Melanjutkan artikel terdahulu, sedikitnya ada empat faktor yang membuat individu murai batu (MB) bisa menjadi blorok. Seperti judul di atas, keempat faktor tersebut meliputi malnutrisi, depigmentasi, mutasi, dan cross-breeding atau crossing (perkawinan silang). Malnultrisi adalah kondisi di mana burung mengalami kekurangan gizi, terutama protein. Defisiensi mineral dan vitamin juga bisa dikelompokkan dalam malnutrisi, seperti penjelasan Om David de Souza di blognya (davidsbirds.blogspot.com) yang kerap menjadi referensi bagi muraimania di seluruh dunia.
Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.
Faktor malnutrisi
Penjelasan Om David ini dalam rangka menjawab pertanyaan Om Alan (Singapura). Om Alan mengeluh, bulu-bulu di bagian perut murainya yang semula cokelat berubah putih setelah molting. Hal ini dibarengi dengan perubahan perilaku. Kalau dulu agresif, sekarang lebih sering diam dan menghabiskan waktunya di dasar sangkar (jarang naik di atas tenggeran).
Om David lalu menjawab, kemungkinan besar perubahan warna bulu itu disebabkan burung kekurangan mineral atau mengalami defisiensi mineral. Sebab dia juga pernah memiliki indukan MB yang sudah agak tua. Selama molting, beberapa bulu (terutama ekor panjang yang hitam) tidak mampu menyerap mineral tertentu yang dibutuhkan untuk pigmentasi. Akibatnya, warnanya berubah putih.
Ketika proses mabung selesai, bulu tetap terlihat putih. Nampaknya kondisi ini sulit dikembalikan seperti semula. Berbeda dari kasus Alan, murai milik Om David tetap dalam kondisi bagus: aktif dan jarang di dasar kandang.
Khusus untuk perubahan perilaku MB yang menjadi diam dan lebih sering di dasar sangkar, mungkin hal ini tidak ada hubungannya dengan defisiensi mineral yang menyebabkan bulu menjadi putih. Penyebab paling mungkin adalah kekurangan vitamin B-kompleks. Vitamin ini diperlukan untuk pencernaan protein dan untuk menjaga fungsi saraf agar bekerja dengan baik. Kekurangan vitamin ini juga mengakibatkan nafsu makan burung berkurang.
Pengaruh malnutrisi terhadap perubahan warna bulu juga pernah disinggung Margaret A Wissman (2005), dalam artikel Problem kesehatan dapat menyebabkan perubahan warna bulu burung, yang dipublikasikan birdchannel.com.
Malnutrisi dapat memunculkan garis stres (stress bar) di daerah pigmentasi gelap, yang pada murai batu mencakup hampir seluruh tubuhnya, kecuali bulu-bulu ekor penyangga. Hal ini juga terjadi akibat kekacauan metabolisme atau gizi buruk selama proses mabung.
Apabila kondisi gizi bisa diperbaiki, mungkin warna hitam maupun cokelat tua akan muncul lagi setelah molting berikutnya. Tetapi jika tidak dapat berubah, bisa dipastikan perubahan warna ini bersifat permanen.
Selain malnutrisi, Margaret juga mengatakan, beberapa jenis penyakit tertentu juga dapat menyebabkan perubahan warna bulu. Kasus ini tidak dijumpainya pada murai batu, tetapi beberapa jenis burung paruh bengkok. Burung palek dengan penyakit liver berat, misalnya, bisa mengalami perubahan warna bulu dari abu-abu menjadi kuning cerah. Abu-abu adalah warna burung palek di alam bebas.
Virus tertentu juga bisa menyebabkan pertumbuhan bulu menjadi abnormal, namun hal ini jarang terjadi. Sejauh ini, virus seperti itu hanya dijumpai pada burung paruh bengkok dan dikenal dengan nama PBFD (Psittacine Beak and Feather Disease) atau penyakit paruh dan bulu pada parrot.
Faktor depigmentasi
Bagaimana ceritanya sehingga bulu burung bisa berwarna hitam, putih, cokelat, dan sebagainya? Ada dua jenis warna bulu pada burung, yaitu warna pigmen dan warna struktural. Warna bulu burung, sebagaimana rambut pada manusia, dipengaruhi oleh beberapa pigmen, terutama melanin, karotenoid, dan porfirin.
Melanin bertanggung jawab atas warna hitam, cokelat, merah-cokelat, dan kuning tua (kusam). Warna bulu murai batu berada dalam kelompok ini, kecuali putih. Putih dianggap bukan warna karena memang tidak berhubungan dengan pigmen.
Karotenoid bertanggung jawab untuk warna kuning-oranye dan merah. Karotenoid bisa diperoleh secara langsung maupun tidak langsung dari tanaman, dan sering diaplikasikan untuk mencetak kenari yellow-factor dan red-factor. Porfirin merupakan pigmen nitrogen yang berasal dari tanaman dan disintesis oleh burung, serta bertanggung jawab untuk beberapa warna merah dan hijau.
Adapun warna struktural dipengaruhi oleh partikel hamburan cahaya. Warna biru tua pada bulu burung, misalnya, disebabkan partikel hamburan cahaya di rongga udara dalam keratin, yang terdapat pada barb dan barbule. Barb adalah bulu yang menempel di sepanjang batang bulu. Setiap barb memiliki ratusan cabang / ranting, yang disebut barbule.
Warna pigmen dan warna struktural ini kemudian bekerja sama membentuk warna bulu burung. Anda bisa mengamati warna hitam pada murai batu jantan dan betina. Pasti hitamnya berbeda kan? Sebab bulu hitam pada burung jantan terlihat lebih kebiruan dan mengkilap. Hal itu karena pengaruh partikel hamburan cahaya, yang warna strukturalnya berbeda dari MB betina (hitamnya lebih kusam).
