Oleh: Ige Kristianto, Yayasan Kutilang Indonesia
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Baru-baru ini saya mendapat kiriman sebuah buku digital dari seorang teman di Inggris. Bagian pendahuluan buku itu memberikan informasi yang cukup mengejutkan buat saya. Di situ tertulis di seluruh Eropa diperkirakan terdapat 35 juta rumah tangga yang mempunyai burung peliharaan, dan yang terbanyak ternyata terdapat di Inggris, yaitu sebanyak 1,37 juta rumah tangga. Kemudian muncul pertanyaan di benak saya, “ada berapa jumlah pemelihara burung di Indonesia?”
Pertanyaan itu membawa tangan saya mengetikkan kata kunci “jumlah pemelihara burung di Indonesia” pada mesin pencari di folder “bacaan” pada note book saya. Dari deretan file-file yang tercatat, saya memilih sebuah tulisan salah seorang mantan Direktur Birdlife International-Indonesia Programme yang berjudul “Developments regarding a certification system for captive-bred birds in Indonesia”. Pada salah satu bagian dari artikel Paul Jepson tersebut, yang ternyata ditulis bersama Pak Made (Ketua PBI) dan Fahrul Amama (staf Burung Indonesia), tertulis bahwa dari survey yang dilakukan selama bulan april 2006, tercatat 35,7% (636 dari 1781 rumah tangga yang diwawancarai) rumah tangga di enam kota besar di Jawa dan Bali adalah pemelihara burung dan 57,6% di antaranya telah memelihara burung dalam sepuluh tahun terakhir.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Tentu saja tangan saya kemudian tergelitik untuk membuat ekstrapolasi. Dengan berandai-andai bahwa total jumlah rumah tangga di enam kota besar di Pulau Jawa dan Bali hanya sebanyak lima juta rumah tangga saja, maka kalkulator saya memunculkan sebuah angka yang fantastis, yaitu 1,785 juta. Sedikit lebih banyak dari jumlah rumah tangga pemelihara burung di Inggris. Meski sejatinya perasaan saya mengatakan bahwa angka ini terlalu kecil, terlebih jika kita melihat jumlah dan intensitas lomba burung berkicau di kota-kota besar di Jawa dan Bali.
Hasil tangkapan hutan
Jumlah pemelihara burung yang terlalu kecil ini-pun ternyata sudah membuat saya khawatir, terlebih setelah saya melanjutkan membaca artikel yang ditulis Paul Jepson tersebut. Pada bagian berikutnya, beliau memperkirakan sebanyak 2,15 juta burung yang dipelihara oleh rumah tangga di enam kota besar di Jawa dan Bali tersebut merupakan burung hasil tangkapan dari alam atau hutan.
Lagi-lagi saya menjadi khawatir bahwa tuduhan penyebab kepunahan berbagai jenis burung berkicau di Jawa dan Bali adalah para pemelihara burung bisa jadi benar?! Kekhawatiran saya semakin menjadi tatkala mengingat kembali cerita beberapa kawan pemburu burung bahwa saat ini sulit sekali mendapatkan cucakrowo, branjangan, decu, bahkan jalak suren dari hutan. Artinya, jenis-jenis burung tangkapan hutan yang saat ini banyak dipelihara pastilah semacam anis merah, cucak ijo, tledekan, ciblek, dan mungkin di antaranya juga masih terdapat anis kembang, kacer, dan murai batu.
Sampai kapankah jenis-jenis ini akan dapat didapatkan dari hasil penangkaran, seperti burung cucakrowo dan jalak suren misalnya. Ataukan nasib mereka akan seperti decu dan branjangan?
Sedikit waktu berselang, saya kemudian membaca-baca kembali diskusi di forum Kicaumania.or.id. Di sini saya menyadari bahwa kekhawatiran saya ternyata juga menjadi kekhawatiran banyak kicaumania di Indonesia. Tidak hanya satu-dua orang anggota kicaumania, bahkan telah secara nyata memberikan sumbangan untuk memecahkan persoalan tersebut dengan giat melakukan uji-coba untuk menangkarkan berbagai jenis burung.
Kegagalan bukanlah masalah berarti bagi kawan-kawan anggota kicaumania ini. Tanpa henti mereka terus berinovasi untuk mengembangkan berbagai teknik guna menangkarkan berbagai jenis burung dan meningkatkan produktivitas jenis-jenis yang sudah bisa ditangkarkan.
Saya kemudian bertanya lagi, “di mana peran pemerintah?” Di mana para penerima gaji dari pajak yang telah kita bayarkan itu? Kenapa belum pernah ada cerita tentang kontribusi pemerintah dalam mengembangkan usaha penangkaran burung? Kenapa bukan orang-orang dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) yang melakukan penelitian tentang penangkaran? Adakah bantuan modal bagi para penangkar yang akan memulai usaha penangkaran burung? Ahhh…saya kira keluhan terhadap kinerja pemerintah hanya akan berkisar pada pemberantasan korupsi, penegakan HAM, penegakan hukum, dan stabilitas harga sembako, tapi ternyata di dunia kecil hobi memelihara burung ini kita juga masih harus mengeluhkan lambatnya dan lemahnya kinerja pemerintah.
Ya sudahlah…mungkin kita harus berusaha sendiri dan mengabaikan peran pemerintah, tentunya juga dengan mengabaikan kewajiban membayar pajak dong…ini bukan hasutan hanya sebuah logika pragmatis ketika kebutuhan kita tidak terlayani maka sewajarnya kita juga tidak memenuhi kewajiban kita atau minimal harus ada diskon lah ya….
Kebutuhan akan penangkar
Kepunahan adalah bagian dari proses evolusi. Pembenaran macam ini bisa kita pakai, meski demikian label sebagai penyebab kepunahan burung hanya bisa kita hapus dengan hanya memelihara burung hasil penangkaran. Kuantitas dan kualitas adalah tantangan. Memulai usaha sebagai penangkar tidak hanya menjanjikan keuntungan secara ekonomi, namun juga berkontribusi pada perlindungan populasi burung di habitatnya, dan tentu saja menghapuskan label buruk sebagai penyebab punahnya berbagai jenis burung.
Pertanyaan selanjutnya adalah, berapa banyak penangkar baru yang diperlukan untuk dapat menghasilkan 2,15 juta burung? Mari berandai-andai, jika seorang penangkar mampu menghasilkan 10 anakan setiap bulan, maka jawaban kalkulator saya adalah 17.916 orang penangkar. Jumlah ini ternyata tidak banyak, hanya 0,01% dari perkiraan jumlah rumah tangga pemelihara burung di enam kota besar di Jawa dan Bali.
Karena tidak banyak, maka siapapun yang memulai dan menjalankan saat ini akan menjadi pionir. Logika usaha mengatakan, pionir akan meraih keuntungan lebih dulu dari pengekor. Jadi kenapa menunda untuk menjadi penangkar burung? (*)