemudian dipilih mana yang layak mendapatkan koncer atau favorit.
Kadang ada suatu saat, mungkin karena faktor tekanan yang berat, juri terlalu murah memberi nilai, terlalu banyak yang mentok. Akhirnya, kelas final menjadi terlalu banyak peserta. Atau, bila itu adalah penilaian pada final atau sesi tanya penyisihan, kalau nilai mentok terlaiu banyak, akan banyak sekali tos untuk menentukan juara. Bisa jadi, juara 4-10 yang berisi 7 ekor burung, bisa diikuti oleh 15 burung atau lebih. Jadi ada burung yang memiliki nilai sama, tapi karena apes dalam tos gagal masuk 10 besar.
Sekarang, banyak juri yang meninggalkan nilai kontrol. Ada yang langsung 37,5 bahkan ada nekad memberi nilai langsung mentok 38! “Padalah kalau taat azas, itu ada gunanya. Misalnya kalau ada komplain merasa tidak dikontrol, bisa dilihat pada lembar penilaian. Kalau mulai dari 37, kemudian ada 37,5 berarti juri sudah mengontrol, kalau pun tak sampai mentok ya mungkin memang burung kalah kualitas dengan yang nilainya mentok.”
Masalahnya, sekarang hampir semua peserta akan protes bila burung kerja tapi nilai tidak mentok. Peserta menganggap burung yang kerja (misalnya kalau anis merah teler dari awal sampai akhir, tak peduli apakah speed rapat, apakah variasi lagu oke, apakah volume cukup) dari awal hingga akhir, seharusnya diberi nilai mentok.
Nah, tugas para organiser dan tokoh perburungan adalah bagaimana menyamakan persepsi pakem penilaian antara organiser, juri, dan peserta bisa sama, atau paling tidak mendekati sama.
Sebagai catatan akhir, ada juga organiser yang dalam memberikan penilaian tidak mengacu pada lomba-lomba konvensional, tetapi secara garis besar dengan angka numerik mulai 5-9, dan dibenarkan memberikan angka tambahan koma dibelakangnya, dengan tujuan untuk menghindari nilai sama. Burung yang bisa diberi nilai 5, bila asul bunyi diberi nilai dasar 6, dan seterusnya. Model seperti ini misalnya di Papburi. Mungkin angka nilai lebih detil dan teliti, namun penghitungan rekapnya lebih rumit karena harus dihitung atau dientry satu-satu.
Juri menggunakan empat orang dan tiap juri menilai secara mandiri, tidak ada komunikasi satu sama lain apalagi koordinasi. Independensi juri memang menonjol, namun sisi lemahnya adalah bila persepsi juri yang satu dengan yang lain tidak sama burung yang menurut salah seorang juri bakal jadi juara, setelah direkap secara keseluruhan boleh jadi malah akan teriempar jauh ke bawah.
Kesimpulan akhir, pada dasarnya apa pun sistem dan modelnya tetap saja memiliki titik lemah. Apalagi bila masalah persepsi tetap ada jurang pemisah yang lebar, protes atau kekurang puasan peserta akan saja tetap mewarnai setiap lomba.
Perlunya pemahaman bersama
Kekurangpahaman kicaumania pada pakem penjurian seringkali menjadi pemicu perseteruan antara juri dan peserta. Banyak komplain yang menimpa para juri yang menuding juri bekerja kurang profesional. Padahal selama ini, juri seperti dari organizer tertua, PBI, telah memiliki pakem penjurian sebagai ukuran rasional dan bukan selera dalam bertugas di lapangan.
Untuk lebih membuka wawasan kicau mania, Toyo, salah seorang juri PBI Bali (Cabang Gianyar) menerangkan secara detail pakem penjurian PBI sebagai dasar di dalam menilai burung. “Tanpa memahami pakem secara detail akan kesulitan menentukan juara,” terang Toyo yang sudah tiga kali mengikuti latihan penjurian tingkat nasional di Solo, Yogya dan terakhir di Semarang.
Penilaian di kelas anis merah misalnya, lanjut Toyo, tertinggi pada burung yang bergaya doyong dan ngisi. Burung doyong suaranya lebih keras, berbeda dengan gaya nekuk yang cenderung bersuara lemah. Namun jika burung doyong tidak ngisi maka yang dapat nilai tinggi akan dicari gaya nekuk ngisi.
Penilaian murai batu, terletak pada lagunya yang panjang-panjang, tajam, keras mengkristal. Akan mendapat nilai sempurna jika dibarengi dengan gaya ngeplay. Gaya ngeplay tanpa didukung suara yang bagus akan kalah dengan gaya diam tetapi membawakan lagu panjang, keras dan mengkristal.
Penilaian murai batu hampir mirip dengan cendet. Cendet akan mendapat nilai tertinggi jika mampu membawakan irama lagu, rolingan dengan speed yang rapat. Akan bertambah sempurna jika menunjukkan gaya berdiri sambil memutar-mutar kepala.
Pakem cendet berbeda dengan penilaian kenari. Kenari membutuhkan suara yang santai, slow, renggang, mapan, iramanya panjang tetapi membawakan lagu berubah-ubah. Tiga kali-lagunya mesti ganti. “Seperti mendengarkan suara penyanyi. Mesti enak didengar telinga,” papar Toyo.
