Ada yang tahu sejak kapan lomba burung kicauan mulai digelar di Indonesia. Burung apa saja yang dilombakan saat itu? Saya sendiri semula tidak tahu, sampai kemudian menemukan artikel menarik yang ditulis Dr Paul Jepson, ilmuwan dari Pusat Lingkungan Universitas Oxford Inggris, yang dimuat di BirdAsia 9 (2008), halaman 58-60. Artikel ini sebenarnya menyoroti anis merah, tetapi ada beberapa yang menceritakan sejarah lomba burung kicauan, dan perlu di-share kepada sobat kicaumania.

Cara gampang mencari artikel omkicau.com, klik di sini.

Dr Paul Jepson

Dalam artikel berjudul “Orange-headed thrush/Zoothera citrina and the avian X-factor”, Paul Jepson dengan fasih menyebut penggemar burung kicauan di Indonesia sebagai kicaumania.

“This is the world of kicau-mania, a way of enjoying birds quite different from the western focus on bird finding and identification, scarcity and counting,” tulis Jepson dalam artikel tersebut.

Ya, menurut Jepson, kicaumania memiliki cara menikmati (kicauan) burung yang sangat berbeda dari Barat yang hanya fokus ke pencarian dan identifikasi burung, menentukan apakah ini burung langka atau tidak, lalu menghitung populasinya.

Kicaumania Indonesia justru lebih memperhatikan estetika lagu yang dikeluarkan burung, bentuk atau postur tubuhnya (maksudnya katuranggan), menurunkannya dalam lomba burung untuk dinilai juri, atau dijadikan burung penyanyi di rumah.

Sejak ratusan tahun lalu, burung yang popular di Indonesia terutama dalam masyarakat Jawa adalah perkutut. Filosofi Jawa yang dianut leluhur zaman dulu menegaskan, seorang pria harus mempunyai garwa, wisma, turangga, curiga, dan kukila.

Garwa adalah istri, dan wisma berarti rumah. Turangga berarti kuda, yang bisa ditafsirkan sebagai kendaraan (mobil, sepeda motor, sepeda). Adapun curiga atau keris berarti senjata, yang difahami sebagian orang sebagai pekerjaan atau punya penghasilan.

Nah, kukila berarti burung. Di masa lalu, pengertian kukila lebih didominasi oleh perkutut. Sekarang sudah mulai melebar bukan hanya perkutut, melainkan juga burung kicauan, hewan piaraan, bahkan kukila bisa ditafsirkan ke hobi apapun (moge, koleksi barang antik, dll).

Jadi sejak dulu leluhur kita lebih sering memelihara perkutut sebagai burung piaraan, yang sekaligus bisa meneguhkan status sosial pemiliknya. Peringkat kedua adalah cucakrowo, yang punya suara keras sehingga bisa terdengar dari jarak 1 km lebih, dan bisa menegaskan pula status sosial pemiliknya.

Meski mulai banyak orang yang memelihara cucakrowo, sesungguhnya burung mewah ini tak pernah dilombakan sebagaimana perkutut. Baru di tahun 1975, sekelompok warga elite di Jakarta membuat gebrakan dengan menyelenggarakan lomba burung berkicau.

Lomba burung berkicau setiap pekan tak pernah sepi peserta.

Cara mudah punya ribuan file MP3 suara burung, klik di sini.

Sayangnya, Jepson tidak menyebutkan di mana lokasi lomba burung kicauan ini kali pertama digelar. Namun dia mencatat jenis burung yang dilombakan saat itu adalah burung-burung impor asal China, antara lain hwamei (Garulax canorus), poksay (Garulax chinensis), dan pekin robin (Leiothrix lutea).

Dapatkan aplikasi Omkicau.com Gratis...

Hadiah yang disediakan juga luar biasa (tidak disebutkan nominalnya) untuk mengimbangi perkutut, sekaligus menarik minat penggemar burung kicauan lainnya. Begitu lomba burung kicauan makin popular, burung-burung lokal seperti cucakrowo, jalak suren, dan anis kembang mulai disertakan.

Anis merah saat itu masih dimasukkan ke kelas campuran, dan baru menjadi kelas tersendiri tahun 1994. Tetapi popularitasnya belum mampu menandingi anis kembang, apalagi burung-burung impor asal China. Munculnya wabah flu burung di China, ditambah lagi dengan virus SARS (sindrom sistem pernafasan akut) di tahun 2000, memaksa Pemerintah Indonesia menyetop impor burung asal China (kasus ini lalu terulang lagi pada saat sekarang).

Dampaknya, lomba burung di kelas hwamei, poksay, dan robin langsung lenyap. Burung-burung lokal pun menjadi tuan rumah di negeri sendiri, terutama anis kembang. Pamornya meroket hingga awal dekade 2000-an. Harga burung yang bisa ngerol bisa mencapai Rp 4 juta / ekor. Burung jawara lebih mahal lagi, bisa mencapai ratusan juta.

Namun pamor anis kembang mulai menyusut, dan para penggemar burung kicauan mulai terpikat dengan penampilan anis merah. Apalagi saat itu kicaumania sedang tergila-gila melihat penampilan anis merah Zamorano milik Kiking (Bandung), yang hampir selalu merajai arena lomba.

Anis kembang hingga kini sulit bangkit lagi, terbukti kelas ini makin sepi peminat. Anis merah pun tak seheboh dulu, terutama akibat minimnya pasokan lantaran persediaan di alam makin menipis. Murai batu akhirnya menggantikan posisi anis merah, sebagai burung kicauan terpopular.

Lovebird pun dalam tiga tahun terakhir mulai menyita perhatian para kicaumania. Apalagi burung ini bisa dijadikan burung lomba, sekaligus burung hias, sehingga segmen pasarnya bisa dibilang sangat luas. Anak-anak, perempuan, dan manula pun menyukainya. Tak salah jika lovebird dalam beberapa tahun ke depan diprediksi bakal menggeser popularitas murai batu.

Secara keseluruhan, Paul Jepson sangat mengagumi antusias kicaumania di Indonesia. Hobi burung kicauan, kata dia, membawa dampak sosial-ekonomi positif di berbagai kota di Jawa, Bali, Sumatera, dan Kalimantan.

Bahkan dalam survai Burung Indonesia (2006), hobi burung kicauan memiliki kontribusi minimal Rp 754 miliar / tahun, hanya di enam kota terbesar di Jawa dan Bali (Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang, Surabaya, Denpasar).

Uang sebesar itu berputar ke sana-kemari, bahkan mampu menghidupi ribuan kepala rumah tangga melalui bisnis pakan burung, berdagang burung, penangkaran burung, perajin sangkar dan aksesoris kandang, perawat burung, pencari dan pembudidaya kroto (telur semut rangrang), pencari / pembudidaya jangkrik, ulat hongkong, ulat kandang, ulat bambu, hingga cacing tanah.

Bukan hanya itu, kata Jepson, hobi burung kicauan terbukti juga dapat menyatukan warga Indonesia dengan kelas sosial dan etnis yang berbeda, untuk datang bersama-sama dalam kepentingan yang sama pula, yaitu lomba burung, setiap pekan.

Di bagian akhir artikelnya, Jepson memberikan kritik mengenai kekurangan kicaumania Indonesia, yaitu kurang menghargai aspek penangkaran. Akibatnya banyak spesies burung yang populasinya merosot tajam, bahkan ada yang mulai terancam punah. Hal ini bahkan menjadi rerasan di kalangan naturalis Barat.

Semoga menjadi renungan kita bersama.

Cara gampang mencari artikel di omkicau.com, klik di sini.