Piyik atau anakan burung yang menetas paling akhir ternyata lebih aktif dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang menetas lebih dulu. Itulah hasil penelitian terbaru yang dipublikasikan di jurnal Animal Behaviour, Sabtu (8/12) ini. Penelitian dilakukan dua ilmuwan dari Pusat Lingkungan Lancaster, Universitas Lancaster Inggris, yaitu Dr Ian Hartley dan Dr Mark Mainwaring.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Berbagai keragaman perilaku burung, termasuk antarindividu pada spesies yang sama, sudah banyak diteliti. Tetapi penyebab keragaman tersebut seringkali tetap kurang dipahami. Induk pada umumnya memberi pengaruh besar terhadap kehidupan anak-anaknya, tetapi hanya pada masa-masa awal saja.
Misalnya bagaimana anak mempelajari cara induknya mencari makanan, cara menggerakkan sayap saat terbang, cara bernyanyi yang baik, dan sebagainya. Ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa induk sangat menentukan perilaku anaknya.
Hal inilah yang kemudian diteliti Hartley dan Mainwaring. Keduanya mengambil objek burung pipit zebra atau zebra finch (Taeniopygia guttata). Ini sebenarnya ada kaitannya dengan masalah performa burung sebagaimana sering dibicarakan para kicaumania dan kerap ditulis di omkicau.com, bahwa setiap burung memiliki karakter dasar yang berbeda-beda, bahkan pada dua burung bersaudara sekalipun.
Mereka memilih pipit zebra karena spesies ini banyak dipelihara masyarakat Inggris, dan yang terpenting memiliki tipe pengeraman yang tidak serentak (asinkronisasi penetasan). Dalam dunia perunggasan, kita mengenal istilah clutch atau periode peneluran, yaitu masa di mana induk mengeluarkan telur pertama, kedua, dan seterusnya sampai akhirnya tidak bertelur lagi.
Pada ayam kampung, clutch diakhiri dengan pengeraman, dimana bulu-bulu induknya berdiri dan menegang, dan sering mengeluarkan suara “kruk..krukk…krukkk”. Tetapi pada pipit zebra, pengeraman bisa terjadi sebelum clutch berakhir. Misalnya induk betina menghasilkan 4 butir telur. Saat telur ke-1 dikeluarkan, induk akan mengerami telur pertamanya itu. Esok hari, ia akan bertelur lagi, sehingga telur ke-1 sudah dierami selama sehari, sedangkan telur ke-2 baru saja dierami. Demikian seterusnya sampai induk tidak bertelur lagi.
Hartley dan Mainwaring ingin meneliti, apakah perbedaan waktu menetas pada masing-masing anakan itu akan mempengaruhi perilaku burung ketika dewasa. Untuk itu, mereka membuat penelitian melalui dua model penetasan telur pipit zebra.
Pertama, mengikuti pola pengeraman induk betina, yaitu model asinkronisasi penetasan. Begitu ada induk yang bertelur, saat itu juga mereka membawanya ke mesin penetasan. Dengan demikian, setiap hari nantinya akan ada telur yang menetas, disusul hari berikutnya, dan seterusnya sampai telur yang terakhir. Mereka mengambil 100 ekor anakan yang menetas untuk diteliti.
Kedua, membuat pola sinkronisasi penetasan sebagai control (pembanding). Dalam hal ini, kedua peneliti secara memasukkan ratusan telur pipit zebra ke dalam mesin tetas dalam waktu bersamaan. Mereka juga mengambil 100 ekor anakan yang menetas untuk diteliti.
Semua burung dalam kelompok pertama dan kedua dibiarkan tumbuh menjadi dewasa, kemudian dipelihara dalam lingkungan baru dan diamati perilakunya, terutama aktivitas dan eksplorasinya. Ada dua objek yang dijadikan fokus utama penelitian, yaitu wadah pakan dan benda baru (misalnya wadah sarang untuk bertelur).
Hasil penelitian
Ternyata benar, perbedaan masa penetasan itu menciptakan perbedaan fenotip antara anakan yang menetas paling awal dan paling akhir. Ketika dewasa, burung yang menetas paling akhir terlihat lebih aktif, serta memiliki daya jelajah lebih luas daripada burung yang menetas lebih awal. Keaktifan itu dilihat dari frekuensi mendekati wadah pakan, dan jarak bepergiannya dihitung dari sarang bertelur.
Hasil penelitian kemudian dibandingkan pula dengan burung-burung yang lahir bareng lewat sinkronisasi penetasan (menetas dalam waktu bersamaan). Ternyata burung yang menetas paling akhir pada model asinkronisasi penetasan juga lebih aktif daripada burung-burung yang ditetaskan melalui sinkronisasi penetasan.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Namun hasil penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan signifikan dalam perilaku burung terhadap objek baru. Perbedaan perilaku eksplorasi terhadap objek baru justru dipengaruhi oleh jenis kelamin, di mana burung betina terbukti lebih berani mendekati objek baru daripada burung jantan, terlepas dari apakah mereka berasal dari sinkronisasi maupun asinkronisasi penetasan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asinkronisasi penetasan dan jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap perilaku anak, sesuatu yang selama ini kurang diperhatikan. Ini sekaligus menunjukkan betapa penting variasi induk dalam menghasilkan dan menjaga variasi perilaku anak-anaknya.
Salam sukses dari Om Kicau.