Pada lomba burung Mr Donk Cup 2 di Jogja Minggu 8 April 2012, saya sempat dibuat sebel oleh ulah pelomba yang berteriak-teriak lantang sampai memekakkan telinga. Saya pikir orang ini orang bayaran untuk teriak atau pelomba yang tidak tahu lapangan atau pura-pura tidak tahu mentang-mentang punya suara lantang dengan mulut terbuka lebar?
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Saya katakan demikian karena teriaknya sangat monoton nyaris dari awal sampai akhir sesion kelas murai batu Suara Sakti: ”Juri mutar… juri mutar…” Dia teriak demikian sampai bendera koncer sudah mau ditancapkan.Oleh karena itulah saya berpikir ini pasti orang tidak paham lomba dan kebetulan baru saja ditraktir baso dan tenaganya full sehingga gacor terussss…
Apapun alasannya, orang macam ini masih banyak bertebaran di arena lomba. Motifnya bisa bermacam-macam. Mulai dari yang memang merasa diperlakukan tidak adil, karena juri memang hanya bergerombol di satu sudut, ada juga karena motif agar burungnya mendapat poin tambahan karena burungnya sedang dipantau calon pembeli.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Ya, bila selama ini juri sering menjadi sasaran kritikan soal perilakunýa yang dianggap tidak adil dalam menilai, lalu dituduh ada main mata dengan peserta untuk menjuarakan salah satu burung titipan dan lain sebagainya, bagaimana dengan peserta sendiri? Sudahkan mereka yang suka protes itu melakukan introspeksi?
Tidak semua peserta yang protes tidak fair, cukup banyak tindakan protes yang disampaikan tokoh kicaumania adalah benar adanya karena ada ketidakadilan di penjurian. Tapi hal seperti itu jarang terjadi, kecuali kondisi permainan dianggap tidak berjalan apa adanya atau tampak ada kepemihakan juri atau Korlap (koordinator lapangan) pada burung tertentu.
Mari kita mencoba mengomentari perilaku peserta yang sering protes dan protesnya juga sering tidak berbobot alias mengada-ada. Ya benarlah, “mengomentari pekerjaan orang lain memang lebih mudah, sama halnya kita mengomentari kekuarangan, kejelekan bahkan kesalahan orang lain, paling gampang”.
Begitulah posisi pelomba yang sering protes tanpa dasar yang jelas, mereka lebih gampang mengumpat, mencaci, memaki juri yang bertugas, pasalnya ia berada di posisi sebagai penonton.
Tapi akan lain halnya bila ia diposisikan di tengah lapangan misalnnya dibalik saja, dia ditugasi menjadi juri, apakah bisa dia lakukan tugas seperti juri yang dicaci dan disumpahi? Jawabnya, sudah dapat ditebak “pasti tidak bisa”. Dan argumen yang muncul pasti seperti ini, “Saya memang tidak pernah jadi juri, ya tidak bisa jadi juri.”
Mengada-ada
Dalam catatan di halaman kontes Agrobur edisi April Minggu III 2012, dituliskan bahwa hal itu pernah ditanyakan kepada peserta yang sering protes. Mereka menjawab ya tak jauh dari jawaban di atas. lntinya mereka ikut lomba bayar tiket, mau protes atau mengumpati juri terserah dia. Kalau sudah demikian maka banyaknya protes saat ini tidak dapat dijadikan patokan atau parameter lomba tersebut tidak sukses.
Lho kok bisa? Ya, pasalnya protesnya peserta saat ini seringkali dibuat-buat atau mengada-ada. Sudah tahu burungnya tidak juara karena ada yang lebih baik, masih saja protes misalnnya menunjuk burung yang sedang bunyi ke panitia atau ke juri. ”Kurang apa burung kayak gini?”
Memang saat ditunjukkan, burung bunyi bagus, tapi menurut juri ketika di lapangan banyak burung lain yang lebih bagus. Setelah dijelaskan juri bila burungnya kalah dengan nomor sekian, burung berhenti kalau didekati juri, dia baru menerima.
Dan ternyata si pemilik sendiri sebenarnya ngerti kalau burungnya sering ngetem atau berhenti kerja saat juri lewat di bawahnnya, tapi karena ia ingin protes saja siapa tau dapat tambahan nilai mentok sehingga bisa masuk sepuluh besar yang otomatis dapat kembalian uang tiket pendaftanan.
Tidak sedikit pula protes karena dilatarbelakangi burungnya sedang dalam pengamatan untuk transaksi. Kalau sudah demikian biasanya mereka kalau tidak bisa “nembus juri” akan melakukan cara lain yakni memaksakan kehendah dengan protes keras agar mendapat pehatian juri atau panitia.
Cara protesnya umumnya dilakukan dengan cara yang tidak rasional, marah-marah tidak terkontrol padahal burungnya jelas-jelas tidak terlalu istimewa, tapi minta juara satu. Hal seperti ini tentu mengundang tawa peserta lain.
Setelah ditelusuri agak jauh, eh ternyata burungnya sedang dipantau calon pembeli. Kalau juara satu transaksi jadi, kalau tidak maka transaksi batal.
Bagaimana kita?
Masih banyak cara lain yang dilakukan pelomba dalam memaksakan kehendak agar burungnya masuk juara, dan gambaran di atas merupakan sebagian cara yang dilakukan pelomba.
lntinya pelomba juga harus mengasah sikap empati atau merasakan perasaan orang lain. Jangan hanya menuntut hak, sementara itu ada hak orang lain yang dia langgar. Dan hal ini perlu diperhatikan oleh panitia, juri juga peserta lain, sebab tidak sedikit ulah para pemrotes asal protes justru membuat pelomba lain kesal, karena pelaksanaan lomba terganggu, sementara kita ikut lomba ingin mencari hiburan.
Mari kita renungkan sejenak, apakah kita masuk dalam golongan pelomba seperti itu?
(Referensi: “Peserta juga sering tidak fair”, Agrobur April Minggu III 2012)