Burung anis kembang atau punglor kembang dan tledekan atau silingan sempat mengalami masa keemasan era akhir 90-an di Bali. Banyak jago menorehkan tinta emas di datar kejuaraan kontes. Namun siapa yang menyangka kelas tersebut pelan-pelan ditinggalkan pemain.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Ketika lomba burung mulai ramai di Bali pertengahan 90-an, Edy Limbono sempat menunjukkan salah satu jago anis kembang miiknya yang tidak punya lawan. Kemudian Komang Saraf yang juga punya jago anis kembang yang pilih tanding.
Sampai akhirnya mejelang tahun 2000, H Ba’awad menampilkan Ronggolawe. Karena prestasinya yang tidak terhitung, H Ba’awad sampai menamakan ternak anis kembangnya Rongolawe BF.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Lalu muncul Casanova, kemudian Goenadi Santosa mengibarkan Millenium yang tidak saja ngoncer di Bali tetapi di luar Bali. Sampai akhirnya muncul generasi berikutnya Dewa Perkasa sebelum kelas anis kembang ring surut dari arena kontes di Bali.
Perjalanan tledekan mengikuti jejak punglor kembang. Bermula dari sang legendaris Raja Gedeg asuhan Goenadi kemudian muncul Sinyobeta, dan Dejafu milik dr. Hen yang tidak terhitung piagam juara pertamanya di awal 2000-an.
Dejafu sempat berpindah tangan ke Herwin Adi sampai akhirnya dipegang Angguk Lombok berganti nama menjadi Pesona.
Burung ini sampai kini masih dilombakan dan hanya bisa masuk di tiga besar. Paruh 2000-an mulai muncul Ojolali dan terakhir Marcopolo milik Mr. Fajar. Marcopolo yang nyaris tidak ada yang bisa menandingi di setiap kontes; sedikitnya mengumpulkan 30-an juara I dan disusul titik kemunduran kelas tiedekan di Bali.
Mengapa ditinggalkan
Ironis memang, punglor kembang dan tledekan yang punya kesempurnaan dalam berlaga justru ditinggalkan penikmatnya.
Beberapa tokoh perburungan di Bali menduga hal itu disebabkan tingkat kesulitan merawat dua jenis burung tersebut. Punglor kembang sangat sulit untuk dibuat ngerol di lapangan. Begitu juga tledekan yang sulit menjadikan nyeklek ketika melawan musuh. Akhirnya, ketika ada satu burung yang punya karakter istimewa maka akan sangat sulit ditaklukkan.
“Faktor inilah sering membuat pemain beralih ke kelas lain,” kata Andi Dwirasa.
Santo Utoyo, tokoh PBI Denpasar menambahkan, naiknya harga bakalan menjadi salah satu penyebab melemahnya dua kelas tersebut.
Ketika masa keemasaan punglor kembang dengan transaksi-transaksi yang fantastis, berdampak terangkatnya harga bakalan. Bakalan anis kembang sempat menembus 1,5 juta seekor. Akibatnya para pemula yang sesungguhnya mendominasi dalam meramaikan kelas itu muiai enggan berspekulasi terlalu tinggi. Harga bakalan tledekan yang sempat hanya 15 ribuan seekor kemudian melesat menjadi 250-300 ribu seekor.
Ditambah perawatan anis kembang dan tiedekan yang membutuhkan extra-fooding kroto setiap hari menambah beban para pemula.
“Pemula tidak ada yang pelihara burung akhirnya kelas tersebut sepi,” ungkap Santo Utoyo.
Toh begitu, kelas tersebut bisa saja bangkit kembali. Ini tergantung dari sikap panitia dan tokoh-tokoh perburungan.
Transaksi yang menggiurkan dipastikan berdampak besar terhadap animo kicau mania untuk melirik lagi kelas tersebut. Contoh, transaksi kacer di atas 300 juta berdampak luas terhadap perburungan di Bali.
Sebaliknya panitia yang tidak membuka kelas anis merah di sebuah lomba besar juga mempengaruhi pamor burung tersebut.
Jadi, kata Santo Utoyo, jika ingin mengangkat anis kembang dan tledekan, panitia mesti sungguh-sungguh mengemas dengan menarik pemain melalui hadiah yang Iebih besar. Transaksi yang tinggi juga menarik minat pemain.
Tetapi jika harga bakalan tetap tinggi, jangan berharap kelas tersebut bisa ramai. Grafik kelas burung selalu menunjukkan pasang surut tergantung dari tingginya harga bakalan. Semakin tinggi harga bakalan, maka ada kecenderungan menurun. Sebaliknya harga bakalan yang murah cenderung kelas tersebut semakin ramai.
“Salah satu contoh yang kini terjadi, anakan anis merah yang terbilang tinggi, di atas 700 ribu seekor, bahkan ada sampai di atas angka 2 jutaan membuat para pemula tidak sanggup memelihara yang akhirnya suatu saat anis merah bisa saja merosot. Padahal ukuran ramai peserta bisa dilihat dari jumlah pemulanya,” papar Santo Utoyo.
Usaha untuk mengembalikan pamor anis kembang dan tledekan terus dilakukan. Belum lama ini komunitas pleci Bali memastikan bakal membuka kelas anis kembang ring dan tledekan di arena latber yang akan dilakukan setiap Jumat Sore.
Bahkan, Andi Dwirasa yang mengembangbiakkan anis kembang siap untuk membantu doorprize sepasang anakan anis kembang jika dua kelas ni dibangkitkan lagi.
Rangkaian artikel “Burung terpinggirkan di ajang lomba Agrobis Burung”:
- Burung terpinggirkan di ajang lomba (1): Anis kembang bisakah bangkit lagi?
- Burung terpinggirkan di ajang lomba (2): Tledekan, riwayatmu kini…
- Burung terpinggirkan di ajang lomba (3): Bali coba angkat lagi pamor anis kembang dan tledekan
- Burung terpinggirkan di ajang lomba (4): Cucakrawa terancam degradasi?
- Burung terpinggirkan di ajang lomba (5): Banten, lomba anis kembang teramai ada di sini
- Burung terpinggirkan di ajang lomba (6): Ironi cucakrawa di Kalimantan