Hasil penelitian Dr Mattew Shawkey dari Universitas Akron, Ohio, AS, juga menunjukkan bahwa warna bulu pada burung sangat dipengaruhi partikel hamburan cahaya dari komponen struktur nano pada keratin dan melanin dari bulu tersebut.
Keratin adalah salah satu jenis protein yang menjadi bahan utama pembentukan bulu. Keratin memiliki sifat menyerap uap air, dan akan mengalami perubahan ketika kelembaban udara terlalu tinggi. Keratin juga terdapat pada barb dan barbule.
MB yang mengalami malnutrisi, atau metabolismenya terganggu, sangat mungkin mengalami perubahan warna bulu, dan itu selalu terjadi saat molting. Gangguan metabolisme ini menyebabkan proses molting berjalan lambat, sehingga pigmen aslinya akan hilang dari bulu, atau mengalami depigmentasi.
Dalam kasus MB blorok, pigmen yang “dikerjai” adalah melanin. Ingat, pigmen ini berpengaruh terhadap warna hitam, cokelat, atau merah-cokelat. Itu sebabnya, mengapa warna hitam di bagian sayap, dada, dan bulu ekor yang semula hitam tiba-tiba berubah menjadi putih.
Warna perut yang semula cokelat tua juga memudar menjadi putih, berbaur dengan oranye pucat, seperti foto MB Hanoman milik Om Bobby. Intinya, pigmen melanin tidak bekerja penuh atau terjadi depigmentasi melanin.
Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.
Faktor mutasi
Seperti penjelasan sebelumnya, jika masalah gizi dapat diperbaiki, mungkin warna hitam dan cokelat tua bisa muncul lagi setelah molting berikutnya. Sebaliknya, jika tidak berubah, berarti perubahan warna ini bersifat permanen.
Burung yang mengalami perubahan warna bulu secara permanen bisa dikatakan mengalami mutasi tak disengaja. Di dunia ini banyak kasus mutasi tak sengaja, terutama karena pengaruh lingkungan, sehingga memunculkan beberapa varian maupun spesies berbeda tetapi memiliki kemiripan.
Burung yang menjadi mutant, meski secara tidak sengaja, bisa mewariskan pola warna barunya kepada anak-anaknya. Sebab mutant adalah individu burung yang telah mengalami perubahan susunan DNA. DNA tersimpan dalam gen. Gen selalu berpasangan dan menempati lokus gen di dalam kromosom. Nah, kromosom itu sendiri terdiri atas dua bagian, yaitu autosom (kromosom pada tubuh, termasuk warna bulu sayap, ekor, dll) dan kromosom seks (ZZ untuk jantan dan ZW untuk betina).
Murai batu yang semula mengalami mutasi tak disengaja, ketika dikawinkan dengan MB normal maupun sama-sama mengalami mutasi tak disengaja, sangat dimungkinkan menghasilkan anakan yang blorok juga.
Hal inilah yang terjadi dalam MB blorok Adipati dan dua anakan MB Panthom milik SKL Bird Farm. Sebab murai-murai tersebut sudah menunjukkan gelagat trotol sejak anakan, dan menjadi makin jelas saat dewasa. Sebab, seperti dikatakan Margaret, piyik burung hasil mutasi genetik sudah terlihat sejak bulu-bulunya mulai tumbuh.
Lain halnya dengan MB milik Om Alan, yang semula normal, lalu berubah blorok setelah molting. Faktor malnutrisi lebih berperan dalam hal ini. Terutama akibat defisiensi mineral, sebagaimana dijelaskan Om David de Souza.
Faktor crossing
Lawan dari mutasi tak disengaja adalah mutasi yang disengaja, atau direncanakan. Para penangkar gould amadine, lovebird, parkit, palek, dan nuri sudah biasa melakukan hal itu. Mereka melakukan crossing / perkawinan silang antara dua jenis burung dalam spesies yang sama, atau bahkan dua spesies berbeda namun memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat.
Dalam konteks inilah, MB blorok seperti Adipati dan dua anakan Panthom bisa disilangkan dengan murai batu normal maupun MB blorok lainnya, untuk mendapatkan keturunan yang blorok.
Itulah empat faktor yang bisa menyebabkan murai batu menjadi blorok. Ada yang ingin menambahkan faktor lain? Yang menjadi persoalan, muncul anggapan dari sebagian kicaumania bahwa kualitas MB blorok tidak sebaik murai batu biasa.
Anggapan ini jelas keliru, artinya tidak selamanya begitu. Sepanjang masalah gizi sudah teratasi, dan burung tidak sering duduk di dasar sangkar, performa suaranya bisa pulih seperti sebelum mabung atau bahkan bisa lebih baik lagi melalui perawatan yang tepat.
Tayangan dua video berikut ini akan membuyarkan anggapan bahwa kualitas suara MB blorok tidak terlalu bagus:
So, bagi yang memiliki MB blorok, silakan diperhatikan apakah warna ini tetap bertahan setelah burung mengalami molting berikutnya. Jika masih bertahan, kemungkinan besar MB mengalami mutasi dan bisa dijadikan indukan yang baik (sepanjang suaranya tetap oke).
Adapun bagi para pemilik maupun penangkar yang MB bloroknya kembali ke warna asli setelah molting berikutnya, jangan kecewa. Anggaplah MB kesayangan Anda telah diselamatkan dari gangguan bernama malnutrisi, defisiensi mineral, dan sejenisnya.
—