Penyelundupan 33 jenis burung yang dilindungi, seperti elang dan burung hantu, digagalkan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung, pada Rabu (12/1). Menuruit rencana, hewan tersebut akan dikirim ke seorang penadah di Jakarta.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Kepala Seksi Observasi Wilayah I BKSDA Lampung Subakir mengatakan hewan yang gagal diselundupkan adalah 21 ekor elang tikus dan 12 burung hantu. Hewan tersebut diselundupkan melalui jasa angkutan bus antarkota antarprovinsi saat melintas di Jalan Soekarno-Hatta, Bandar Lampung. Hewan tersebut dikemas rapi dalam kandang yang terbuat dari kayu.

Petugas juga memeriksa Marsito, warga Ambarawa, Pringsewu, Lampung. Pria berusia 52 tahun itu merupakan pemilik puluhan burung yang dilindungi. Marsito mengaku puluhan burung itu didapat dari para pemburu burung di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Tanggamus, Lampung.

Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...

Dalam pemeriksaan terungkap bahwa Marsito sudah hampir sepuluh tahun menjalani pekerjaan tersebut. Untuk sekali pengiriman, dia mendapat keuntungan sekitar Rp 5 juta. Biasanya, dia membeli burung itu dengan harga Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu dan menjualnya kembali dengan harga Rp 500 ribu ke penadah.

Untuk pemeriksaan, sepertri diberitakan Liputan6,  Marsito diserahkan ke Polda Lampung. Dia dianggap melanggar Pasar 21 Undang-Undang Nomor 5/1990 tentang Observasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem. Ancaman pidananya bisa lima tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Burung hantu untuk apa?

Sekadar untuk melengkapi berita burung hati ini, berikut ini saya sajikan sebuah artikel di Trubus, tentang sukses burung hantu menjadi pemburu tikus yang handal, dengan judul aseli “Hantu Pembawa Kabar Gembira”.

Sucipto dan puluhan warga Desa Wunut, Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, tak pernah lagi berburu tikus. Padahal, biasanya sekali perburuan mereka memperoleh 200 ekor satwa pengerat yang kerap menggagalkan panen itu. Sucipto kini mempercayakan perburuan tikus kepada burung hantu Tyto alba.

Dalam bahasa Yunani, tyto berarti burung hantu, sementara alba pinjaman dari bahasa latin untuk warna putih. Sejak 7 tahun silam, mereka sengaja memelihara burung hantu di tengah pesawahan untuk mengendalikan hama tikus.

Sebelumnya, setiap tahun selalu terjadi serangan tikus yang menyebabkan tingkat kerusakan padi 75 – 90%. ‘Beragam pengendalian, baik dengan racun tikus atau gropyokan, tak mempan,’ tutur Sucipto, ketua Kelompok Tani Harapan Jaya, di Dusun Gempal, Desa Wunut. Padahal, Sucipto meningkatkan takaran rodentisida alias racun tikus hingga 40 kg per ha. Namun, Rattus spp itu seperti sudah kebal, tetap beranak-pinak.

Suatu hari pada awal 2003, seorang penduduk menangkap dares – sebutan lokal untuk burung pemangsa itu. Di daerah itu masyarakat menganggap burung hantu pembawa malapetaka atau pembawa kabar buruk. ‘Mitosnya setiap ada burung hantu berarti akan ada orang yang sakit atau meninggal,’ ujar Anto Srianto, koordinator Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur. Nasib burung hantu yang tertangkap warga biasanya dijual ke pasar, bahkan dibunuh.

Anto yang memergoki kejadian itu lantas mencoba memberi pengertian bahwa burung hantu sejatinya bermanfaat sebagai pengendali tikus. Lantaran warga sudah kewalahan mengatasi tikus, mereka pun tertarik mencoba. Anto menunjuk 2 petani padi untuk mengikuti pelatihan di Ngawi, Jawa Timur, yang sudah lebih dulu memanfaatkan burung hantu untuk mengendalikan tikus sawah.

Malahan di Ngawi, para petani menangkarkan burung hantu. Semula memang ada beberapa burung hantu yang hidup liar di Dusun Munggur, Desa Giriharjo, Kecamatan Ngrambe, Ngawi. Berdasar laporan warga, burung malam itu sering dijumpai sedang mencabik-cabik tikus. Sekolah Lapang Pengendali Hayati Terpadu Kabupaten Ngawi menindaklanjuti informasi itu.

Mereka mencoba membangun 2 pagupon – rumah burung terbuat dari kayu – di areal pesawahan. Beberapa hari berselang, sepasang burung hantu menempati pagupon. Oleh karena itu mereka membangun 7 pagupon lain ukuran 2 m x 1 m x 0,4 m berketinggian 6 – 7 m dari permukaan tanah. Sejak itu, serangan tikus berkurang hingga 90% sekalipun petani tidak serempak menanam padi. ‘Semula serangan tikus bisa menyebabkan kerusakan padi hingga 80%,’ ujar Jumangin, ketua Pusat Pengendali Agen Hayati (PPAH) Dusun Munggur.

Kesuksesan itu mengundang keingintahuan petani lain di sekitar Munggur. Mereka tertarik mengikuti jejak para petani itu. Oleh karena itu pada 2004, Jumarin, salah satu petani di Munggur beserta rekan-rekannya mulai menangkarkan burung yang tinggi tubuhnya 25 – 40 cm itu untuk dijual ke daerah lain. ‘Total sudah ada 50 pasang burung hantu yang kami sebar ke daerah lain,’ ujar Jumarin.

