Memang biaya “entertain” sudah menjadi rahasia umum di kalangan pemain dan juri. Tidak etis memang, tapi nyata adanya. Tentu, bila kita konfirmasikan kepada para pihak terkait, secara tegas mereka akan membantahnya. Diakui atau tidak, ada indikasi yang ditemui di lapangan. Yakni, pemilik sejumlah burung yang langganan juara, setiap kali menang rajin memberikan sesuatu kepada juri yang dianggap menodai nilai-nilai fairplay.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Kalau hal seperti itu dikonfirmasi ke beberapa pihak, sudah pasti mereka keberatan untuk memberi keterangan. Bahkan sebagian dari mereka menepis fenomena itu. Kalau toh ada maka menurut mereka, sifatnya sekadar ucapan terimakasih ke juri atau pihak tertentu.
Namun coba saja kita lihat apa yang disampaikan Dian Toto, juri senior PBI, di status FB-nya. Om Dian Toto mengatakan demikian:
Kenapa lomba sampai diprotes oleh peserta. Pasti ada penilaian yang tidak fair. Siapa yang menilai, pasti kan juri. Yang salah panitia, sudah tahu juri bermasalah masih saja dipakai. Saya mengalami sendiri gara-gara juri yang dititipkan oleh peserta tidak dipakai. Peserta tersebut membatalkan tiket. Jadilah pemain, jangan ada ketergantungan pada juri. Juri juga manusia biasa. Buat apa burung juara tapi peserta yang lain mencemooh, “burung gitu kok juara”. Apa enaknya. Marilah belajar fair play dari diri kita sendir dimulai agar lomba burung bisa dinikmati. Kadang niat kita baik belum tentu diterima dengan baik. Mari kita junjung lomba yang fair play.
Nah, dari apa yang disampaikan Om Dian Toto, kita sebenarnya sudah disadarkan betapa hal-hal yang tidak etis yang disampaikan pada awal artikel ini sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Hal itu seperti ditulis dalam laporan Agrobur, terjadi di semua kalangan event organizer (EO) yang sekarang kita kenal. Mulai EO besar hingga EO gurem atau EO tanpa bentuk. Oknum jurinya terindikasi dengan tangan terbuka menerima sesuatu dari oknum pemain yang terindikasi ingin bermain mata dengan oknum juri.
Uang hadiah dibagikan
Artinya, kalau ingin juara terus, punya burung bagus saja belum cukup. Perlu biaya tambahan agar para juri siap memantau burung itu secara seksama. “KaIau toh fakta itu terjadi, sebenarnya dilakukan oknum juri yang tidak bertanggung jawab dan ingin menodai nilai fair play di korps juri,” ujar beberapa juri secara terpisah.
Besaran uang memang beragam. Ada yang memberi seikhlasnya, tapi ada pula yang dengan persentase. Bila menang, sang bos tak ambil hadiah, separuh buat perawat, separuh buat para juri. Ada pula yang lebih ekstrim, seluruh hadiah diberikan untuk para juri, sedangkan sang perawat sudah punya gaji khusus yang terpisah.
Besarnya biaya ini membuat sejumah kicaumania yang namanya cepat besar, namun kemudian cepat pula tenggelam. Keluhan soal ini benar-benar ada.
Di Semarang, saat mengikuti Kicau Mania Bersatu (16/9) salah seorang tokoh yang memiliki banyak burung juara mengaku mulai jenuh. “Hampir tiap pekan burung-burung saya lombakan. Lelah ininya,” katanya sambil menggerakkan ibu jari tangannya melambangkan “uang”.
Padahal, burungnya terhitung langganan juara. Artinya, kita bisa menafsirkan bahwa uang hadiah tak pernah nyampai ke tangan si bos, tapi habis di jalan; untuk si perawat, juga untuk para juri.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Di kota lain di blok tengah, seorang pemain yang namanya mulai menanjak, juga mengaku gerah setiap kali lomba di dalam kotanya sendiri yang tiap hari ada banyak pilihan lomba kecil atau latber. “Kita ikutan latber yang hadiahnya tidak seberapa, tapi kalau juara pada minta tips. Lha terus perawat saya dapat apa? Kalau tak dikasih, takutnya besoknya burung saya tidak diperhatikan.”
Untuk menghindari hal itu, ia memilih lomba ke tempat lain yang di sana dia benar-benar tidak kenal siapapun atau dirinya tidak dikenali. Hasilnya, sejauh ini malah bagus. “Di tempat yang netral, burung saya bisa juara, dan saya cuek saja tak perlu bagi-bagi salam tempel.”
Pertanyaannya, apakah bisa terus-menerus bersikap cuek seperti itu?
Demikianlah adanya. Kasus Salatiga muncul dikarenakan ada dugaan “main mata” antara juri dan pemain yang pengin selalu ngetop dan pada sisi lain ada peserta yang curiga yang kebetulan berani protes atau punya tingkat emosi yang tinggi.
Cara untuk ngetop di dunia kicauan dengan cara selalu menggelontorkan uang atau hadiah ke juri, akan terbukti baik cepat atau lambat sebagai cara yang jelek dan tidak panjang umum. Untuknya tidak semua kicaumania suka hal yang demikian. Masih banyak pihak yang tidak sepakat dengan cara instan yang menurut mereka tidak etis itu. Taruhlah mereka berkantong cekak, mereka masih punya peluang bisa terkenal di lapangan. Tentunya asal dia punya gacoan berkualitas. Apalagi kalau di tiap kelasnya mempunyai burung yang mapan pasti cepat terkenal.
Selain memiliki burung andal, rendah hati dan tidak sombong ke sesama pemain burung pasti akan disegani dan namanya akan harum di belantika perkicauan.
Dengan pendekatan seperti ini, nama di panggung kicauan segera terdongkrak. Hal itu antara lain disebutkan Hengki Bar. Kicaumania asal Jakarta ini juga mempunyai beberapa burung andal di kelas anis merah. Joker, Ebola dan Dongkrak merupakan burung handalnya yang sering moncer di berbagai gelaran di wilayah Jabodetabek dan blok barat hingga fotonya sering tampil di media.
Meski demikian, dalam melihat kasus Salatiga, kita juga perlu menilik peran event organizer dalam memilih juri. Sebagaimana diungkapkan Om Dian Toto, panitia lomba jangan sampai memilih juri yang sudah punya reputasi buruk di kalangan kicaumania.
Bagaimana dan apa yang seharusnya yang dilakukan EO agar kasus Salatiga tidak terulang? Yuku kita simak artikel berikutnya ya. (Artikel II dari 4 Artikel/Bersambung)
Artikel lain:
- Di balik kasus rusuh lomba burung di Salatiga (1): Peserta yang “murah hati”
- Di balik kasus rusuh lomba burung di Salatiga (3): Dari Agung Tattoo sampai Iwan Tugu Luwak
- Di balik kasus rusuh lomba burung di Salatiga (4): Beranilah transfer mahal dan promosi