Insiden yang terjadi akibat kesalahpahaman antarpeserta sempat mewarnai even Festival Burung Nasional di Desa Wisata Kadisobo, Kecamatan Turi, Sleman, Minggu (2/12) lalu. Kejadian bermula saat Sapta dan rekannya menuju ruang juri dengan nada marah, begitu penilaian salah satu sesi anis merah selesai.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Apa yang dilakukan Sapta membuat sejumlah kicaumania lain mengikutinya dari belakang. Ada yang sekadar ingin tahu atau melihat apa yang terjadi. Namun ada pula peserta yang berniat ikut memprotes di kelas atau sesi lain.
Banyaknya orang yang berkerumun membuat situasi menjadi tegang. Saat itu seorang peserta, Sego, termasuk yang berniat komplain ke ruang juri, menanyakan kenapa burung kacernya tidak masuk.
Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...
Melihat Sapta marah-marah, Agus Supra yang merasa kenal dekat dan “dituakan” di kalangan pemain anis merah mencoba mendekat untuk mendinginkan Sapta. “Saya mendekati Sapta hanya untuk memintanya agar mau bersabar. Kenapa? Karena saya kenal dekat dengan dia.”
Saat itulah Sego yang ada di belakang Sapta malah marah-marah sambil menunjuk-nunjuk muka Agus dan menuduhnya ikut campur. Sego bahkan sudah menunjukkan gelagat mau memukul, tetapi dilerai peserta lainnya. Agus pun disarankan menjauh agar kesalahpahaman tidak makin berlanjut.
Sego rupanya belum puas dan masih mencari Agus. Saat Agus sedang melihat lomba, Sego disebutkan memukul dari arah belakang. Agus yang tak menerima perlakuan ini memutuskan untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan Sego ke polisi.
“Memang pemukulan itu tidak menyebabkan luka serius. Ada memar dan sedikit rasa sakit. Tapi ini pelajaran bagi semuanya, supaya kalau ada masalah bisa diselesaikan dengan cara-cara yang etis, terhormat, damai. Jangan asal main pukul saja,” ujar Agus Supra.
Bersumber dari dendam lama
Setelah dirunut mengapa Sego mendadak marah dengan Agus, ternyata ada kaitannya dengan dendam lama ketika berlangsung even Nglaras Swara di Taman Kuliner Jogja. Saat itu, di kelas cendet, hasil rekap menunjukkan burung milik Sego tidak masuk. Dari 4 juri, hanya seorang yang nilainya penuh, tiga yang lain mati.
Tetapi juri yang memberi nilai penuh mengatakan kepada Sego, kalau burungnya masuk, tanpa melihat nilai juri yang lain. Sego kemudian marah dan menuduh Agus Supra yang menyebabkan burungnya tidak masuk.
Agus mengaku kurang mengerti dengan peristiwa di Taman Kuliner. “Itu kan kesalahan kolektif panitia, dan saya sudah minta maaf, baik secara pribadi maupun atas nama panitia. Kesalahan atau kekurangan itu, misalnya proses rekap yang berlarut-larut, sehingga membuat banyak peserta kurang sabar dan memicu emosi saat itu. Saya tentu bisa memakluminya.”
Tetapi, apapun alasan atau latar belakangnya, tindakan pemukulan atau sekadar membentak atau mengancam sungguh tidak bisa dibenarkan di alam demokrasi. Apalagi ini dalam lomba burung, tempat di mana kita mestinya bisa menjalin silaturahmi, tukar pengalaman, dan bersenang-senang.
Karena itu, reaksi Agus Supra dengan melaporkan kasus ini ke ranah hukum merupakan pilihan yang mesti bisa dipahami dalam rangka pembelajaran dalam menyikapi perbedaan.
Perkembangan berikutnya, Sapta yang merasa kenal baik dengan Sego dan Agus mencoba melakukan mediasi agar kasus ini tak masuk ke ranah hukum. Agus Supra pun memberikan respon positif.
“Kalau Sego benar-benar mau mengaku salah, menyesali perbuatannya, dan mau tobat, juga bertanggungjawab dengan apa yang telah ia perbuat, saya mau menerima. Syaratnya, kalau memang serius dia harus datang meminta maaf ke rumah saya, saya tunggu 1 x 24 jam.”
Sego pun akhirnya minta maaf
Singkat cerita, Selasa (4 /12) kemarin, sekitar pukul 20.00, Sego didampingi Sapta dan rekan-rekannya datang menyambangi rumah Agus Supra.
“Saya tanya dia, apa sesungguhnya salah saya, baik ketika di Nglaras Swara maupun di Kadisobo. Saya jelaskan, bahwa yang saya lakukan di Nglaras Swara sesuai dengan kewenangan saya. Kalau pun ada kesalahan dan kekurangan, waktu itu saya juga sudah minta maaf,” tutur Agus.
Sego kemudian menanggapi. Menurut dia, Agus terlalu agresif saat terjadi crowded di Kadisobo. Padahal saat itu ia hanya peserta biasa (pelomba), bukan panitia.
“Saya lalu menjawab, di Jogja saya sudah dianggap sebagai sesepuh. Kalau ada pemain yang notabene sahabat saya ada masalah, sementara panitia juga teman-teman saya, masa saya diam saja. Saya merasa terpanggil untuk membantu melerai agar semua bisa baik-baik saja.”
Selasa malam itu, akhirnya Sego minta maaf dan mengaku salah, serta berjanji tak akan mengulanginya lagi di even mana pun, juga kepada siapapun. Agus Supra akhirnya mau mencabut laporannya ke polisi, dan menyerahkan kepada Sapta untuk mengurusi soal teknisnya. Sebab sebelumnya yang ikut mengurus laporan ke polisi juga Sapta.
“Saya orangnya tidak tegaan. Setelah berpikir jernih, kalau proses ini tetap berlanjut dan Sego masuk penjara, misalnya, itu tak membuat saya bahagia atau diuntungkan dari sudut mana pun. Jadi menerima permintaan maaf dan menarik laporan ke polisi adalah hal yang baik pula. Kalau hal ini benar-benar bisa mengubah dan membuatnya jadi insyaf, semoga bisa jadi pahala. Tentu situasinya bisa berbeda bila dia nantinya masih berulah lagi, apalagi kepada saya lagi.”
Semoga cerita ini bisa menjadi pembelajaran kita semua. Perlu diingat, orang memelihara burung pasti ingin memperoleh ketenangan dan kepuasan batin. Lomba sekadar ajang pengujian terhadap burung yang dimiliki dengan teknik perawatan masing-masing. Lomba sekaligus juga ajang silaturahmi dan tukar pikiran. Tetapi, apapun alasannya, lomba bukan ajang untuk memukul panitia, juri, atau sesama peserta. Peace man… Setuju? (Waca-Jogja)
Salam sukses dari Om Kicau.