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Daerah itu antara lain Klaten, Boyolali, dan Pekalongan di Jawa Tengah, serta Jombang, Mojokerto, dan Tulungagung di Jawa Timur. Di luar Jawa ada pula Tenggarong, Kutai Kartanegara, Manado, dan Gorontalo. Khusus di Gorontalo, petani memanfaatkan burung hantu sebagai pengendali hama tikus di lahan jagung.

Menurut Edi Suwarno, koordinator POPT, Dinas Pertanian Kabupaten Ngawi, daerah-daerah berketinggian di atas 400 m dpl bisa mengadopsi pengendalian tikus dengan burung hantu. Itu karena T. alba cocok hidup di dataran menengah hingga tinggi. ‘Daerah-daerah itu juga sebaiknya masih memiliki hutan-hutan kecil di sekitar pesawahan,’ ujar Edi.

Sebab, burung yang menjadi simbol Dewa Kebijaksanaan di Yunani itu tidak punya kebiasaan membuat sarang. Pagupon dijadikan tempat bertelur, tetapi pada siang hari burung itu lebih banyak bertengger di dahan pohon di hutan. Burung hantu juga relatif cepat berkembang biak. Burung anggota famili Tytonidae itu bisa 2 kali bertelur per tahun dengan jumlah masing-masing 3 – 7 butir sekali bertelur.

Wajar masyarakat mengandalkan burung hantu sebagai pemburu hama tikus di berbagai lahan pertanian. Di Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan, Sumatera Utara, misalnya, burung hantu mengontrol populasi tikus di lahan kelapa sawit. Predator itu mampu menurunkan serangan tikus pada tanaman muda dari 20 – 30% menjadi di bawah 5%. Ambang kritis serangan tikus di perkebunan kelapa sawit adalah sebesar 10%.

Penelitian Dr Machmud Thohari dari Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP), Bogor, Jawa Barat, menyebutkan bahwa sepasang T. alba di dalam sangkar mampu memangsa 3.650 tikus dalam setahun. Berarti sepasang burung hantu itu sanggup menghabiskan rata-rata 10 tikus per hari. ‘Di sawah, seekor burung hantu dewasa memakan rata-rata 3 – 4 tikus per malam,’ ujar Suparno, petani di Desa Wunut.

Menurut Bambang Agus Suripto SU MSc, ahli zoologi dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, karena keterbatasan hama yang dapat dimakan, agen pengendali hayati efektif jika populasi hama tidak meledak. ‘Jika populasi hama tikus meledak, misalnya, sebaiknya dilakukan upaya mekanis seperti gropyokan untuk mengurangi populasinya, baru mengandalkan agen pengendali hayati,’ kata Bambang.

Menurut Bambang, para petani menggunakan T. alba sebagai agen pengendali hayati lantaran penyebarannya luas. Anggota ordo Strigiformes alias bangsa burung hantu hampir semuanya pemakan mamalia kecil seperti tikus dan sejumlah kecil hewan lain. Namun, tak sedikit dari sekitar 200-an jenis burung hantu itu sebarannya terbatas. Ukuran tubuhnya pun ada yang sangat kecil misalnya elf owl di Mexico yang tingginya hanya 13 – 30 cm.

Berbeda dengan T. alba yang tersebar hampir di seluruh penjuru dunia dan gampang dijumpai. Ukuran serak jawa – sebutan dalam bahasa Indonesia – relatif besar dan tergolong hewan bertipe ‘trap-happy’. Artinya, burung itu gampang dipelihara dan tidak mudah stres meski hidup di lingkungan yang berbeda dengan habitat alaminya.

Barn owls – sebutan T. alba dalam bahasa Inggris – juga bukan tipe burung yang aktif mempertahankan wilayah perburuan. ‘Daerah jelajahnya pun bisa tumpang-tindih dengan individu lain,’ kata Bambang. Artinya, beberapa burung hantu bisa mencari makan di daerah yang sama. Di Dusun Gempal, misalnya, para petani menyebar 22 pasang burung hantu di pesawahan seluas 30 ha. Sementara di Dusun Munggur ada 11 pasang burung hantu yang menjaga sawah seluas 42 ha.

Burung yang rata-rata hidup selama 2 – 4 tahun itu juga punya kelebihan lain. Menurut Supriadi, staf POPT Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur, induk burung hantu biasanya semakin aktif berburu tikus saat dalam masa njuju atau menyuapi anaknya. Namun, burung hantu tidak membunuh tikus hanya untuk dimakan. ‘Burung hantu memiliki sifat pembunuh. Artinya, ia akan tetap membunuh tikus yang ia lihat meski tidak sedang lapar,’ ujarnya.

Para petani di Dusun Munggur sudah membuktikannya dalam penangkaran. Mereka pernah bereksperimen dengan memberi 300 tikus hidup sekaligus pada seekor burung hantu dalam kandang. Dalam semalam, burung hantu itu membunuh semua tikus. Tetapi, ia hanya memakan 4 ekor di antaranya.

Burung hantu memang sohor sebagai pemburu tikus yang andal. Bukan hanya itu, di luar negeri kini sudah banyak dijual replika burung hantu yang bisa bergerak dengan bantuan tenaga surya sebagai pengganti orang-orangan sawah. Harga replika sekitar Rp300.000 dan efektif mengusir burung-burung kecil dan tikus yang menjadi hama di sawah. Burung hantu yang didakwa sebagai pembawa berita buruk itu, justru menjadi pembawa kabar gembira bagi para petani.

Catatan Om Kicau:
Mengingat pentingnya burung hantu sebagai predator alamiah tikus dan hama penggangu tanaman lain, sudah seharusnya pemerintah mengatur lagi masalah perlindungan burung hantu, dengan cara memberi regulasi khusus untuk peredarannya dan sekaligus “kewajiban” atas penangkaran terhadap para pelaku di dalamnya.

-7.550085110.743895