Menyusul keluarnya Peraturan Menteri yang berisi daftar terbaru tanaman dan satwa dilindungi, maka muncul beberapa pertanyaan mengenai  sanksi hukum apabila dilanggar.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Seperti kita tahu, aturan baru tersebut adalah Permen Nomer P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa dilindungi. Di dalamnya disebutkan bahwa peraturan ini mencabut Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3803).

Artinya, semua ketentuan dan sanksi hukum Permen baru ini tetap berlandaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.

Maaf menyela, kalau burung Anda kondisi ngoss terus dan pengin jadi joss, gunakan TestoBirdBooster (TBB), produk spesial Om Kicau untuk menjadikan burung ngoss jadi joss...

Lalu bagaimana jika ada pelanggaran?

Ulasan hukum

Dalam hal ini pernah ada ulasan dalam situs hukumonline.com di mana ada seseorang bertanya, “Di tempat saya ada beberapa hutan yang dikategorikan sebagai hutan lindung, yang mana di dalamnya terdapat beberapa hewan yang dilindungi. Oleh masyarakat setempat, berburu satwa yang dilindungi sudah merupakan kebiasaan turun temurun, dalam hal ini pemerintah membuat satu regulasi/perda dimana penangkapan hewan tersebut dilarang, tetapi oleh masyarakat setempat sampai saat ini penangkapan tersebut dijadikan sebagai mata pencaharian. Ada beberapa orang yang kedapatan memburu hewan ditangkap oleh PPNS kehutanan, dan dijerat dengan hukuman kurungan. Apakah pelaku penangkapan satwa yang dilindungi dapat dikatakan sebagai pelaku tindak kejahatan?”

Ahli hukum tim hukumonline.com memberi jawaban sebagai berikut:

Memang benar bahwa setiap orang dilarang menangkap hewan/satwa yang dilindungi dan bagi siapa yang melanggarnya, maka merupakan suatu tindak pidana. Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU 5/1990”) memberikan definisi satwa, yakni semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.

Kemudian, Pasal 20 ayat (1) UU 5/1990 menggolongkan jenis satwa, yang selengkapnya pasal tersebut berbunyi:

“Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:

a.    tumbuhan dan satwa yang dilindungi;

b.    tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.”
 

Apa saja satwa-satwa yang dilindungi itu? Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (“PP 7/1999”)bahwa satwa yang dilindungi adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah ini, antara lain: orang utan, Harimau Jawa, Harimau Sumatera, Badak Jawa, Penyu, dan sebagainya.

Pada dasarnya, larangan perlakuan secara tidak wajar terhadap satwa yang dilindungi terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang berbunyi:

Setiap orang dilarang untuk

a.    menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;

b.    menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;

c.    mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

d.    memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

e.    mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.” 

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Sanksi pidana bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat [2] UU 5/1990).

Ada pengecualian bagi penangkapan satwa yang dilindungi tersebut, yaitu hanya dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan. Selain itu, pengecualian dari larangan menangkap satwa yang dilindungi itu dapat pula dilakukan dalam hal oleh karena suatu sebab satwa yang dilindungi membahayakan kehidupan manusia. Membahayakan di sini berarti tidak hanya mengancam jiwa manusia melainkan juga menimbulkan gangguan atau keresahan terhadap ketenteraman hidup manusia, atau kerugian materi seperti rusaknya lahan atau tanaman atau hasil pertanian (lihat Pasal 22 ayat [1] jo. ayat [3] dan Penjelasan Pasal 22 ayat [3] UU 5/1990).

Dari ketentuan di atas dapat kita ketahui bahwa menangkap satwa yang dilindungi merupakan suatu kejahatan, yakni dinamakan tindak pidana di bidang konservasi. Di samping itu, meskipun penangkapan satwa yang dilindungi itu dilakukan oleh masyarakat setempat secara turun-temurun, perbuatan menangkap (berburu) tersebut tetap dikategorikan sebagai kejahatan. Hal ini karena pasal-pasal di atas berlaku bagi “setiap orang …” tanpa terkecuali.

Kasus penangkapan hewan yang dilindungi ini dapat kita jumpai dalam artikel Kejahatan Konservasi: Telaah Yuridis atas Pembunuhan Satwa Langka Dilindungi. Dalam artikel ini antara lain dikatakan bahwa tindak pidana terhadap hewan tidak hanya dikarenakan memang ada niat untuk menjual organ-organ dari satwa tersebut, yang sekarang banyak dicari karena diyakini dapat menyembuhkan penyakit, tetapi juga karena satwa tersebut mulai mengganggu pemukiman warga. Gangguan satwa terhadap pemukiman warga ini dikarenakan aktifitas warga yang membuka lahan baru yang mengganggu habitat satwa. Tidak saja pemerintah, masyarakat luas mempunyai peran dan tanggung jawab dalam upaya penegakan hukum di bidang konservasi spesies satwa yang dilindungi.WWF Indonesia dan BKSDA Riau melakukan operasi bersama sejak tahun 2005 dan menyita sedikitnya 101 jerat pemburu liar, 75 diantaranya berada di dalam kawasan lindung Taman Nasional Tesso Nilo dan Rimbang Baling. Dari 101 jerat tersebut, 23 adalah jerat khusus untuk harimau, sedangkan sisanya untuk menangkap Babi Hutan, Kijang, Rusa dan Beruang Madu.

Contoh kasus penangkapan satwa yang dilindungi dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor: 304/Pid.B/2011/PN.Kpj. Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa masuk kawasan Taman Nasional kemudian terdakwa mengeder (membentangkan) jaring dengan cara jaring tersebut terdakwa tarik atau bentangkan. Setelah terbentang terdakwa menunggu di sekitar jaring tersebut, jika ada burung yang terjaring terdakwa mengambil burung tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong yang terbuat dari kertas. Terdakwa telah mengambil burung yang dilindungi undang-undang yaitu berupa: 2 (dua) ekor jenis resep madu, 4 (empat) ekor jenis kacamata, dan seekor jenis prenjak dengan cara menjaring. Berdasarkan fakta hukum di persidangan, Majelis Hakim berpendapat unsur dari Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 terpenuhi. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Menangkap satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup”. Hakim menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan dan denda Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Dasar hukum:

1.    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;

2.    Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Swasta.

Putusan:

Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 304/Pid.B/2011/PN.Kpj.

 

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.