Kacer, kata Toyo, lebih kepada pembawaan irama lagu yang bagus dan nyambung. “Akan lebih bagus jika roling-rolingannya tidak putus,” ungkap Toyo dan menambahkan gaya kacer yang bagus dalam posisi berdiri. Penilaian kacer hampir rnirip dongan tledekan. Tledekan dengan gaya nyeklek cenderung punya rol-rol panjang.
Cucak hijau kesempurnaannya terletak pada pembawaan irama lagu dengan speed rapat dan panjang serta diselingi irama lagu dengan speed rapat dan panjang serta diselingi tembakan-tembakan. Lagunya yang banyak dan penuh power menjadi ciri khas cucak hijau.
Pakem penjurian PBI, sepengetahuan Toyo, tidak ada perubahan yang mendasar. Cuma di kelas anis merah mengalami pergeseran, dari awalnya tidak boleh ada yang teller, teler biasa nekuk dan kini menjadi yang doyong.
Sayang pakem penjurian ini belum dipahami oleh sebagian kicau mania, sehingga ser ingkali terjadi mis pemahaman dari peserta yang berbuntut complain. Belum lagi, peserta yang sering hanya memperhatikan burung sendiri tanpa melihat jagoan lawan yang bisa berbuntut tersudutnya juri yang dianggap tidak fairplay.
Padahal, jurilah yang sesung guhnya memperhatikan si burung yang dikonteskan. Sementara peserta hanya sibuk memperhatikan jago sendiri.
“Pemahaman peserta pada pakem penjurian akan semalom menumbuhkan sikap sportif, baik pemain maupun juri,” kataToyo.
Juri dituntut lebih teliti
Sepertinya saat ini banmyak kicaumania yang belum memahami sepenuhnya tentang penilaian burung saat lomba. Apalagi saat ini banyak Event Organiser atau Club yang mengemas lomba memanggil juri-juri terbaik dari EO lainnya agar mendapat dukungan penuh sehingga jalannya lomba tidak bentrok. Melihat kondisi seperti itu, juri-juri yang bertugas pun belum tentu sama cara meniiai burung yang layak untuk menang.
Untuk menyesuaikan agar penilaian burung kontes sama maka sebelum bertugas juri wajib diberi pengertian oleh panitia tentang tata cara penilaian burung yang baik dan benar sesuakan kondisi disi saat ini.
Di wilayah Priangan Timur yang sudah terbentuk Paguyuban, tentunya mempunyai penilaian tersendiri saat lomba dengan memperhatikan arus zaman. Saat ini penilaian burung kontes di wilayah Priangan timur antar juri yang bertugas di lapangan sudah sepaham satu sama lainnya.
Paguyuban Priangan Timur yang meliputi daerah Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan Banjar bila menggelar lomba cara penilaian burung oleh sang pengadil di lapangan sudah saling mengerti tidak ada perbedaan lagi. Di samping kestabilan burung di lapangan, irama lagu, voiume dan fisik pun saling berkaitan dan mutlak digunakan oleh juri untuk menilai burung.
Sementara kestabilan bururig di lapangan oleh juri yang memimpin dilihat dari awal sampai akhir kinerja burung tampil gacor. Selain itu, irama lagu dengan isiannya pun dituntut harus menonjol. Setelah itu sang juri pun menilai volume dan fisiknya.
Bila irama lagu yang dibawakan oleh burung yang sedang bertanding agak kurang maksimal kerjanya namun gacor maka tidak layak untuk juara. Begitu pun dengan volume dan fisik pun sangat berpengaruh terhadap penilaian. Sebab saat ini irama lagu, volume dan fisik oleh juri yang bertugas diwilayah Priangan Timur disatukan karena saling berkait erat dengan penampilan burung.
Zaman sekarang juri benar-benar dituntut harus bisa menguasai dan memahami karakter burung dari berbagai jenis ocehan. Pada saatnya bertugas, juri pun tidak akan kaku saat memberikan nilai terhadap burung yang sedang bertarung, ” ujar Yang-Yang, ketua Paguyuban Priangan Timur.
Menurut Yang Yang, juri juri yang bertugas diwilayah Priangan Tirnur umumnya sekarang ini sudah memahami dan menguasai, bahkan membanding-bandingkan mana yang layak untuk menang tanpa ada kompromi.
Sedangkan zaman dulu, penilain burung cukup asal gacor di lapangan bisa dimenangkan oleh sang juri tanpa melihat irama lagu, volume dan fisiknya. Sementara irama lagu, volume dan fisik yang saat itu tidak menjadi penentu layaknya juara. Sebab saat itu burung yang layak menjadi kampiuv asal bunyi sudah dimenangkan oleh juri.
“lni berdasarkan pengalaman saya saat menjadi kontestan. Saya sudah 15 tahunan mengikuti gelaran lomba,” terang Yang-Yang seperti dikutip Agrobur yang menjadi sumber artikel ini.
Salam lomba burung Indonesia!!
Salam dari Om Kicau …
Artkel terkait:
1. Tata Cara Penilaian Lomba Burung Berkicau